KPK Kebingungan Tentukan Status Pegawainya
Pimpinan KPK masih membahas dampak dari pengesahan revisi UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengharuskan semua pegawai KPK berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Itu salah satu yang paling urgen karena di KPK ada tiga jenis pegawai, pegawai tetap, pegawai negeri yang dipekerjakan, pegawai tidak tetap, jadi perlu penyesuaian nomenklatur yang rumit," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jakarta, Selasa.
Pada Selasa, Rapat Paripurna DPR resmi mengesahkan Revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau revisi UU KPK.
Dalam revisi UU tersebut diatur bahwa KPK adalah lembaga dalam rumpun eksekutif sehingga seluruh pegawai KPK adalah ASN.
Pasal 24 berbunyi ayat (2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps Profesi Pegawai ASN Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pasal 69B ayat (1) berbunyi Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai Pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69C berbunyi Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Hal ini harus dibicarakan khusus dengan Menpan RB," tambah Syarif.
Kondisi ini terkait dengan implikasi pekerjaan hari per hari KPK.
"Ini adalah 'day to day business' KPK khususnya perubahan status kepegawaian di KPK," ungkap Syarif.
Syarif mengaku hingga saat ini KPK memang tidak pernah diikutkan dalam pembahasan dan belum dikirimi secara resmi oleh DPR maupun pemerintah.
"Banyak sekali norma-norma pasal yang melemahkan penindakan di KPK di antaranya: Komisioner KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum," tambah Syarif.
Selanjutnya penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin Dewan Pengawas; Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden; Komisioner bukan lagi pimpinan tertinggi di KPK; Status kepegawaian KPK berubah drastis dan harus melebur menjadi ASN.
"Hal-hal di atas berpotensi besar untuk mengganggu 'independensi' KPK dalam mengusut suatu kasus. Masih banyak lagi detail-detail lain yang sedang kami teliti dan semuanya jelas akan memperlemah penindakan KPK," ungkap Syarif.