KPAI: 79,9% Siswa Tak Suka PJJ, Tidak Ada Interaksi dengan Guru
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) agar memperbaiki sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ) fase kedua. Ini penting agar anak-anak dapat mengikuti PJJ dengan kondisi bahagia.
Masalahnya, 79,9% siswa menyatakan tidak senang belajar dari rumah. Sebanyak 76,8% gurunya tidak melakukan interaksi selama PJJ kecuali memberikan tugas-tugas saja.
"Jika PJJ diperpanjang, namun tanpa perbaikan dan dukungan internet negara, maka hal ini akan berpotensi meningkatkan stres pada anak yang berdampak pada masalah psikologi anak-anak," terang Komisioner KPAI Retno Restyarti, menyikapi PJJ sekaligus menyambut Hari Anak Nasional, Kamis 23 Juli 2020.
Menurur Retno, pada PJJ fase pertama, meski sudah ada Surat Edaran (SE) Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 yang menyebutkan, bahwa selama PJJ guru tidak boleh mengejar ketercapaian kurikulum. Alasannya, keterbatasan waktu, sarana, media pembelajaran, dan lingkungan, sehingga pembelajaran banyak terhambat.
"Faktanya guru mengejar ketuntasan kurikulum dengan cara memberikan tugas terus menerus pada para siswanya selama PJJ. Siswa kelelahan dan tertekan merupakan bentuk kekerasan juga," kata Retno.
KPAI menerima pengaduan yang menunjukkan guru dan sekolah tetap mengejar ketercapaian kurikulum sehingga membebani anak-anak selama belajar dari rumah. "Seperti gara-gara PJJ, ada kasus anak yang sampai di rawat di Rumah Sakit karena beratnya penugasan PJJ; ada siswa tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti PJJ; bahkan ada siswa yang tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti ujian daring. Yang paling parah adalah anak-anak berkebutuhan khusus nyaris tidak terlayani pendidikan," beber Retno Restyarti.
Seorang siswa SMA Negeri di Nganjuk, Jawa Timur berinisial RVR dilaporkan tidak naik kelas lantaran tak bisa mengikuti ujian Penilaian Akhir Tahun (PAT) secara daring. Dia tak bisa ikut ujian karena komputer jinjing milik siswa kelas X tersebut rusak. Nilai akhir siswa tersebut di dalam rapor tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Adapun lima mata pelajaran tersebut ialah Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani, Seni Budaya, Sejarah Indonesia, dan Informatika.
Ada faktor kerusakan perangkat, keterbatasan kuota, masalah sinyal, dan hambatan teknis lainnya. Mestinya sekolah bersikap bijak dan tidak berindak semaunya. Hal ini sangat penting dan perlu sangat diperhatikan, mengingat PJJ secara daring masih dilaksanakan di semester ini. Sehingga kasus-kasus anak tidak naik kelas dikarenakan sakesulitan PJJ daring masih sangat mungkin terjadi.
Ada salah satu SMKN di Jawa Timur yg tidak menaikkan siswa karena siswa yang bersangkutan tidak menyerahkan tugas-tugas saat PJJ secara online. Tapi orang tuanya bersikeras bahwa anaknya sudah menyerahkan tugas meskipun waktunya mendekati deadline. Selama pandemi tidak ada interaksi guru-siswa hanya mengerjakan tugas-tugas.
Orangtuanya kemudian dipanggil sekolah dan anaknya akan diberikan kelonggaran jika bersedia dimasukan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) karena ananda ber-IQ 89 dan kesulitan dalam menulis, padahal mayoritas penugasan selama PJJ adalah menulis, namun si anak memiliki kemampuan verbal dan psikomotor yang baik. Anak menjadi tertekan secara psikologis dengan situasi ini dan ananda mengetahui kalau sekolah menganggapnya sebagai ABK. Orangtua lebih memilih anaknya mengundurkan diri dari sekolah tersebut.
"Jika kehadiran yang dipakai sebagai ukuran dalam PJJ secara daring sebagai nilai sikap, lalu bagaimana dengan yang tidak punya alat dan kuota internet sehingga tidak bisa mengikuti PJJ secara daring," tanya Retno.
Di masa pandemi Covid-19, ketika seluruh aktivitas anak dipindahkan ke rumah, maka keluarga, baik orangtua/wali maupun pengasuh pengganti harus memiliki kepekaan terhadap kondisi psikologis anak-anak. Orang dewasa di lingkungan keluarga haruslah menempatkan diri sebagai kawan bagi anak-anak.
Namun ketika pengasuhan keluarga tidak berjalan ideal, dimana keluarga justru menjadi sumber masalah bagi psikologi anak-anak, maka perlu adanya wadah lain yang bisa membantu anak-anak, yaitu memaksimalkan peran para guru bimbingan konseling (BK).
Setidaknya guru BK dapat menjadi tempat curhat bagi para siswanya selama pandemi. Sekolah sebaiknya memfasilitasi guru BK dengan handphone, kuota internet, pulsa dan nomor seluler. Sebaiknya guru BK tidak menggunakan nomor pribadinya agar dia maksimal dapat melayani 150 anak sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Sekolah harus memetakan peserta didiknya, berapa yang memiliki gadget/tidak, berapa yang sanggup membeli kuota internet/tidak dan apakah didampingi orangtua/wali saat PJJ. Sehingga, diperoleh data anak-anak yang akan difasilitasi PJJ daring dan anak-anak yang harus luring. Sekolah dapat menyusun sistem pembelajaran dan modul untuk daring dan luring.
Para guru harus fleksibel dalam pebelajaran dan ujian daring dengan membatasi jam pengerjaannya. Khusus untuk Dinas Pendidikan KPAI mendesak agar memetakan sekolah-sekolah yang mampu pembelajaran daring/tidak sehingga bisa membantu guru dan sekolah mempersiapkan modul untuk luring melalui pelatihan.
Demi tercapainya proses PJJ yang bermakna dan berorientasi kepada siswa, maka pemerintah (daerah) diharapkan memberikan pelatihan/diskusi daring kepada guru.
Pemerintah (Daerah) betul-betul memetakan daerah dan/atau orang tua siswa mana saja yang tidak memiliki akses penuh terhadap gawai/laptop/komputer/kuota internet, termasuk daerah yang belum terlayani aliran listrik.
KPAI mendorong Kemendikbud RI segera menyelesaikan penyederhaan kurikulum 2013 atau kurikulum adatif agar siswa, guru dan sekolah tidak terbebani menuntaskan kurikulum sebagaimana kondisi normal.