Kritik dan Obat Kuat Sang Rezim
Ada baiknya kita bicara soal kejatuhan, sebab pengetahuan soal itu juga diperlukan; agar kita tahu makna sebuah kenaikan.
Banyak orang tentu menginginkan pangkatnya naik, jabatannya bertambah, kariernya berada di puncak yang mentereng. Namun sedikit sekali mereka belajar pengetahuan soal makna kejatuhan.
Padahal semua orang tahu bahwa jatuh itu adalah perkara yang tidak menyenangkan, bahkan sesuatu yang sangat menyakitkan. Kalau tidak percaya, cobalah jadi orang-orang di sekitar kekuasaan.
Jika anda sedang berkuasa, semua urusan lancar ibarat mata air mengalir. Tetapi jika anda sudah tidak berkuasa, semua hal menjadi mampet, tersendat; dan seolah hidup itu berlinang air mata.
Untuk itu ada baiknya juga kita belajar dari para penguasa yang pernah jatuh dari singgasana kekuasaannya yang megah itu. Mari kita mulai dari penguasa besar di Timur Tengah. Sebut saja Syah Iran Muhammad Reza Pahlevi.
Di akhir-akhir masa kejatuhan dia dari singgasananya Syah Iran memiliki teman yang sangat dekat. Dia adalah seorang Kepala dinas rahasia Perancis, namanya Comte de Merenches.
Keduanya bersahabat erat, bahkan diakui Marenches, ia bisa terbang beberapa kali dalam setahun dari Paris ke Teheran hanya untuk urusan curhat Syah Iran yang dikenal sebagai penguasa Tahta Merak itu.
Reza Pahlevi, sang penguasa itu hanya ingin mendengar nasihat-nasihat yang tidak enak untuk di dengar dari mulut Comte de Marenches itu.
Suatu ketika Reza berkata pada Marenches. "Saya selalu mengandalkan anda untuk mengatakan kepada saya hal-hal yang tidak menyenangkan, yang tak dikatakan orang lain". Dari mulut Marencheslah, Reza Pahlevi akhirnya harus memutuskan untuk melarikan diri keluar negeri demi menyelamatkan jiwanya dari serangan kaum revolusioner.
Rupa-rupanya kekuasaan itu selalu membutuhkan orang kritis yang berani bicara apa adanya tentang hal-hal yang orang-orang di sekitarnya tidak berani mengatakan.
Karena pada faktanya, jika tidak hati-hati mengelola orang di sekitar kekuasaan itu justru berubah menjadi sederet manusia yang bisa mendorong sang penguasa pada jurang kejatuhan.
Mengapa? Mereka selalu berkata yes, untuk sesuatu yang buruk, bahkan yang mengancam jiwanya sekalipun. Orang sekitar kekuasaan hanya berfikir kenyamanan dirinya sendiri dan bukan mengamankan kekuasaan.
Oleh karena itu adalah sebuah keharusan seorang penguasa itu memiliki tukang kritik yang cerdas, sebagai cermin untuk melihat dirinya sedang berada dimana. Posisi strategis seperti ini tidak akan pernah digantikan oleh teknologi secanggih apapun.
Makanya keliru besar jika seorang penguasa itu membenci para pengkritiknya. Sebab menjadi pengkritik itu tidaklah mudah. Profesi itu membutuhkan ketekunan, skill, kemampuan berbahasa yang baik, serta pengetahuan yang luas interdisipliner.
Beda sekali dengan loyalis, ia tidak membutuhkan kecanggihan tertentu. Seorang loyalis cukup menyatakan siap Bos, atas segala sesuatu yang membuat senang sang bos.
Loyalis hanya melakukan sesuatu yang baik-baik dan takut melakukan langkah2 yang membuat paduka tuan Raja marah. Itulah faktanya kelakuan para loyalis.
Dalam kehidupan politik sehari-hari, biasanya seorang penguasa membutuhkan second opinion untuk meyakinkan dirinya dalam mengambil kebijakan negara.
Seperti yang dilakukan Napoleon Bonaparte. Jenderal yang namanya legendaris itu ketika berkuasa sengaja memelihara tukang kritik yang merupakan seorang jurnalis yang sangat cerdas dan keras mengecam dirinya.
Sang jurnalis itu diminta untuk membuat surat kabar yang berisi kritik terhadap dirinya dengan sebebas-bebasnya. Tentu saja sang jurnalis merasa sangat senang bisa melampiaskan kritik-kritiknya dengan bebas.
"Anda saya persilahkan membuat surat kabar yang isinya kritik terhadap saya dan kebijakan yang saya buat," tegas Bonaparte yang membuat sang jurnalis tertegun kaku.
Ia berfikir bagaimana caranya membuat koran isinya kritik semua. Tidak lucu bukan? Masa semua orang mau baca kritikan semua.
Di tengah sang jurnalis itu berfikir, Napoleon yang sangat berkuasa itu melanjutkan pembicaraannya. "Kalau anda tidak bisa membuat surat kabar itu, anda cukup cetak 1 eksemplar saja. Dan itu hanya untuk saya," cetus Napoleon yang lagi-lagi membuat sang jurnalis tertegun.
Dua contoh penguasa besar itu ternyata membutuhkan kritikus sebagai penasihatnya. Tapi bagaimana dengan pemimpin kita?
Apakah mereka juga membutuhkan tukang kritik? Faktanya ternyata tidak. Mereka sering alergi pada kritik.
Padahal kritik itu adalah jamu kuat baginya untuk bertahan dari singgasana kekuasaannya. Hanya pemimpin yang berpikiran luas yang menjadikan kritik sebagai jamu.
Sedang pemimpin mediocre atau pemimpin kaleng-kaleng, selalu melihat kritik sebagai usaha yang akan menjatuhkannya dari kursi kekuasaannya. Bagaimana dengan Anda?
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, dan Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)