Kriminologi Jawa untuk Pembunuhan Pasuruan
Oleh: Djono W. Oesman
Pembunuhan ini sederhana. Heru utang Rp4 juta ke tetangga, Endang Sukowati. Berbulan-bulan ditagih, perempuan 47 tahun itu tidak dibayar. Tapi istri Heru ibadah umrah ke Arab Saudi. Lalu, Endang mengatakan sesuatu yang membuat dia dibunuh pria 34 tahun itu.
—----------
Kalimat Endang pada Heru itu diakui Heru ke penyidik di Polres Pasuruan, Jatim. Kapolres Pasuruan AKBP Bayu Pratama kepada wartawan, Jumat 10 November 2023, menirukan ucapan Endang pada Heru, begini:
“Wong, istrimu umroh saja bisa, masak kamu bayar utang gak mampu? Jual saja istrimu untuk bayar utangmu.”
Dilanjut: “Itu yang membuat tersangka tersinggung. Lalu ia merencanakan pembunuhan terhadap korban. Perencanaan dalam dua hari. Selama merencanakan, tersangka tidak masuk kerja.”
Ucapan Endang luapan emosi pada Heru yang tidak membayar utang. Ucapan berlebihan. Lalu dibalas dengan pembunuhan. Pelaku sempat menyamarkan, seolah-olah perampokan.
Kronologi berdasar hasil pemeriksaan polisi, demikian:
Selasa, 7 November 2023 pukul 17.35 WIB, Sugiono, pulang kerja. Tiba di rumah di Dusun Randupitu, Desa Randupitu, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jatim, istri pria 48 tahun itu, Endang tergeletak di kamar mandi, berlumuran darah. Lantai rumah juga banjir darah.
Jayadi, tetangga sebelah rumah Sugiono kepada wartawan mengatakan: "Kaget. Nggak kedengeran apa-apa. Tahu-tahu pukul 17.25 WIB, pas suaminya pulang, ada kejadian seperti itu. Nggak ada teriakan atau apa sebelumnya.”
Jayadi masuk ke rumah Sugiono, karena mendengar Sugiono menangis sambil bicara cukup keras. Sehingga Jayadi penasaran, lalu masuk rumah itu.
Jayadi: "Saya lihat, Mbak Endang dirangkul suami sambil menangis. Mbak Endang tergeletak berdarah-darah. Makanya celana dan baju suaminya basah darah. Mungkin itu darah istrinya.”
Sugiono bertanya ke Jayadi, apa yang terjadi? Jayadi menjawab, tidak tahu. Jayadi mengaku, tidak mendengar teriakan minta tolong atau ribut-ribut, sebelumnya. Sugiono juga bertanya ke tetangga lain, jawabnya sama dengan Jayadi.
Lalu, polisi tiba di TKP. Endang dinyatakan sudah meninggal dunia. Ada tiga luka tusuk benda tajam, semua di punggung. Juga wajah korban lebam. Diduga, korban melawan saat dianiaya.
Segera, jenazah Endang dikirim ke RS. Polisi melakukan olah TKP. Meneliti semua sudut rumah. Mewawancarai Sugiono, juga para tetangga. Kesimpulan awal, itu perampokan. HP dan perhiasan kalung korban hilang. HP dihubungi, sudah mati.
Polisi menyimpulkan, perampokan tapi dilakukan orang dekat. Sebab kondisi pintu dan jendela rumah tidak rusak. Korban tinggal sendiri di rumah selama suami kerja. Disimpulkan, ada orang mengetuk pintu, dibukakan, lalu si tamu masuk rumah, membunuh korban.
Polisi menggali bukti dan informasi lebih dalam. Ternyata korban biasa meminjamkan uang. Polisi menyelidik, siapa saja yang sedang pinjam uang ke korban. Polisi mencatat data orang yang sedang utang pada korban. Sesuai pengetahuan Sugiono yang diwawancarai polisi.
Di sekitar lokasi ternyata ada CCTV. Rekaman kamera CCTV diambil polisi untuk diteliti. Akhirnya calon tersangka mengerucut pada Heru, yang tinggal tak jauh dari rumah korban.
Kamis, 9 November 2023 Heru ditangkap polisi di tempat kerjanya. Diinterogasi. Awalnya Heru tidak mengaku. Tapi bukti CCTV membuat Heru tak bisa mengelak lagi. Ia mengakui membunuh Endang. Motifnya, Heru utang belum bayar. “Terus, ada kata-kata korban yang membuat tersangka tersinggung, seperti itu,” ujar AKBP Bayu Pratama.
Digali lebih dalam, Heru ternyata merencanakan pembunuhan itu sejak Minggu, 5 November 2023. AKBP Bayu Pratama mengatakan, Heru tidak masuk kerja pada Senin dan Selasa. Untuk menimbang-nimbang, apakah pembunuhan dilakukan atau tidak. Pembunuhan menggunakan pisau dapur yang dibawa Heru dari rumahnya.
Dari kronologi itu, Endang bagai menggali kubur sendiri. Ucapan Endang memicu pembunuhan. Meskipun, bukan berarti mengurangi tingkat kejahatan pelaku, yang kejam. Endang menagih utang, emosi berlebihan. Dalam Bahasa Jawa: Ngono yo ngono, ning ojo ngono.
Kalimat Bahasa Jawa itu diriset oleh Luluk Dewi Handayani dan Koentjoro Soeparno PhD dari Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dipublikasi bertajuk: “Ngono Yo Ngono Ning Aja Ngono, Sebuah Kontrol Diri dalam Membangun Harmonisasi Orang Jawa”.
Riset dilakukan di Sleman, Yogyakarta, dengan metode wawancara terhadap beberapa sesepuh setempat.
Dipaparkan, kalimat itu merupakan ajaran orang tua kepada anak. Ajaran lisan. Disebut piweling (pengingat). Turun temurun. Jika diurai kata demi kata, pasti membingungkan. Dalam Bahasa Indonesia artinya: Begitu ya begitu, tapi jangan begitu.
Terdengar mbulet dengan kata 'begitu'. Tapi bagi orang Jawa, atau yang bermukim lama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, paham maksud nasihat itu.
Maknanya: Imbauan agar anak tidak bersikap berlebih dalam menanggapi sesuatu. Misal, ketika marah jangan berlebihan sampai membabi-buta. Ketika kaya harta, jangan berlebihan dengan pamer harta atau menghamburkan harta.
Intinya, bersikaplah secara sederhana. Dalam kondisi apa pun, dalam menanggapi kejadian apa pun selama hidup di dunia. Itu sebab, judul riset itu ditambahi kalimat "Kontrol Diri dalam Membangun Harmonisasi Orang Jawa”.
Itu filosofi masyarakat Jawa yang luhur. Penuh kebijakan dalam bersikap. Mengutamakan harmonisasi hidup bermasyarakat.
Filosofi itu hidup berakar di masyarakat secara turun-temurun, sejak dulu hingga kini.
Dicontohkan, nasihat orang tua kepada anaknya: “Le, kowe sesuk ojo ngono kuwi. Nek aneh-aneh, ing tembhe mburi bakal kuciwa. Kowe nek nesu yo ojo ngono.”
Artinya: "Nak, kelak jangan seperti itu. Kalau aneh-aneh, kelak akan kecewa. Kamu kalau marah jangan seperti itu."
Maknanya: Peringatan untuk tidak marah berlebihan, karena tindakan yang berlebihan dapat menyebabkan kekecewaan di kemudian hari. Jika seseorang bersikap berlebih, maka tindakannya cenderung merugikan orang lain, dan diri sendiri.
Intinya, orang Jawa harus pandai mengontrol diri.
Dalam ilmu psikologi (Barat) itu mirip strategi psikologi "coping".
Richard Lazarus dan Susan Folkman dalam buku mereka bertajuk: Stress, appraisal, and coping (New York, 1984) menyebutkan:
Coping adalah usaha perubahan kognitif dan perilaku secara konstan, untuk mengelola tuntutan eksternal dan atau internal tertentu, yang dinilai sebagai membebani atau melampaui sumber daya seseorang.
Maknanya, coping manajemen kognitif seseorang dalam mengelola emosi. Orang dengan tingkat coping rendah, jika emosional bakal marah meledak-ledak. Sebaliknya, orang dengan tingkat coping tinggi menanggapi gejolak emosional diri dengan bijaksana.
Ajaran Jawa dan Barat sama-sama bernilai luhur. Bedanya, Barat disampaikan dalam teori tertulis yang bisa dibaca siapa pun dengan latar budaya apa pun. Sebaliknya, ajaran Jawa disampaikan dalam ucapan lisan dari orang tua kepada anak secara turun-temurun.
Dalam pembunuhan di Pasuruan, korban dan pelaku sama-sama tidak menerapkan piweling ‘ngono yo ngono, ning ojo ngono’. Dari sisi korban sudah jelas, dia memaki secara berlebihan: “Jual saja istrimu, untuk bayar utangmu.” Sangat menyinggung perasaan pelaku.
Sebaliknya, pelaku dengan tingkat coping yang rendah, emosi berlebihan. Tidak menuruti ajaran Jawa yang luhur itu.
Satu lagi, dari kronologi tersebut tampak pelaku atau isterinya memang punya uang. Bukti, isterinya bisa ibadah umrah (paling murah Rp 40 juta). Beribadah sampai jauh ke Tanah Suci, tapi utang kepada tetangga dekat rumah Rp4 juta tidak dibayar. Ngono yo ngono, ning ojo ngono.
Siapa pun pelanggar piweling itu, dalam filosofi Jawa, pasti bakal menimbulkan korban (orang lain dan diri sendiri). Pembunuh dipenjara melanggar Pasal 340 KUHP Pembunuhan Berencana. Ancaman hukuman mati, setidaknya 15 tahun penjara. Korbannya mati.
Filosofi Jawa dan Barat itulah kriminologi. Karena, inti kriminologi adalah ilmu mempelajari orang berbuat jahat. Agar orang terhindar dari korban kejahatan.
(*) Penulis adalah wartawan senior