Krisis Air, Krisis Pembangunan
Negara maju biasanya dipimpin oleh sekumpulan orang yang berpikiran maju. Negara itu pasti dikelola oleh kaum politisi yang berfikiran maju. Tentaranya, lahir dari perwira-perwira berfikiran maju.
Polisinya adalah polisi pengayom rakyat yang pikirannya maju, jaksanya adalah jenis jaksa penegak keadilan, hakimnya adalah hakim yang takut kepada Tuhannya.
Begitu pula pengacaranya nyaris tidak ditemukan pengacara yang membela kaum penjahat dan koruptor. Mereka semua punya dedikasi yang tinggi pada kebenaran dan keadilan.
Potret seperti itu rasanya memang terlalu ideal. Namun untuk menjadi Negara yang sehat dan berkeadilan, sejumlah pengelola kunci dalam bernegara itu mutlak diperlukan. Jika tidak, maka pembangunan di negara itu akan selalu mengalami krisis yang berkelanjutan.
Oleh karena itu dalam film G30 S PKI misalnya, ketika sedang rapat menyusun gerakan kudeta, ada ucapan Aidit seperti ini. "Gerakan-gerakan ini harus dipimpin oleh perwira-perwira berpikiran maju, seperti Kolonel Untung, dan saya berharap Jakarta tidur malam ini."
Artinya, pikiran maju itu sangat dibutuhkan dalam mengelola organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Apalagi untuk mengelola organisasi gigantis seperti negara. Jelas membutuhkan pikiran-pikiran brillian yang mampu menembus masa depan.
Persoalannya adalah, banyak sekali pemimpin yang tidak mampu berfikiran maju. Apa sebab? Mereka tidak terlatih berfikir substantif dan radikal-komprehensif.
Mereka cenderung terbuai oleh hal-hal di permukaan belaka. Mari kita lihat, betapa banyak pemimpin yang tidak peduli terhadap air sebagai sumber kehidupan. Jika kita lihat di Indonesia, bangsa dengan ratusan juta jiwa ini, masih ditemukan wilayah-wilayah yang selalu mengalami krisis air bersih dikala kemarau tiba.
Faktanya krisis air itu bukan hanya terjadi di pulau Jawa, namun terjadi juga di Sumatera dan Kalimantan. Beberapa catatan dari Indonesia Development Research (IDR) menunjukkan, setiap tahunnya Indonesia mengalami krisis air bersih hingga titik yang memprihatinkan.
Puncak musim kemarau beberapa tahun lalu 2018-2019 mengakibatkan sejumlah daerah di Indonesia mulai mengalami krisis air bersih. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi kemarau tahun-tahun itu lebih kering karena bersamaan dengan munculnya El Nino.
El Nino merupakan fenomena suhu muka laut memanas di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur. Kekeringan hingga krisis air bersih terjadi tidak hanya di pulau Jawa, namun meluas di sejumlah titik di Sumatera hingga Kalimantan.
Tidak jauh dari ibukota negara, di Lebak, Provinsi Banten, terdapat 15 desa di enam kecamatan kehilangan akses air bersih akibat kemarau panjang. Kekeringan terjadi di Kecamatan Sajira, Maja, Leuwidamar, Bojongmanik, Wanassalam dan Warunggunung.
Mengapa kekeringan serupa tetap berlangsung setiap tahun? Hemat penulis, ini karena perkara kecerdasan sekelompok pemimpin. Mereka tidak 'ngeh' bahwa air adalah sumber kehidupan umat manusia dan alam sekitarnya.
Krisis air sejatinya potret krisisnya pembangunan. Dan, krisis pembangunan itu terjadi karena krisis pikiran-pikiran akan pentingnya kemajuan. Jika para pemimpin itu berfikir mendalam, merenung dengan baik, maka prioritas pembangunan di wilayahnya akan mereka fokuskan pada bagaimana membangun tata kelola air yang baik dengan manajemen modern.
Berbagai upaya akan mereka lakukan untuk menghadirkan air sebagai sumber kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian mereka bisa memastikan, tata kelola air itu akan mencegah banjir dikala hujan dan menghilangkan kekeringan dikala musim kemarau tiba.
Tapi apa dampak ikutan jika para pemimpin fokus pada pembangunan air?
Pertama, air akan menjamin kelangsungan.hidup manusia, sebab setiap saat manusia membutuhkan air untuk minum, masak, makan, bertani, berkebun, beternak, jualan minuman, jualan masakan, jualan es, jualan segala rupa kebutuhan hidup lainnya. Walhasil, semua itu akan lancar jika tersedia air dengan cukup.
Kedua, air bisa mendukung pertumbuhan sektor pertanian sebagai pusat supply persediaan pangan nasional. Tanpa dukungan air, pembangunan sektor pertanian tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional. Dampaknya kita sebagai bangsa akan menjadi pasar impor yang dalam jangka panjang merusak jantung ketahanan pangan nasional.
Seiring dengan kesadaran itu, maka seharusnya negara berfikir bagaimana membangun instalasi air berikut tata kelolanya secara modern. Mulai pembangunan bendungan air, sistem irigasi persawahan, jalan usaha tani, dan interlink yang dibutuhkan. Sebab ketergantungan pangan pada impor hanya menyerahkan leher ratusan juta jiwa rakyatnya kepada bangsa asing.
Ketiga, dengan fokus pada air sebagai basis pembangunan akan muncul sektor-sektor usaha lain yang berkaitan dengan air sebagai bahan utamanya. Misalnya pemandian, kolam renang, aneka wisata air, air terjun, olahraga air, dan lain lain.
Di sektor pertanian akan muncul berbagai jenis usaha yang membutuhkan air seperti perikanan darat melalui budidaya, peternakan sapi, kambing, unggas, dan sejenisnya. Kebijakan itu akan memperkuat desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi nasional.
Tanpa memperkuat aktivitas produksi si desa-desa kita akan lumpuh sebagai bangsa. Jangan pernah bermimpi menjadi bangsa yang hebat tanpa kita serius membangun aktivitas produksi berbasis agraris di desa-desa.
Keempat, negara yang negerinya makmur tanpa kekeringan selalu menjadi negara yang berwibawa dimata dunia. Negeri itu menjadi.negeri yang solid, karena desa-desa mereka tumbuh menjadi desa yang makmur dan sejahtera. Desa yang demikian akan menghambat laju urbanisasi yang kini terus menjadi masalah dikota-kota besar.
Mengapa hal itu terus terjadi? Jawabannya karena di desa mereka kesulitan untuk hidup sejahtera akibat pemimpinnya tidak peduli dengan pentingnya air sebagai sumber kehidupan.
Pertanyaan saya, apakah anda tergolong pemimpin yang peduli akan pentingnya air sebagai sumber kehidupan? Jika tidak, segera pelajari bab-bab soal air, lalu lakukan segera. Saya bisa pastikan, Anda akan jadi pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Anda siap?
Oleh: Fathorrahman Fadli*
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, dan Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)