Krisis Transparansi Publik: Pilkada
Oleh: Dr. Antonius Benny Susetyo
Pakar Komunikasi Politik
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak seharusnya menjadi tonggak penting dalam memperkuat demokrasi di Indonesia, namun kenyataannya seringkali diwarnai oleh kompleksitas yang mengkhawatirkan. Meskipun Pilkada memberi kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin daerah mereka, proses ini seringkali terhambat oleh kurangnya akses informasi yang memadai tentang rekam jejak para calon.
Di tengah dinamika politik yang semakin kacau, munculnya calon kepala daerah dengan rekam jejak bermasalah—termasuk dugaan korupsi, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), atau keterlibatan dalam kasus narkoba—menjadi bukti bahwa mekanisme Pilkada masih jauh dari ideal.
Pertanyaannya,apakah kita benar-benar diberi kesempatan untuk memilih dengan bijak ketika informasi yang tersedia seringkali tidak memadai?
Keterbatasan ini bukan hanya ancaman bagi kualitas demokrasi, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistem dalam menghasilkan pemimpin yang benar-benar layak.
Akses Publik terhadap Informasi
Salah satu persoalan krusial dalam Pilkada adalah sulitnya akses publik terhadap informasi rekam jejak calon kepala daerah, yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara. Survei menunjukkan bahwa lebih dari 50% masyarakat mengalami kesulitan dalam mendapatkan informasi yang memadai tentang calon yang akan dihadapi dalam pilkada.
Kendala ini disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk minimnya transparansi, akses terbatas ke dokumen resmi seperti Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), serta keterbatasan informasi yang tersedia untuk umum. Padahal, transparansi adalah fondasi esensial bagi keberlangsungan demokrasi yang sehat.
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik seharusnya menjadi alat yang kuat bagi masyarakat untuk mengakses data terkait rekam jejak calon kepala daerah. Namun, dalam praktiknya, undang-undang ini seringkali tidak efektif diimplementasikan. Hambatan birokrasi dan kurangnya kemauan politik membuat masyarakat terhalang dalam memperoleh informasi penting tersebut.
Akibatnya, tidak jarang calon kepala daerah dengan rekam jejak bermasalah—termasuk mereka yang pernah terlibat kasus korupsi atau bahkan sudah dipenjara—masih bisa maju dalam Pilkada dan mendapatkan dukungan besar dari masyarakat.
Fenomena ini menyoroti upaya calon untuk menutupi masa lalu mereka atau memanfaatkan celah hukum agar tetap bisa bersaing dalam kontestasi politik. Kegagalan dalam memastikan keterbukaan informasi ini bukan hanya melemahkan demokrasi, tetapi juga membahayakan kualitas kepemimpinan di tingkat daerah.
Salah satu fenomena yang sering terjadi dalam politik Indonesia adalah masyarakat yang mudah melupakan rekam jejak buruk para calon. Kondisi ini diperparah oleh tingginya pengaruh popularitas dan pencitraan dibandingkan dengan kompetensi dan rekam jejak yang sebenarnya.
Politisi yang pernah terlibat dalam kasus hukum atau memiliki rekam jejak yang buruk, sering kali tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat hanya karena mereka mampu menciptakan citra yang baik melalui media massa atau kampanye yang menarik simpati rakyat. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan kecenderungan masyarakat yang melodramatik, yang mudah terjebak pada narasi-narasi emosional.
Dalam Pilkada, banyak calon yang berhasil memanfaatkan perasaan simpati masyarakat dengan memainkan isu-isu populis, seperti kemiskinan atau infrastruktur, tanpa memberikan solusi yang konkrit untuk masalah tersebut. Hal ini mengakibatkan masyarakat sering kali tertipu oleh penampilan luar calon kepala daerah tanpa menggali lebih dalam tentang rekam jejak dan prestasi yang mereka miliki. Sebagai contoh, calon yang sering memamerkan aksi “dekat dengan rakyat” dengan mengunjungi pasar-pasar tradisional atau ikut bekerja bersama masyarakat di lapangan, sering kali dipandang lebih positif dibandingkan calon yang tidak melakukan hal tersebut, meskipun rekam jejak mereka dalam tata kelola pemerintahan sangat buruk.
Dalam pandangan filsuf Plato, pemimpin diibaratkan seperti seorang nakhoda kapal yang harus tahu betul arah dan kondisi kapal yang ia pimpin. Namun, di Indonesia, kita sering kali lebih memilih pemimpin yang populer daripada yang benar-benar memiliki kemampuan memimpin yang baik.
Salah satu tantangan besar dalam Pilkada adalah adanya fenomena marketing politik yang sangat kuat, terutama yang didorong oleh media dan lembaga survei. Dalam banyak kasus, calon kepala daerah yang tidak memiliki rekam jejak yang baik dapat tetap memperoleh popularitas tinggi berkat dukungan dari media atau hasil survei yang dipublikasikan secara masif. Lembaga survei memiliki peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap calon kepala daerah.
Sayangnya, survei yang seharusnya menjadi alat untuk mengukur popularitas dan elektabilitas secara objektif, kadang kala justru menjadi alat untuk mendongkrak popularitas palsu. Tidak jarang, survei yang dibuat hanya untuk menguntungkan pihak tertentu, tanpa memperhatikan fakta dan rekam jejak kandidat. Akibatnya, masyarakat menjadi terjebak dalam persepsi yang salah, mengira bahwa calon yang populer adalah calon yang berkualitas, padahal kenyataannya tidak demikian. Hal ini diperparah dengan maraknya kampanye hitam yang bertujuan menjatuhkan lawan politik. Dalam konteks Pilkada, calon-calon dengan rekam jejak baik bisa saja diserang melalui berita-berita palsu atau kampanye negatif yang tidak berdasarkan fakta.
Media sosial, yang kini menjadi alat kampanye utama, sering kali menjadi medium untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan dan mempengaruhi opini publik secara tidak sehat. Rekam jejak calon kepala daerah seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam memilih pemimpin. Hal ini karena rekam jejak dapat memberikan gambaran jelas tentang karakter, integritas, dan kompetensi calon.
Seorang calon yang memiliki rekam jejak yang baik dalam hal kepemimpinan, prestasi, dan pelayanan publik kemungkinan besar akan mampu menjalankan pemerintahan daerah dengan baik dan membawa perubahan positif bagi masyarakat. Dalam konteks ini, rekam jejak tidak hanya mencakup latar belakang hukum atau catatan integritas, tetapi juga mencakup prestasi yang pernah dicapai selama memegang posisi tertentu, baik di pemerintahan maupun di sektor lainnya.
Apakah calon tersebut pernah berhasil dalam mengelola anggaran publik? Apakah ia pernah terlibat dalam skandal korupsi? Apakah ia memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seharusnya menjadi bagian dari evaluasi masyarakat sebelum menentukan pilihan.
Selain itu, rekam jejak juga mencakup komitmen calon terhadap penegakan HAM dan perlindungan kelompok rentan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu melindungi hak-hak warganya, termasuk kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memeriksa apakah calon kepala daerah memiliki catatan yang baik dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan mempromosikan kesetaraan di wilayahnya.
Di tengah maraknya propaganda politik dan upaya pencitraan, masyarakat harus lebih kritis dalam memilih calon kepala daerah. Pilihan yang dibuat berdasarkan popularitas semata tanpa melihat rekam jejak hanya akan menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat itu sendiri.
Masyarakat harus diberikan akses informasi yang lengkap dan akurat tentang calon kepala daerah. Peran media yang independen, lembaga masyarakat sipil, dan lembaga pemantau Pilkada sangat penting dalam hal ini. Informasi tentang rekam jejak calon harus disajikan secara transparan dan mudah diakses oleh publik, sehingga masyarakat bisa membuat keputusan yang bijaksana berdasarkan data yang valid, bukan hanya berdasarkan pencitraan atau popularitas.
Selain itu, masyarakat juga harus menyadari bahaya dari politik uang, yang sering kali menjadi alat untuk membeli suara rakyat. Pemilih harus lebih memprioritaskan integritas dan kompetensi calon daripada iming-iming materi yang ditawarkan selama kampanye.
Dengan demikian, Pilkada dapat menjadi momen penting untuk memilih pemimpin yang benar-benar bisa membawa perubahan positif dan memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan sekadar mengejar kekuasaan pribadi atau kelompok. Pilkada serentak di Indonesia adalah kesempatan emas bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas dan mampu membawa perubahan positif bagi daerah mereka.
Namun, untuk mencapai tujuan ini, masyarakat harus diberikan akses informasi yang memadai tentang rekam jejak calon kepala daerah. Transparansi dan keterbukaan informasi adalah kunci untuk memastikan bahwa calon yang terpilih adalah orang yang memiliki integritas, kompetensi, dan rekam jejak yang baik dalam memimpin.
Dengan mengetahui rekam jejak calon, masyarakat dapat membuat pilihan yang lebih cerdas dan bertanggung jawab, sehingga demokrasi di Indonesia dapat berjalan dengan lebih baik dan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Masyarakat juga harus lebih kritis dalam menyikapi kampanye politik yang sering kali penuh dengan pencitraan dan janji-janji populis.
Memilih pemimpin bukan hanya tentang popularitas atau janji manis yang diucapkan selama kampanye, melainkan tentang menemukan sosok yang benar-benar berkomitmen untuk melayani rakyat dengan integritas dan kompetensi.
Sayangnya, banyak masyarakat yang masih terjebak dalam euforia sesaat, lebih tertarik pada citra yang dibentuk melalui media massa daripada menelaah rekam jejak dan kemampuan nyata para calon. Ini adalah cerminan dari kegagalan kita sebagai bangsa dalam mendewasakan demokrasi. Kita harus ingat bahwa masa depan daerah dan negara kita sangat bergantung pada kualitas pemimpin yang kita pilih.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif untuk tidak hanya mengandalkan popularitas atau sentimen emosional, tetapi juga untuk kritis dan cerdas dalam menilai rekam jejak calon kepala daerah. Tanpa evaluasi yang mendalam dan komitmen untuk memilih pemimpin yang berjiwa melayani, kita hanya akan terus mengulang siklus kegagalan yang merugikan rakyat dan bangsa secara keseluruhan.