KPAI: Merdeka Belajar dan Belajar Jarak Jauh Belum Sesuai Harapan
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menilai, slogan Merdeka Belajar yang digaungkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, masih jauh dari harapan. Sama halnya dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di era pandemi Covid-19.
"Hal ini menunjukkan bahwa merdeka belajar dan pembelajaran yang menyenangkan di dunia pendidikan kita, masih sebatas retorika," ujarnya.
Kesan tersebut setidaknya muncul dalam survey PJJ siswa dan guru yang dilakukan oleh KPAI, yang dilaksanakan pada 13-21 April 2020 diikuti oleh 1700 responden siswa dan 602 responden guru yang meliputi 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota.
Para guru memiliki antusiasme dalam belajar dan mengajar, bahkan banyak guru-guru di pelosok daerah mendatangi muridnya untuk mengajar. Ini karena peserta didiknya tidak memiliki handphone untuk belajar online.
"Semangat para guru ini menjadi harapan pastinya. rasa ingin tahu, terus belajar mengelola PJJ berbasis daring, dan tak apatis bahkan pesimis. Ini patut diapresiasi pemerintah, orang tua, siswa, dan publik umumnya," kata Retno dalam refleksi menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Sabtu 2 Mei 2020.
Hasil survey siswa menunjukkan bahwa selama PJJ, baik guru maupun murid sama-sama memiliki keterbatasan kuota internet dan peralatan yang tidak memadai untuk daring.
Mayoritas siswa menggunakan handphone sebanyak 95,4 persen mengalami sakit mata dan kelelahan karena berjam-jam menatap layar ponsel.
Temuan itu diperkuat dengan data survey dimana mayoritas guru dalam PJJ memahami penggunaan media teknologi digital dalam pembelajaran hanya sebatas “menggunakan WA, LINE, IG, dan FB” sebagai media pembelajaran (82,2 persen).
Data tersebut diperkuat dengan survey PJJ siswa, dimana 79,9 persen responden menyatakan bahwa PJJ berlangsung tanpa interaksi guru-siswa sama sekali kecuali memberikan tugas dan menagih tugas saja, tanpa ada interaksi belajar, seperti tanya jawab langsung atau aktivitas guru menjelaskan materi.
Hanya 20,1 persen responden yang menyatakan ada terjadi interaksi antara siswa dengan guru selama PJJ, bentuk interaksi tersebut adalah sebanyak 87,2 persen responden menyatakan melalui chating, 20,2 persen menggunakan aplikasi zoom meeting.
Sedangkan 7,6 persen lagi menggunakan aplikasi video call WahsApp; dan 5,2 persen responden menggunakan telepon untuk langsung bicara dengan gurunya.
"Persoalan yang banyak dikeluhkan siswa dan orangtua adalah banyaknya pemberian tugas yang dilakukan guru. Tapi, survei ini menemukan bahwa sebanyak 60,1 persen guru menyatakan aktifitas yang dijalankan selama pelaksanaan PJJ adalah pembelajaran secara variatif mulai dari penjelasaan materi, diskusi, membaca dan pemberian tugas," terang Retno.
Menurut survei, lanjut Retno, sebanyak 77,8 persen siswa mengalami kesulitan akibat tugas yang menumpuk karena seluruh guru memberikan tugas dengan waktu yang sempit, belum selesai tugas pertama, sudah datang tugas selanjutnya dari guru yang lain.
Sedangkan 37,1 persen responen mengeluhkan waktu pengerjaan tugas yang sempit, sehingga membuat siswa kurang istirahat dan kelelahan, aktivitas belajar seperti ini pun tentu jauh dari menyenangkan.
"Keberagaman kondisi siswa juga akan berimbas pada Sistem Penilaian Kenaikan Kelas selama PJJ, jika guru dan sekolah memaksakan ujian daring akan menjadi masalah besar ketika para siswa tidak memiliki peralatan, atau memiliki peralatan tetapi tidak memadai, dan tidak mampu membeli kuota internet," tegas Retno.
Oleh karena itu, KPAI mendorong Kemendikbud dan Kementerian Agama menetapkan kurikulum dalam situasi darurat, misalnya memilih materi-materi esensial dan utama saja yang diberikan selama masa PJJ.
"Materi yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dan perlu bimbingan guru secara langsung sebaiknya ditiadakan," imbuhnya.
Advertisement