KPAI Desak Polisi Usut Dugaan Eksploitasi Siswa Sekolah SPI Batu
Pemilik dan pendiri sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Batu (Jawa Timur), Julianto Eka Putra diganjar Pengadilan Negeri Batu, dengan hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 300 juta, subsider kurungan tiga bulan dan wajib membayar ganti rugi pada korban sebesar Rp 44.744.623, Rabu 7 September 2022.
Julianto terbukti melakukan kekerasan seksual dan pencabulan pada peserta didik di sekolah miliknya sendiri. Masalah tak berhenti sampai di situ. Babak baru muncul dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Pihak KPAI mendorong pihak kepolisian memproses laporan dugaan eksploitasi ekonomi terhadap anak dan kekerasan fisik. Hal ini dialami sejumlah anak di sekolah yang didirikan terpidana 12 tahun tersebut.
Tenaga Siswa Diduga Diperas, Jam Kerja 12-20 Jam
Sebelum melakukan pengawasan di sekolah SPI, Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbudristek dan KPAI telah meminta keterangan para korban dengan difasilitasi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Keterangan para korban diperlukan untuk mengetahui proses pembelajaran selama mereka menjadi siswa sekolah tersebut.
“Para korban menyatakan bahwa mereka jarang mendapat pembelajaran di kelas karena waktunya habis untuk bekerja di tempat wisata dan hotel milik Julianto. Antara lain Kampung Kids dan Transformer. Mereka bekerja setiap hari, termasuk Sabtu, Minggu, bahkan hari libur nasional. Hari Raya Idul Fitri atau natal pun harus bekerja bahkan lebih berat karena kunjungan wisatawan sedang tinggi-tingginya,” kata Komisioner KPAI Retno Listyarti, dalam pernyataan tertulis yang diterima Ngopibareng.id, Senin 12 September 2022.
Para peserta didik di sekolah SPI diduga menjadi korban eksploitasi dengan indikasi bahwa anak-anak tersebut dipekerjakan lebih dari 12 jam sehari. Bahkan saat pengunjung ramai, mereka bisa bekerja dari pagi sampai malam.
"Menurut pengakuan korban, mereka bisa bekerja mencapai hampir 20 jam sehari. Kondisi ini berlangsung bertahun-tahun," imbuh Retno.
Ruangan Tak Layak
Itjen Kemendikbudristek dan KPAI juga menemukan kelas yang tidak layak untuk belajar. Menurut Retno, ruang-ruang laboratorium hanya ada plang nama tanpa isinya. Peserta didik tidak pernah melakukan praktik Biologi, Kimia, dan Fisika.
“Kami menemukan jadwal piket pembagian tugas para peserta didik dari Senin sampai Sabtu, tidak terkait dengan pembelajaran bidang studi IPA. Misalnya, Senin-Sabtu menguras kolam lele, bersihkan kandang ayam, bebek, kambing, mentok, puyuh, dan kelinci. Binatang-binatang tersebut di pelihara karena adanya Kampung Kids sebagai salah satu bisnis tempat wisata edukasi milik JE," beber Retno.
Retno menambahkan, ”Rincian membersihkan kendang-kandang binatang cukup berat bagi ukuran anak, misalnya peserta didik yang mendapat tugas membersihkan kendang ayam, maka detail tugasnya adalah membersihkan sawang, kotoran ayam, tempat makan ayam, tempat telur ayam, menyikat paving kandang ayam, dan bersihkan tempat makan ayam."
Siswa Kelelahan dengan Upah Tak Layak
Menurut para korban, lanjut Retno, mereka tidak hanya membersihkan kandang-kandang binatang, namun ada peserta didik yang tugasnya mencari rumput untuk makanan kambing dan kelinci. Ada kisah yang mengenaskan yang disampaikan kepada KPAI, yaitu kisah seorang peserta didik yang tertidur saat sedang bekerja karena sangat kelelahan, kemudian oleh oknum manajemen sekolah anak yang tertidur tersebut di siram air kotor.
“Semua pekerjaan di tempat wisata maupun hotel dilakukan oleh peserta didik dari kelas X sampai kelas XII, mulai dari masak, menyajikan masakan, mencuci peralatan masak dan makan/minum, mengurus jual beli souvenir, membersihkan hotel, laundry seprei/handuk, dan lain-lain. Dilakukan oleh para peserta didik dengan dalih proses atau praktik belajar kewirausahaan. Padahal, mereka siswa SMA bukan SMK (vokasi). Kalau belajar pun seharusnya tidak menyita waktu begitu banyak, mereka semestinya tetap mendapatkan pembelajaran SMA selama 6-8 jam,” ungkap Retno.
Saat ditanya KPAI, apakah para korban menerima upah saat dipekerjakan? Mereka menjawab anak kelas X tidak dibayar sepeser pun, anak kelas XI hanya mendapat upah Rp 100.000 per bulan, dan kelas XII sebesar Rp 150.000 per bulan. Upah tersebut diterima atas jam kerja panjang yang mereka lakukan.
"Mereka kerap tak sempat makan, bahkan saking lelahnya, mereka memilih tidur daripada makan, sehingga banyak anak mengalami sakit pencernaan," imbuh Retno.
Julianto selaku pendiri Sekolah SPI pernah memperoleh penghargaan Kick Andy Heroes, karena dianggap pahlawan bagi anak-anak miskin dan yatim piatu yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia.
Advertisement