KPAI Pertanyakan Nasib 13 Korban Perkosaan dan 9 Bayinya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) menghormati keputusan majelis Hakim PN Bandung yang menangani kasus kejahatan seksual terhadap santriwati dengan terdakwa Herry Wirawan.
Seperti diketahui, majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada terdakwa rudapaksa belasan santriwati, Herry Wirawan, pada Selasa, 15 Februari 2022. Herry dinyatakan terbukti memperkosa 13 santriwati yang merupakan anak didiknya.
Tetapi keputusan ini belum final, masih ada pengadilan banding dan bahkan pengadilan kasasi. Artinya keputusan tersebut bisa diperberat dan diperingan.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, pihaknya mengapresiasi perhatian semua pihak atas kasus ini dan dukungan kuat penegakan hukum atas kasus kejahatan seksual Herry Wirawan.
Penegakan hukum dinilai sangat penting untuk menimbulkan efek jera kepada para predator anak, selain itu penegakan hukum juga sejatinya memperhatikan keadilan bagi korban.
"Ketika pelaku sudah dijatuhi hukuman, KPAI mempertanyakan nasib 13 korban dan 9 bayinya dapat keadilan apa?" tanya Retno dalam siaran pers, Rabu 16 Februari 2022.
Restitusi yang diputuskan untuk para korban sebesar Rp331 juta untuk seluruh korban, dikatakan terlalu kecil. Itu pun akan dibebankan kepada Kementerian PPPA, tidak dibebankan kepada HW.
Padahal KPPPA sendiri sepengetahuan Retno anggarannya sangat kecil dibandingkan kementerian lainnya. Sedangkan penyitaan aset yayasan HW dan pelelangannya akan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang nilai assetnya juga belum jelas dan diperuntukkan perawatan kepada para korban.
Oleh karena itu, Retno Listyarti sebagai Komisioner KPAI mengajak semua pihak untuk lebih konsen kepada keadilan bagi 13 korban maupun 9 bayi yang dilahirkan. Semuanya masih memiliki masa depan yang panjang.
Menurutnya, sebagai anak mereka memiliki hak untuk hidup, hak untuk tumbuh kembang dengan optimal, hak atas kesehatan yang tertinggi, hak atas pendidikan, hak partisipasi, hak kesejahteraan, dan lain-lain. Termasuk hak untuk anak memperoleh pemulihan psikis yang pasti menimbulkan trauma yang berat dan proses pemulihannya pasti sangatlah lama dan panjang, tidak sama untuk masing-masing korban.
Begitu pun biaya hidup sehari-hari, kata Retno, biaya pendidikan dan biaya kesehatan 13 korban dan 9 bayinya pasti lebih besar dari angka restitusi maupun lelang harta yayasan. Selain itu, keputusan penyerahan kekayaan yayasan HW, seharusnya berpatokan pada UU Yayasan, siapa yang berhak menerima penyerahan dan hak mengelola harta kekayaan dari sebuah yayasan.
"Seharusnya APBN juga dapat membiayai anak-anak korban dan bayinya melalui mekanisme berbagai program pemerintah pusat. Misalnya program KIP atau Kartu Indonesia Pintar; KIS atau Kartu Indonesia Sehat, dan PKH, Program Keluarga Harapan. Mereka seharusnya otomatis dapat sebagai bentuk pemenuhan hak-hak anak oleh negara," papar Retno.
Dari hitungan KPAI, restitusi Rp331 juta jika masih dibagi 13 korban, maka Rp331.000.000 dibagi 13 anak sama dengan Rp25. 461,538 per korban
"Jika dibagi 13 korban dan 9 bayi, Rp331 juta dibagi 22 anak sama dengan Rp15.045.454,5 per korban," pungkasnya.