Kotak Pandora Telah Terbuka, Cek untuk Walikota Surabaya ke Depan
Pandemi Covid-19 telah menjadi semacam kotak pandora. Ia membuka banyak hal yang perlu dipikirkan ulang untuk kota Surabaya.
Tentu, terbukanya kotak pandora bukan untuk menyalah-nyalahkan. Apalagi menyalahkan orang yang sedang menjabat sekarang. Tidak.
Sebaiknya, pandemi sebagai pembuka kotak pandora kita jadikan awal menginventarisasi persoalan yang perlu kita selesaikan. Yang bisa kita penuhi ke depan.
Warga Surabaya juga tidak mungkin membebani lagi Bu Tri Risma Harini yang hebat. Sebab, walikota perempuan pertama Surabaya ini sudah harus berakhir tahun ini. Sudah pamit pula.
Maka kotak pandora Surabaya ini lebih sebagai cek untuk walikota ke depan. Swbagai pekerjaan rumah utamanya. Siapa pun yang akan terpilih. Apakah ia kader andalannya Bu Risma atau orang lain yang dipercaya warga.
Kotak pandora adalah artefak dalam mitologi Yunani yang di zaman modern diartikan sebagai sumber masalah besar dan tak diinginkan. Ia menyimpan misteri yang selama ini tak diketahui.
Apa isi kotak pandora terkait pandemi? Salah satunya kesiapan akan fasilitas kesehatan. Fasilitas layanan yang dalam era disentralisasi telah dilimpahkan ke kabupaten dan kota.
Maka, beban walikota mendatang adalah membangun fasilitas kesehatan yang siap menghadapi krisis. Fasilitas yang bisa melayani warga tanpa harus diwarnai dengan aksi rebutan.
Tentu yang dimaksud dengan fasilitas layanan kesehatan bukan hanya Puskesmas dan Rumah Sakit. Tapi sistem layanan kesehatan. Mulai dari sistem prefentif sampai dengan kuratif.
Selain lengkap fasilitas untuk mengatasi berbagai jenis wabah, juga mempertimbangkan rasio kebutuhan perawatan untuk warga. Sesuai dengan jenis penyakit yang mungkin bisa menjadi pandemi.
Misalnya dalam kasus pandemi Covid-19 ini.
Secara teori, tingkat kematian akibat wabah ini 3 persen. Maka perlu tersedia alat "penyelamat nyawa" sejumlah itu di Surabaya. Paling tidak perlu tersedia ribuan ventilator di seluruh RS yang ada di kota ini. Juga ruang isolasi dalam jumlah yang mencukupi.
Kedua sistem informasi publik tentang layanan kesehatan. Yakni sistem yang memungkinkan semua pesan tentang layanan di bidang ini bisa cepat sampai ke tingkat paling bawah. Sampai ke warga di perkampungan.
Sistem yang memungkinkan tidak terjadi disinformasi tentang program kesehatan kota. Sistem informasi yang mudah terjangkau dan bisa dipahami semua lapisan masyarakat yang beragam tingkat pendidikannya.
Surabaya telah mendeklarasikan diri sebagai Smart City. Kota cerdas yang menjadikan informasi berbasis IT. Namun kayaknya masih harus dikembangkan hingga sampai ke tingkat perkampungan. Yang setiap saat bisa mengirim pesan kepada warga.
Lebih dari itu, rasanya mulai dipikirkan untuk membenahi perkampungan di perkotaan. Ini seperti yang pernah dikemukakan Pak Dahlan Iskan dalam sebuah diskusi tentang Surabaya paska pandemi.
Menurutnya, walikota sekarang sudah luar biasa dalam membangun Surabaya. Namun, dengan adanya pandemi ini ke depan harus mulai digarap perkampungan kumuh yang masih ada.
Tentu tidak gampang untuk melakukannya. Sebab, sejumlah perkampungan sudah sangat padat. Dan ini sangat berbahaya jika ada wabah seperti virus Corona sekarang. Diperlukan penataan yang lebih berani.
Misalnya, dengan menjadikan perkampungan yang landed (horisontal) menjadi high rise (vertikal). Dengan demikian, bisa melakukan redesign tata kota untuk perkampungan padat menjadi lebih sehat.
Caranya? Pemkot bisa mengkonsolidasikan dengan membangun apartemen rakyat untuk mengganti rumah-rumah warga di perkampungan. Dan ini bisa dilakukan dengan mekanisme business to business. Membeli rumah landed dan memindahkan warga ke apartemen.
Saat pembangunan, Pemkot bisa memindahkan sementara ke suatu tempat. Misalnya rusun-rusun milik pemerintah. Begitu apartemen rakyat di bekas rumah perkampungan padat tersebut selesai, mereka dikembalikan untuk menghuni apartemen rakyat.
Seingat saya, Pemkot Surabaya punya BUMD properti. Karena itu, perusahaan tersebut bisa ditingkatkan menjadi BUMD strategis untuk menggarap penataan kampung kumuh di Surabaya.
Ada tiga benefit sekaligus jika program seperti ini bisa dijalankan. Pertama, bisa membangun kawasan kampung yang sehat dan indah. Kedua, mengurangi kepadatan lalu lintas karena warga tak harus pindah keluar kota. Ketiga, membuat warga tak tercerabut dari akar sosialnya.
Yang perlu kerja keras adalah meyakinkan warga untuk bersedia tinggal di perumahan high rise. Juga membantu membiasakan dari hidup di perumahan horisontal menjadi vertikal. Karena itu, dibutuhkan walikota yang mampu meluluhkan hati warga untuk kebaikan bersama.
Saya pernah berdiskusi dengan sejumlah warga di perkampungan kumuh di Surabaya. Mereka sebetulnya tidak keberatan ditata ulang. Tentu dengan jaminan mereka tidak harus pindah rumah di luar kota selama ini. Sebab, sebagian besar adalah pekerja di kota.
Identitas kampung juga masih bisa tetap melekat di wilayahnya. Misalnya, kampung malang yang selama ini dikenal banyak penjahitnya. Mereka tetap melekat di sana. Demikian juga dengan tukang kunci yang terkenal di kawasan itu.
Kalau kawasan itu dikembangkan menjadi CBD (Central Business District), warga kampung bisa menjadi tenaga kerja supportingnya. Yang mungkin bisa membuka lapangan kerja baru untuk mereka. Tanpa harus ada biaya transport yang mahal.
Inilah salah satu beban walikota Surabaya mendatang.