Kristen Muhammadiyah
Ini buku lama. Judulnya: Kristen Muhammadiyah. Terbit pertama 2009. Buku yang merupakan bagian dari desertasi Sekjen PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti itu, judul lengkapnya: Kristen Muhammadiyah, Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan.
Beberapa hari ini, buku itu viral di lingkungan NU. Jujur saja, saya pun baru mengetahui adanya buku itu ya dari WA Group pengurus NU.
Keviralan buku ini di kalangan nahdliyin, bertalian erat dengan heboh “NU Cabang Kristen” yang viral beberapa waktu lalu. Misinya jelas; cari teman. Dengan diviralkannya buku itu, warga NU menjadi merasa punya teman senasib seperjuangan. Yang punya hubungan dekat dengan umat Kristiani itu, ternyata tidak hanya warga NU. Tapi, juga saudara tuanya, Muhammadiyah.
Saya yang pekan lalu menulis, “NU Cabang Kristen”, tentu sangat tertarik dengan buku itu. Ingin membaca secara komplit. Anak barep pun, saya minta untuk segera mencari di toko online.
Namun, pencarian itu sia-sia. Semua habis. Ada satu toko online yang mengatakan masih punya satu stok, tapi buku bekas. Tanpa pikir panjang, saya bilang: ya. Namun, ketika hendak dibayar, ternyata kedahuluan orang.
Jadi, jujur saya akui, tulisan ini saya buat sebelum saya membaca buku itu. Hanya membaca potongan-potongan berita atau ulasan terkait dengan subtansi isinya. Karenanya, saya tidak berani untuk mengulas terlalu jauh. Cukup di fenomenanya saja.
Bahwa adanya buku itu mengagetkan saya; jawabannya: “Ya”. Namun, bahwa di lembaga-lembaga Pendidikan Muhammadiyah banyak anak-anak non muslim yang belajar, sama sekali tidak mengagetkan. Tiga tahun (2018) lalu, saya menyaksikan langsung di Sorong.
Di sana, Muhammadiyah mengelola Universitas Muhammadiyah Sorong. Konon, lebih dari 50 persen (ada yang bilang sekitar 80 persen) mahasiswanya non muslim. Ketika saya melewati depan kampus itu, para mahasiswa asli Papua (penduduk lokal) banyak lalu lalang di sana. Yang perempuan, sudah barang pasti, tidak menggenakan jilbab.
Yang saya lihat itu, hanyalah salah satu. Di buku Kristen Muhammadiyah itu, Abdul Mu’ti memaparkan kalau di daerah-daerah lain juga ada. Baik perguruan tinggi, maupun jenjang di bawahnya.
Data dari Abdul Mu’ti ini, tentu bisa dipercaya. Sebagai ormas yang memiliki “pundi-pundi” kekayaan yang sangat besar, potensi Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, juga tempat ibadah di daerah-daerah yang warga Muhammadiyahnya sangat minim, sangat mungkin.
Itu beda dengan NU. Di mana, kekuatan untuk mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit atau tempat ibadah umunya bergantung kepada banyak-sedikitnya warga nahdliyin di daerah itu.
Di daerah yang warga muslimnya minoritas itu, Muhammadiyah menjadi pelayan pendidikan yang baik. Siswa atau mahasiswa non muslim, tetap dilayani sesuai dengan agamanya. Disediakan guru agama yang sesuai dengan agamanya. Yang perempuan juga tidak diwajibkan berhijab.
**
Saya ini Nahdliyin. Jadi, saya tidak tahu persis, apakah fenomena Kristen Muhammadiyah (Krismuh) ini sempat heboh layaknya NU Cabang Kristen. Namun dugaan saya tidak. Alasan saya, kalau sempat heboh tentu baunya akan tercium sampai luar. Sehingga, saya yang nahdliyin ini akan ikut mencium baunya.
Kedua, kalau sampai heboh dan menimbulkan penolakan di internal Muhammadiyah, tentu “karier” Abdul Mu’ti di Muhammadiyah tidak secemerlang sekarang. Posisi Abdul Mu’ti sebagai Sekjen PP, memberikan konfirmasi kalau buku yang diterbitkannya tidak menimbulkan masalah.
Sebagai “tetangga”, saya melihat Muhammadiyah ini unik. Satu sisi, Muhammadiyah sering menunjukkan wajahnya sebagai Islam puritan. Amalah-amalan Islam yang ditengarai berbau bid’ah dengan ketat dijauhi. Bahkan untuk masalah ini, warga Muhammadiyah terkadang harus berselesih paham dengan warga NU.
Namun di sisi lain, Muhammadiyah juga menunjukkan sikapnya yang sangat terbuka. Bahkan, dalam berbagai kasus lebih terbuka dari NU.
Ini sudah jamak di ketahui, banyak tokoh penting Muhammadiyah yang sebelumnya berlatar belakang NU. Dien Syamsuddin yang pernah menjadi ketua umum PP Muhammadiyah adalah mantan ketua IPNU (Ikatan Pelajar NU) di NTB. Abdul Mu’ti yang saat ini menjabat sekjen, juga berlatar belakang Nahdlilyin.
Abdul Mu’ti asli kudus. Dia sekolah dasar hingga menengah atas di lingkungan L.P Ma’arif (NU). Sepengetahun saya (sebagai sesama alumni IAIN Walisongo Semarang), persentuhan Abdul Mu’ti dengan Muhammadiyah baru dimulai ketika dia kuliah di Semarang. Yakni, ketika dia aktif di HMI.
Kampus-kampus Muhammadiyah, juga banyak “mempekerjakan” dosen yang jelas-jelas berlatar belakang nahdlyin. Bahkan, di Universitas Muhammadiyah Malang, Prof Dr. Mas’ud Said (ketua ISNU Jatim) yang saat itu menjadi tenaga pengajar di sana, sempat membina mahasiswa NU yang mendirikan PMII di Ummuh Malang.
Fenomena serupa, rasanya sulit bila terjadi di NU. Di kepengurusan PB NU, belum pernah ada tokoh --seperti Dien dan Abdul Mu’ti--yang memiliki latar belakang Muhammadiyah.
Di IAINU Tuban, ada beberapa mahasiswa yang berlatar belakang Muhammadiyah. Di antara mereka, ada yang menjadi anggota Kokkam. Gara-gara itu, sempat ada yang mempertanyakan. Namun, karena di STATUTA Perguruan Tinggi memang tidak dilarang, akhirnya pertanyaan itu dengan cepat bisa terjawab.
***
Muhammadiyah-NU bukanlah ormas kemarin sore. Muhammadiyah sudah berusia 111 tahun, NU mendakati satu abad. Ini artinya, keduanya sudah sangat matang. Goresan-goresan sejarah yang menyertainya sudah menunjukkan kematangan keduanya.
Fenomena Krismuh dan NU Cabang Kristen, menurut saya, bukti dari kematangan itu. Artinya, sebagai organisasi yang sudah sangat dewasa dan mapan, Muhammadiyah maupun NU, sudah punya nyali untuk menggauli umat di luar Islam.
Ada dua potensi yang mungkin terjadi ketika seseorang atau organisasi berinteraksi erat dengan pihak lain. Dipengaruhi atau mempengaruhi. Bagi orang/organisasi yang sudah dewasa dan matang, tentu potensi terbesarnya adalah mempengaruhi. Dan menurut saya, Muhammadiyah maupun NU sudah berada di maqom ini.
Karena itu, saya termasuk orang yang appreciate atas fenomena Krismuh dan NU Canang Kristen ini. Bahkan, saya memberanikan diri untuk mengatakan, pihak-pihak yang masih mempersoalkan itu, kopinya kurang kental. Dolane kurang adoh. Atau, punya motif kurang baik.
Dan, fenomena itu, mestinya fenomena lawas. Era tahun 90-an. Jika masih ada yang bingung memahaminya, berarti logika berpikirnya meloncat mundur 30 tahun ke belakang.
Kembali ke teori iklan atau reklame yang saya tulis sebelumnya, langkah Muhammadiyah-NU menggauli non muslim, adalah sangat perlu. Muhammadiyah dan NU bisa menjadi duta Islam di hadapan mereka. Dari kedua ormas Islam ini, saya harapkan warga non muslim bisa melihat wajah Islam yang sesungguhnya. Rahmatan lil alamin. Damai. Toleran. Secara sosial, bisa bekerja sama dengan umat lain yang tidak seiman.
Terkait dengan keutuhan NKRI, posisi itu juga sangat urgent. Melalui ruang-ruang kelas –baik di sekolah atau perguruan tinggi--, Muhammadiyah bisa menamkan rasa cinta tanah air. Generasi muda non muslim yang merupakan kelompok minoritas di Indonesia, bisa diyakinkan bahwa masa depan mereka di dalam wadah NKRI akan aman-aman saja.
Begitu juga dengan NU. Hubungan eratnya dengan warga non muslim, NU juga bisa memberikan jaminan serupa.
Dalam konteks sekarang, ini sangat penting. Sebab, sejak reformasi bergulir, wajah-wajah intoleran dimunculkan oleh kelompok kecil umat Islam. Gerakan-gerakan Islam formalis yang dengan agresif mendorong diberlakunya perda-perda Syariah, telah menimbulkan ketakutan tersendiri bagi warga non muslim.
HTI yang sempat lantang mengibarkan bendera khilafah dan FPI yang mewacanakan NKRI Bersyari’at, tentu semakin memperbesar ketakutan itu. Untungnya, dua ormas tersebut sekarang sudah dibubarkan oleh Pemerintahan Jokowi.
Muhammadiyah dan NU adalah orang tua kandung NKRI. Keduanya tahu persis, mengapa NKRI itu akhirnya menjadi pilihan. Padahal dengan penduduk yang mayoritas muslim, sangat mungkin bila para pendiri bangsa pada waktu itu memaksakan diri mendirikan Negara Islam.
Begitu juga dengan Pancasila. Dengan bahasa masing-masing, saat ini, Muhammadiyah-NU juga sudah bisa menerimanya sebagai asas tunggal.
Harapan saya, peran Muhammadiyah-NU yang sudah luar biasa dalam melahirkan dan merawat NKRI ini, secara turun-temurun dirawat oleh generasi penerusnya. Pikiran-pikiran sempit yang berpotensi menyusup di kedua ormas itu, diproteksi sedini mungkin. Bila sudah terlanjut menyusup, ya harapannya bisa segera dihalau.
Perbedaan-perbedaan furu’iyah antara Muhammadiyah-NU, harus disikapi dengan ilmu. Jangan dengan fanatisme dan “kesukuan”. Khilafiyah dalam masalah fiqih itu biasa. Tidak perlu dipaksakan untuk disatukan. Cukup saling menghargai dan menghormati pendapat yang lain.
Muhammadiyah dan NU, juga jangan saling mensalahpahami branding yang saat ini dipopulerkan keduanya. Muhammadiyah membranding dirinya dengan, “Islam Berkemajuan”. Sedang NU membranding dirinya, “Islam Nusantara”. Jangan sampai keduanya saling mensalahpahami bahwa dengan begitu, Muhammadiyah atau NU sedang membuat agama baru.
Mereka yang selama ini memaksakan diri untuk mensalahpahami branding itu, menurut saya, adalah orang-orang naif dan kurang ngopi. Kelas emperan. Pinggir jalan. Warga NU dan Muhammadiyah sama sekali tidak pantas melakukannya. Akan lebih elok, bila keduanyan saling memberikan apresiasi. Dan, tidak keberatan untuk mensatukannya menjadi “Islam Nusantara yang Berkemajuan”.
Ini adalah sinergitas yang sangat dahsyat. Persatuan dan kesatuan bangsa ini, akan kukuh terpelihara. NKRI akan tetap terawat dan bisa tumbuh menjadi bangsa yang besar dan kuat. Besar dan kuatnya NKRI adalah besar dan kuatnya umat Islam.
Kita harus belajar dengan negara-negara Islam di Timur Tengah yang saat ini hidup dalam ketidakpastian. Mengganti bentuk negara dari NKRI ke bentuk lain, adalah sebuah uji coba yang sangat beresiko. Bila gagal, bangsa ini akan masuk ke jurang penderitaan yang sangat dalam. Semoga tidak sampai terjadi!
*). Akhmad Zaini, mantan jurnalis, kini aktif sebagai pendidik di IAINU Tuban.