KPK, Benteng atau Simbol Kerapuhan Hukum?
Oleh: Dr. Antonius Benny Susetyo
Pakar Komunikasi Politik, Stafsus BPIP.
Membahas peran dan integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam konteks kebijakan hukum dan etika publik menjadi semakin mendesak, terutama dalam situasi di mana kepercayaan publik terhadap KPK mulai tergoyahkan.
Kontroversi terbaru yang melibatkan Kaesang Pangarep dan penggunaan fasilitas jet pribadi yang diduga sebagai bentuk gratifikasi bukan hanya memicu sorotan tajam dari masyarakat, tetapi juga mengungkap ketegangan mendasar terkait kredibilitas dan keseriusan KPK dalam menjalankan fungsinya.
Pernyataan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, yang seolah-olah menunggu 'itikad baik' Kaesang untuk hadir dan memberikan keterangan, mencerminkan sikap yang ambigu dan rentan ditafsirkan sebagai bentuk ketidakseriusan. Ini memperlihatkan adanya kegagalan KPK dalam mempertahankan jati diri awalnya sebagai lembaga yang tegas dan tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum.
Ketika KPK terlihat lebih memilih untuk menunggu penjelasan dari Kaesang secara pribadi, alih-alih menjalankan mekanisme hukum dengan tegas, hal ini tidak hanya memperlemah kredibilitas lembaga, tetapi juga mencerminkan adanya defisit integritas dalam penerapan etika publik.
KPK sebagai lembaga anti-korupsi memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keadilan di Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kredibilitas lembaga ini kerap dipertanyakan. Publik melalui berbagai platform, termasuk media sosial X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter), mempertanyakan apakah KPK masih mampu bertindak dengan adil dan tanpa pandang bulu.
Relasi Kuasa dan Diskursus
Dalam konteks ini, pandangan Michael Foucault tentang relasi kuasa menjadi relevan. Foucault menekankan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk mengawasi dan menyelidiki setiap dugaan pelanggaran hukum, terutama yang melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh. Dalam hal ini, peran KPK seharusnya adalah bertindak proaktif dalam menyelidiki dugaan gratifikasi dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil, terlepas dari siapa yang terlibat.
Namun, publik merasakan adanya standar ganda dalam komunikasi publik KPK. Ketika menyangkut orang-orang berpengaruh atau memiliki posisi strategis, KPK terlihat ragu untuk bertindak tegas. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah KPK masih memiliki taring untuk menegakkan nilai-nilai keadilan dan moralitas publik.
Padahal, sejak awal, KPK dibentuk dengan tujuan untuk menegakkan keadilan dan memberantas korupsi di Indonesia. Namun, jika lembaga ini tidak dapat mempertahankan integritas dan ketegasannya, kepercayaan publik akan terus menurun. Thomas Aquinas menekankan bahwa keadilan harus bersifat universal, dan hukum seharusnya tidak hanya menjaga ketertiban tetapi juga mewujudkan rasa keadilan.
Pandangan Montesquieu tentang trias politica juga relevan dalam diskusi ini. Untuk mencapai keadilan, harus ada fungsi silang antara lembaga negara, sehingga tidak ada satu kekuasaan yang mendominasi. Jika hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, maka keadilan tidak akan tercapai.
Prinsip kesamaan di hadapan hukum adalah prinsip fundamental yang harus menjadi landasan bagi KPK dalam menjalankan tugasnya. Lembaga ini memiliki otoritas besar untuk menegakkan keadilan dan menjaga moralitas publik. Namun, jika KPK tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan konsisten dan tegas, wibawa hukum akan runtuh, dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum akan hancur.
Krisis hukum yang melanda saat ini merupakan sinyal serius bahwa negara ini sedang menjauh dari cita-cita awalnya sebagai negara hukum dan lebih condong menjadi negara yang dikendalikan oleh kekuasaan atau kepentingan politik tertentu.
KPK, sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, harus kembali pada spirit dan jati dirinya sebagai lembaga yang menegakkan hukum secara adil dan tidak diskriminatif. Tidak ada ruang bagi kompromi atau perlakuan istimewa dalam penegakan hukum—semua orang, tanpa kecuali, harus diperlakukan setara di hadapan hukum.
Jika KPK gagal menegakkan prinsip ini, lembaga tersebut tidak hanya kehilangan legitimasi, tetapi juga berkontribusi pada makin tergerusnya kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Kembali kepada jati diri awalnya, KPK harus menunjukkan ketegasan dan keberanian untuk menindak tanpa pandang bulu, memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan merata. Hanya dengan cara ini, integritas lembaga dapat dipulihkan, dan kepercayaan publik dapat dipertahankan. Keadilan yang tegak tanpa pengecualian adalah kunci untuk memastikan bahwa Indonesia tetap berjalan di jalur yang benar sebagai negara hukum, bukan negara yang tunduk pada kekuasaan atau kartel politik.
Langkah pertama yang harus diambil oleh KPK adalah menunjukkan ketegasan dalam menangani kasus-kasus korupsi tanpa pandang bulu, termasuk yang melibatkan individu dengan kekuasaan atau pengaruh. KPK harus berani menegakkan hukum secara adil, tanpa memberikan keistimewaan kepada siapa pun. Komitmen ini harus diwujudkan melalui tindakan konkret, bukan hanya retorika, agar publik percaya bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa diskriminasi.
Kedua, KPK perlu memperbaiki komunikasi publiknya. KPK harus menyampaikan pesan yang jelas dan konsisten tentang komitmen mereka untuk menegakkan keadilan tanpa pengecualian. Transparansi dalam proses penyelidikan adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan publik. KPK harus memberikan informasi yang akurat dan terbuka mengenai langkah-langkah yang mereka ambil, sehingga masyarakat dapat melihat bahwa lembaga ini bekerja dengan integritas dan tanpa intervensi.
Ketiga, penguatan pengawasan dan penyelidikan adalah langkah krusial. KPK harus proaktif dalam mengusut setiap dugaan korupsi atau gratifikasi, memastikan bahwa semua bukti diperiksa secara cermat dan teliti. KPK tidak boleh membiarkan adanya celah bagi intervensi dari pihak mana pun yang dapat mengaburkan proses hukum. Integritas penyelidikan harus dijaga ketat agar hasilnya tidak diragukan.
Keempat, kolaborasi dengan lembaga penegak hukum lain perlu ditingkatkan. KPK harus bekerja sama secara efektif dengan kepolisian, kejaksaan, dan institusi lainnya untuk memberantas korupsi secara menyeluruh. Selain itu, KPK harus merangkul masyarakat sipil dan media sebagai mitra strategis dalam upaya memperkuat pemberantasan korupsi. Dukungan dari berbagai pihak ini sangat penting untuk menciptakan tekanan sosial yang positif dalam penegakan hukum.
Terakhir, (Kelima) KPK harus kembali berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar penegakan hukum dan keadilan. KPK harus tetap teguh dalam menjalankan tugasnya, tidak terpengaruh oleh tekanan politik atau kekuasaan, dan selalu bertindak sesuai dengan hukum dan etika. Dengan menjaga integritas ini, KPK akan mampu mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan secara merata di seluruh negeri.
KPK berada di persimpangan kritis dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Tantangan yang dihadapi oleh lembaga ini bukan hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam, di mana integritas dan komitmen terhadap prinsip-prinsip dasar hukum terus diuji. Jika KPK gagal menunjukkan keberanian untuk bertindak tanpa pandang bulu dan mempertahankan ketegasan dalam menjalankan tugasnya, maka mereka tidak hanya akan kehilangan kepercayaan publik, tetapi juga akan merusak fondasi negara hukum yang seharusnya menjadi pilar utama dalam menjaga keadilan dan kesetaraan di Indonesia.
Ketidakmampuan untuk mengatasi tantangan ini akan memperlemah wibawa hukum dan membuka ruang bagi kekuatan politik dan ekonomi untuk mendikte jalannya keadilan. Ini adalah ancaman serius yang dapat mengikis nilai-nilai demokrasi dan etika publik, menggiring Indonesia ke arah sistem di mana hukum tunduk pada kekuasaan dan uang, bukan pada kebenaran dan keadilan.
KPK harus sadar bahwa keberhasilan mereka bukan diukur dari seberapa banyak kasus yang ditangani, tetapi dari seberapa adil dan transparan proses tersebut dilakukan, serta seberapa kuat mereka mampu menjaga prinsip kesamaan di hadapan hukum. Hanya dengan kembali kepada jati diri awal sebagai lembaga yang tegas, adil, dan tidak memihak, KPK dapat mengembalikan wibawa hukum di negeri ini.
Dengan demikian, reformasi internal dan revitalisasi komitmen moral dalam tubuh KPK menjadi agenda yang tidak bisa ditunda. Kegagalan untuk melakukannya bukan hanya akan menjadi bencana bagi KPK sebagai institusi, tetapi juga bagi seluruh bangsa yang mendambakan keadilan dan kepastian hukum.
Dalam konteks ini, KPK harus menjadi contoh dari keberanian moral yang tidak bisa ditawar-tawar, serta menjadi benteng terakhir dalam menjaga supremasi hukum di Indonesia.