KPAI: Animo Anak Ingin Vaksin Agar Bisa Ikut PTM Cukup Tinggi
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan survei singkat tentang “Persepsi Peserta Didik Terkait Vaksinasi Anak Usia 12-17 Tahun”. Survei yang dilakukan dengan menggunakan aplikasi google form ini diikuti oleh 86.286 partisipan/responden dari jenjang pendidian SD/MI, SMP/Mts, MA/SMA/SMK, termasuk Sekolah Luar Biasa (SLB).
Adapun asal daerah para partisipan berasal dari 34 Provinsi di Indonesia, bahkan diikuti juga peserta didik dari Sekolah Indonesia Luar negeri (SILN). Survei dilaksanakan pada 3–9 Agustus 2021 setelah sebelumnya dilakukan uji coba kuisioner pada 30-31 Juli 2021.
Selain melakukan survei tentang program vaksinasi anak dengan sasaran responden anak usia 12-17 tahun, KPAI juga telah melakukan pengawasan langsung ke tujuh sekolah terkait program vakinasi anak di sejumlah sentra vaksin sekolah di wilayah DKI Jakarta, di antaranya di SMPN 161 Jakarta Selatan, SMPN 88 Jakarta Barat, SMPN 270 dan SMPN 30 Jakarta Utara, SMAN 22 Jakarta Timur, SDN Pasar Baru 07 dan SMAN 20 Jakarta Pusat.
Sepanjang pantauan KPAI di media massa, ada sejumlah daerah yang sudah melakukan vaksinasi anak usia 12-17 tahun sejak Juli 2021, di antaranya: Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, Bali, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, bahkan Papua.
Hasil Pengawasan vaksinasi anak usia 12-17 tahun dan hasil survei akan dipaparkan secara lengkap pada saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang akan digelar KPAI pada Senin, 30 Agustus 2021.
Rakornas direncanakan akan mengundang Kementerian dan Lembaga terkait serta kepala-kepala Dinas Pendidikan Provinsi/kota/kabupaten dan kepala-kepala kantor wilayah/kota/kabupaten agama di seluruh Indonesia. Selain itu, akan diundang juga 50 perwakilan kepala sekolah dari seluruh Indonesia.
Dalam rilis ini, KPAI hanya akan menyampaikan info awal hasil survei “Persepsi Peserta Didik Tentang Vaksinasi Anak usia 12-17 tahun”, karena data masih dalam proses dianalisis dan didalami informasinya. Rilis awal ini adalah upaya mendorong percepatan dan pemerataan vaksin sebagaimana muncul dalam hasil survei.
Banyak responden anak dalam survei ini yang belum di vaksin karena belum ada kesempatan mereka mendapatkan vaksin anak.
“Data survei menunjukkan bahwa dari 86 ribu lebih responden menyatakan kesediaannya untuk divaksin sebesar 88,2 persen, sedangkan yang ragu-ragu ada 8,5 persen, dan yang menolak divaksin hanya sekitar 3,3 persen responden saja. Namun, dari yang menyatakan bersedia divaksin tersebut, baru 35,9 persen yang sudah beruntung mendapatkan vaksin, sedangkan 64,1 persen di antaranya belum divaksin," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti, Minggu, 15 Agustus 2021.
Menurut Retno, dari jumlah 64,1 persen yang belum divaksin tersebut, 57,4 persen responden menyatakan belum divaksin karena belum berkesempatan mendapatkan vaksin. Data ini menggambarkan bahwa ada persoalan vaksinasi anak yang belum merata di berbagai daerah di Indonesia.
Alasan responden bersedia divaksin di antaranya adalah sebanyak 47,3 persen menyatakan bahwa keinginannya vaksin agar tubuhnya memiliki antibody terhadap virus Covid-19, sehingga jika tertular gejalanya menjadi ringan; dan 24,3 persen menyatakan agar segera dapat mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM), karena Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) saat ini dinilai kurang efektif, serta susah untuk dimengerti.
Sedangkan 28,4 persen responden menyatakan alasan lainnya, misalnya karena dibujuk orangtuanya, merasa ini kewajiban, agar bisa berpergian kemana saja, dan ada yang menyatakan agar terus dapat bantuan sosial dari pemerintah. Alasan lainnya ini cukup menarik, namun memerlukan pendalaman lebih lanjut untuk dikonfirmasi lebih jauh datanya.
Adapun alasan responden yang tidak bersedia divaksin menyatakan khawatir pada efek vaksin sebanyak 36,7 persen, dan merasa tidak perlu divaksin yang penting menerapkan protokol kesehatan sebanyak 15,3 persen responden; memiliki kormobid sehingga secara medis tidak bisa di vaksin (10 persen); tidak yakin dengan merek vaksin tertentu (8 persen); yakin bahwa kalau anak terinfeksi Covid-19 gejalanya ringan, bahkan kadang tidak bergejala (15 persen); divaksin juga tidak menjamin tidak tertular covid-19 (8 persen); dan tidak diizinkan orangtuanya untuk vaksin (7 persen).
“Meskipun angka yang tidak bersedia divaksin hanya 3,3 persen dari 86.286 responden, namun hal tersebut tetap perlu menjadi pertimbangan untuk ditindaklanjuti pemerintah, misalnya melalui pendekatan berbasis sekolah/madrasah yang melibatkan pendidik di sekolah/madrasah yang bersangkutan,” pungkas Retno.
Retno menambahkan, jika PTM digelar, pemerintah wajib melakukan percepatan dan pemerataan vaksinasi di seluruh Indonesia.
Sebagai informasi, pada Rabu 12 Agustus 2021 lalu, pemerintah mengumumkan bahwa Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Sekolah-sekolah yang berada di wilayah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 1 hingga Level 3 diperbolehkan untuk menjalankan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas. Kebijakan ini merujuk Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 30, 31, dan 32 Tahun 2021.
Ada pula rujukan lain yakni Surat Kebijakan Bersama (SKB) empat menteri yang diterbitkan pada 30 Maret lalu yang masih berlaku saat ini. Dalam surat tersebut disebutkan jika guru dan tenaga kependidikan lain sudah mendapatkan vaksin Covid-19 maka wajib memberikan tatap muka terbatas.
“Tidak ada revisi yang menyatakan bahwa seharusnya mensyaratkan PTM di gelar jika minimal 70 persen warga sekolah sudah divaksin, mengingat sudah ada program vaksinasi anak usia 12-17 tahun. Kalau hanya guru yang divaksin, maka kekebalan komunitas belum terbentuk, karena jumlah guru hanya sekitar 10 persen dari jumlah siswa. Sementara kekebalan kelompok terbentuk jika minimal 70 persen populasi sudah divaksin,” ujar Retno.
Alasan Kemdikbudristek mengizinkan pembukaan sekolah tatap muka atau PTM terbatas adalah demi mencegah terjadinya learning loss yang bisa berdampak pada masa depan anak-anak Indonesia. Apalagi, selama ini Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dianggap tak efektif karena banyak siswa yang merasa kesulitan dan tak maksimal untuk menyerap ilmu.
Rekomendasi
KPAI mendukung Pembelajaran Tatap muka di masa pandemi dengan tiga (3) syarat berikut ini:
Pertama, Sekolah/madrasah harus dipastikan sudah memenuhi segala syarat dan kebutuhan penyelenggaraan PTM terbatas termasuk memastikan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 dapat terpenuhi. Jika belum terpenuhi, maka Pemerintah Daerah harus membantu pemenuhannya;
Kedua, Sekolah/madrasah harus dipastikan vaksinasinya mencapai minimal 70 persen warga sekolah sudah divaksin, mengingat sudah ada program vaksinasi anak usia 12-17 tahun. Kalau hanya guru yang divaksin, maka kekebalan komunitas belum terbentuk, karena jumlah guru hanya sekitar 10 persen dari jumlah siswa. Sementara kekebalan kelompok terbentuk jika minimal 70 persen populasi sudah divaksin, hal ini sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan dunia, WHO.
Oleh karena itu, pemerintah pusat harus memastikan percepatan dan penyediaan vakinasi anak merata di seluruh Indonesia. Karena dari survey singkat KPAI, anak-anak yang belum divaksin menyatakan belum mendapatkan kesempatan vaksinasi di daerahnya.
Ketiga, Pemerintah Daerah harus jujur dengan positivity rate daerahnya, dengan mengacu pada ketentuan WHO bahwa positivity rate di suatu daerah angkanya di bawah 5 persen baru aman membuka sekolah tatap muka.
Untuk itu, maka 3T (Testing, Tracing, dan Treatment) perlu ditingkatkan. Bukan sebaliknya, malah dikurangi dengan tujuan agar positivity rate daerahnya menjadi rendah.
Advertisement