Kritik Kudus Bukan Kota Kretek, Sekum Muhammadiyah Ambil Langkah
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, pihaknya terus melawan angka prevalensi perokok di Indonesia yang terus meningkat. Menurutnya, hal itu perlu diperkuatnya gerakan pengendalian tembakau melalui pendekatan budaya.
"Menurut saya, perlu pendekatan itu lebih efektif menekan angka perokok dibandingkan dengan himbauan-himbauan promotif mengenai bahaya rokok," tutur Abdul Mu'ti, dalam keterangan Senin 14 Juni 2021.
Kritik Kota Kretek
Dalam konteks itu, Mu’ti lalu mengisahkan pengalamannya saat memprotes Bupati Kudus terkait simbolisasi Kota Kudus sebagai Kota Kretek.
“Saya sempat agak protes tentang sebutan itu di hadapan bupati. Saya agak protes karena itu adalah ungkapan yang tidak sehat. Kemudian saya usulkan Kota Toleransi dengan menara Kudus sebagai simbol karena kota saya itu simbolnya pelan-pelan digeser dari menara Kudus ke tembakau. Itu menurut saya tidak sehat,” tuturnya.
Simbol Toleransi Kudus
Simbolisasi Kudus sebagai Kota Kretek menurutnya berkontribusi besar dalam membentuk masyarakat Kudus yang permisif terhadap rokok. Di sisi lain, Kudus mengalami kerugian dengan simbolisasi tersebut.
Kudus memang memiliki simbol besar soal toleransi yang diturunkan oleh Wali Songo. Meskipun kini populasi umat Hindu di Kudus sedikit, umat muslim tetap menjalankan amanat Wali Songo untuk tidak menyembelih sapi demi menghormati kepercayaan umat Hindu.
Pendekatan Budaya Diperlukan
Pendekatan budaya lainnya dalam menekan prevalensi perokok menurut Mu’ti adalah mulai membiasakan diri menghindari penggunaan istilah ‘uang rokok’ sebagai pemberian imbalan.
“Dalam konteks tertentu kadang-kadang memang kita tidak selalu mudah melakukan counter culture dan memperkuat gerakan ini. Karena berbagai istilah yang berkembang di masyarakat seperti melegitimasi orang untuk merokok,” kata Mu'ti, yang sebelumnya disampaikan dalam forum MPKU, Sabtu.
“Misalkan kalau kita memberi uang pada sopir atau tukang kebun, itu kan bilangnya ini uang rokok. Harusnya ini diganti, jangan uang rokok. Karena kalau kita menyampaikan untuk uang rokok berarti kan kita secara tidak langsung mengijinkan dia atau bahkan memberikan biaya untuk dia merokok. Mungkin istilah itu perlu kita ganti.
"Dari kampanye-kampanye seperti ini perlu melibatkan kampanye kultural yang MTCN (Muhammadiyah Tobacco Control Network) merancang lagi bentuknya. Mungkin diganti uang pulsa misalkan,” jelas Mu’ti.
“Nah kalau kemudian kultur ini bisa kita perluas lingkungannya ke masyarakat, saya kira di keluarga-keluarga Muhammadiyah sudah tidak ada lagi yang seperti itu juga. Kita bangun lingkungan yang bersih, yang smoke free,” tutur Mu’ti.
Advertisement