KPU Curang?
Saya beruntung. Sejak reformasi politik pernah dua kali ikut pemilihan kepala daerah. Dua kali menjadi tim sukses pemilihan gubernur. Meski yang terakhir hanya menjadi tim bayangan.
Dua kali ikut pemilihan kepala daerah dengan hasil sekali menang dan sekali kalah. Demikian juga saat menjadi timses. Sekali menang dan sekali kalah. Ini sudah cukup jadi pengalaman paling berharga dalam hidup ini.
Karena itu, saya selalu bisa merasakan denyut saat-saat mau menang dan saat-saat mau kalah. Ada suasana yang bisa dirasakan. Selalu ada tanda-tanda jauh hari sebelum coblosan dilakukan.
Tentu tidak hanya rasa. Tapi juga bisa diprediksi lewat pertanda-pertanda yang bisa diperhitungkan. Secara matematis maupun secara statistik. Apalagi di saat ilmu statistik makin maju seperti sekarang.
Seperti halnya setiap kontestasi, selalu ada pertarungan strategi dan taktik. Mulai dari yang kasar sampai yang halus. Dari yang sopan sampai yang brutal. Dari yang serius sampai dengan yang cengengesan.
Semuanya sah. Sepanjang tidak melanggar undang-undang dan peraturan yang telah ditetapkan. Undang-undang dibikin berdasarkan konsensus. Lewat DPR RI yng anggotanya terdiri dari pihak-pihak yang berperang.
Pelaksanaan pemilu paska reformasi politik berbeda dengan jaman Orde Baru sebelumnya. Dulu KPU dibentuk pemerintah. Kontrol langsung dari masyarakat masih susah. Teknologi komunikasi belum semaju sekarang.
Paska reformasi? Selama dua kali ikut pilkada tak ada alasan kuat untuk menyebut KPU berlaku curang. Demikian juga ketika dua kali menjadi timses bayangan pemilhan gubernur. Apalagi ada mekanisme peradilan jika ada sengketa.
Lalu mengapa dalam pilpres kali ini isu KPU curang begitu mengemuka? Ini jelas hanya bagian dari perang urat saraf. Ketika kontestasi begitu memuncak untuk saling mengungguli dalam menggaet suara dukungan.
Isu seperti ini mempunyai ruang ketika media sosial menjadi bagian dari "perang" udara. Ketika setiap orang bisa menarasikan dukungan dengan begitu leluasa. Mencuit setiap saat. Mengupdate status kapan pun juga.
Media sosial telah memperluas arena pertarungan yang tadinya sangat terbatas. Ia menyebar seperti kilat ke mana-mana. Menebar informasi sesuai dengan kepentingan pengirim pesan. Apakah itu sebagai bagian strategi perang atau yang spontan.
Seperti halnya tagar INAobserverSOS yang sempat menjadi trending sejagat. Cuitan ini muncul sebagai bagian perang urat saraf dengan cara mendeligitimasi pemilu. Haruskah timses kandidat sambatan ke orang asing mengawasi hajatan politik kita?
Seperti telah diklarifikasi KPU, mereka telah mengundang KPU dari berbagai negara dan pengamat asing untuk hadir di coblosan 17 April mendatang. Tradisi ini sudah berlangsung lama. Sejak reformasi politik paska runtuhnya pemerintahan otoriter Soeharto.
Mana ada KPU negara lain dan pengamat asing dalam beberapa kali pemilu di zaman Orde Baru? Mana berani parpol non penguasa mengundang orang asing untuk ikut mengawasi pemilu di zaman itu? Pemilu curang saat itu sangat berpeluang. Kini amat kecil peluangnya.
Lagi pula saya mengetahui banyak latar belakang masing-masing personel komisioner KPU sekarang. Ketua KPU Arif Budiman, misalnya. Saya tak ada ruang untuk meragukan komitmen dia dalam menjaga kredibilitas komisi penyelenggara pemilu yang dia pimpin.
Ia kebetulan pernah menjadi anak buah saya di Jawa Pos Intitute of Pro Otonomi (JPIP). Sebuah lembaga yang dibentuk untuk mengawal otonomi daerah paska desentralisasi pemerintahan. Ini bagian dari amanat reformasi politik yang terjadi di tahun 1998.
Ia adalah orang yang selalu berdedikasi dalam hal demokratisasi. JPIP selalu meranking para kepala daerah yang berpretasi dengan berbagai inovasi. Setiap tahun kami menggelar penelitian untuk itu. Arif Budiman salah satu penelitinya.
Kalau mau curang, kami semua bisa mendapat sesuatu dari para bupati dan walikota yang ingin tampil sebagai pemenang. Tapi kami semua tak ingin cacat hanya untuk kepentingan sesaat. Kredibilitas, independensi penilaian, dan komitmen memajukan negeri mampu tetap kami jaga.
Mungkinkah Arif Budiman kini sudah berubah? Rasanya tidak. Beberapa kali bersua ia tetap pada sikap dan visi saat kami bersama mengisi amanat reformasi dengan menjaga agar otonomi daerah lebih bermakna. Demikian juga komisioner lainnya.
Tampaknya, tidak cukup beralasan mencurigai KPU curang. Kecuali memang berniat mendeligitimasi lembaga penyelenggara pemilu itu dalam rangka perang mengunggulkan kandidatnya. Kecuali ada agenda lain agar siapa pun pemenangnya kelak tak dipercaya rakyat.
Kalau itu yang dituju, tentu sangat berbahaya bagi masa depan bangsa kita. Bangsa yang diperjuangkan dan didirikan melalui korban nyawa para pahlawan kita. Delegitimasi KPU bisa memberi ruang chaos yang bisa menarik mundur proses demokratisasi di negeri ini.
Saatnya menyudahi merongrong kredibilitas KPU. Saatnya semua kandidat dan pendukungnya fokus merebut hati rakyat. Untuk berbondong-bondong mendatangi TPS dalam Pilpres dan Pileg 17 April mendatang. Setelah itu bersama kembali sebagai bangsa.
Indonesia Maju, Indonesia Menang adalah kita. Semua bagian dari Indonesia. Saatny gunakan waktu yang tersisa dengan penuh riang dan gembira. (Arif Afandi)
Advertisement