KPR Turun, REI Berharap Ada Kebijakan Perpajakan Baru
Penerimaan pajak dari sektor properti pada semester I 2019 menurun. Penurunan bisnis properti ini juga tercermin dalam kinerja perbankan. Kredit konsumsi akibat menurunnya permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di tahun yang sama juga merosot. Dalam catatan BI, Juni 2019 kredit konsumsi turun menjadi 7,70 persen.
Mengapa permintaan kredit konsumsi untuk KPR turun? Sekretaris Jenderal DPP Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menduga lebih karena aturan perpajakan. Aturan perpajakan saat ini membuat para pembeli properti lebih bersikap wait and see.
Dia mengakui bahwa belakangan permintaan terhadap rumah telah tumbuh. Sudah mulai menggeliat. Tidak hanya permintaan rtumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tapi juga rumah mewah dan menengah.
Karena itu, ia berharap agar ada kebijakan baru di bidang perpajakan untuk mendorong tumbuhnya permintaan KPR. Disebutkan bahwa kebijakan perpajakan baru seperti batas untuk rumah mewah belum cukup merangsang tumbuhnya bisnis properti.
Lantas apa kebijakan perpajakan yang diharapkan DPP REI? ''Misalnya tentang PPh untuk pendapatan yang belum dilaporkan wajib pajak. Selama ini, PPh untuk ini dikenakan 30 persen. Sebaiknya, dikenakan PPh 5 persen. Sehingga, wajib pajak tidak takut membelanjakannnya untuk properti,'' katanya kepada ngopibareng.id, Senin (12/8/2019).
Kedua, lanjut Totok, diperlukan tax amnesty jilid dua. Dengan adanya tax amnesty lanjutan ini diharapkan bisa mengeluarkan dana yang selama ini tersimpann di bawah bantal oleh para wajib pajak.
''Namun, tentu untuk membuat kebijakan tax amanesty jilid dua perlu waktu lama. Sehingga upaya membangkitkan bisnis properti untuk menggenjot pertumbuhan kredit konsumsi sekaligus pertumbuhan ekonomi secara cepat tidak mungkin terjadi,'' tutur pengusaha properti asal Surabaya ini.
REI juga berharap ada penerapan model GST (Goods and Services Tax) di bidang properti. Totok mengusulkan setiap transaksi di sektor properti dikenakan pajak final 2,5 persen. Dia menghitung, sampai dengan end user, pemerintah bisa memperoleh pajak sektor properti dengan sistem GST ini sampai 17 persen.
''Penerapan GST ini sudah banyak dilakukan di negara-negara maju. Dengan model ini, tidak akan ada lagi peluang undertable antara pemeriksa dan wajib pajak,'' jelas Totok Lusida.
Sebelum ini, data di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) I Propinsi Jatim menunjukkan trend penerimaan pajak properti yang kurang menggembirakan. sampai Juni 2019, penerimaan pajak properti di Jatim sebesar Rp 484.596.111.701. Ini turun drastis dibanding penerimaan sampai Juni tahun sebelumnya Rp 602.519.143.778.
Hal yang kurang lebih sama jika dibandingkan perolehan sampai dengan bupan Maret. Pada triwulan pertama 2019, penerimaan pajak properti mencapai Rp 216.402.917.241.-. Di triwulan yang sama tahun sebelumnya mencatat penerimaan Rp 316.178.377.004. (*)