Kota Setengah Tua
Satu lagi tambahan jawaban kalau ada tamu datang ke Surabaya: Kota Tua Surabaya. Jawaban yang agak membanggakan. Inilah destinasi wisata yang biasanya paling beradab.
Kok beradab? Ya. Biasanya kota tua identik dengan museum. Identik dengan warisan peradaban masa lalu. Dari kota tua kita bisa menilik perjalanan sejarah warga setempat.
Akan banyak cerita di balik kota tua. Akan kaya narasi tersaji ketika kota tua menjadi destinasi. Banyak gambar dan mozaik yang bisa menjadi landscape keberadaan kita.
Karena itu, wajar antusiasme langsung melejit saat Pemerintah Kota Surabaya merevitalisasi kota tuanya. Apalagi langsung dengan tiga zona sekaligus: Eropa, Arab dan China.
Sungguh menggiurkan. Amat jarang ada kota tua yang sekaligus menjadi irisan sejarah kehidupan dari tiga etnis seperti ini. Ibarat sekali dayung ke kota tua, tiga ‘’danau’’ terkunjungi.
Karena itu, Minggu kemarin –beberapa hari sebelum revitallisasi Kota Tua Surabaya diresmikan Walikota– saya mencoba menelusurinya. Mengelilingi ketiga zona tersebut. Mulai dari zona Eropa, China dan Arab.
Di zona Eropa memang tampak pembangunan infrastruktur pendukung. Demikian juga di sebagian zona China. Signed kota, pedestrian, dan tata lampu kota tampak sedang diperbaiki sesuai dengan vibes kota tua.
Masuk dari jalan Indrapura langsung menuju Jembatan Merah. Di ruas ini, meski belum selesai, sedang berlangsung perbaikan gedung-gedung kuno, pedestrian dan fasilitas pendukung lainnya.
Hanya saja, nuansa Kota Tua tidak langsung terasa karena jalannya sama dengan jalan kota pada umumnya. Menggunakan aspal, bukan jalan batu seperti pada umumnya kota tua yang ada di pelbagai dunia.
Baru di sekitar komplek Gedung Internationale yang berada di samping taman Jembatan Merah Plaza, nuansa jalan kota tua berada. Juga di sepanjang Jalan Mliwis. Jalan yang ada Pabrik Lemon Siropen ini jalannya sudah dilapisi batu. Selain itu, semua jalan masih sama berbahan aspal.
Nuansa jalan Kembang Jepun memang langsung terasa Pecinan karena dihias dengan lampion berwarna merah. Juga ada gerbang tinggalan Kya Kya yang sudah dibangun pada awal tahun 2000-an.
Belum ada yang baru untuk Jalan Slompretan, Jalan Coklat, Jalan Karet, dan Jalan Kalimas Selatan. Padahal jalan ini masuk dalam Zona China Kota Tua. Hanya tampak petugas PLN sedang menggarap pemindangan jaringan listrik ke dalam bawah tanah,
Bagaimana dengan Zona Arab? Saya tidak sampai masuk ke Langgar Gipo yang baru saja diresmikan revitalisasinya. Namun, Jalan Mansur yang mestinya menjadi wajah utama Zona Arab juga masih menggunakan aspal biasa.
Yang baru, tak ada lagi penjual barang-barang bekas yang sempat memenuhi jalan tersebut. Pedestrian telah dibangun di sisi kiri dan kanan. Hanya antara sisi kiri dan kanan tampak tak sama desainnya.
Dari Jalan Mas Mansur saya masuk ke Jalan Benteng terus ke Jalan Kalimas Barat. Sungguh sisi kanan dan kiri Jalan Kali Mas ini rupanya belum banyak disentuh. Apalagi sungai Kalimas di beberapa titik masih tampak kotor.
Rupanya, revitalisasi masih lebih banyak terpusat di sekitar Jembatan Merah. Toh demikian, ini sudah merupakan langkah kemajuan. Ada gagasan, ada kegiatan, dan ada tekad untuk menjadikan Kota Tua sebagai pusat kota baru.
Tinggal membutuhkan inovasi baru untuk mengisi wahana baru di Kota Tua. Sehingga wisatawan tak hanya disuguhi bangunan-bangunan kuno, tapi juga bisa memenuhi kebutuhan lainnya.
Saya pernah mengunjungi Kota Praha. Kota kuno dekat dengan Jerman. Inilah kota yang sering disebut sebagai Jantung Sejarah Eropa. Mengunjungi ibukota Cekoslovakia ini ibarat mengarungi sejarah Eropa Kuno sampai modern.
Di jantung kota tuanya terdapat pelataran luar dengan lantai batu. Di sekelilingnya berdiri kastil dan museum serta galeri. Juga ada Jam Astronomi dan Menara TV kuno. Tanah lapang seperti alun-alun itu menjadi titik temu dan ruang publik yang ramai setiap saat.
Menara jam yang dibangun abad 15 ini menjadi destinasi sendiri. Setiap saat orang berkerumun hanya untuk melihat jam yang menjadi simbol kemajuan pengetahuan di zamannya itu berbunyi.
Lorong-lorong di sekitarnya sangat indah. Bau makanan tradisional Cheko merebak di setiap sudut lorong. Seperti orang jualan pentol bakso di kios-kios kecil di sini Lorong yang tetap bersih dengan kanan kiri kios makanan dan souvenir.
Hampir setiap kota tua di berbagai negara selalu ramai karena ada tiga unsur. Eksotisme landscape-nya, event atau pertunjukan yang jadi andalannya, dan tempat belanja serta makan tempat menjajakan kebanggaan lokalnya.
Tanpa ketiga unsur tersebut, agak susah mendatangkan orang yang mau mengunjunginya. Kalau perlu, diciptakan mitos-mitos baru yang bisa menggaet orang untuk datang.
Di Roma, misalnya, ada kolam di tengah kota yang kalau kita melempar koin ke dalamnya kelak akan kembali ke sana. Jelas ini mitos yang diciptakan entah sejak kapan. Masak melempar koin membuat kita kembali?
Bisa saja wahana yang sesungguhnya gampang sekali dibuat. Di Belgia ada patung anak kecil yang sedang pipis yang selalu ramai dikunjungi wisatawan manca negara. Patung itu ada di sudut jalan. Bayangkan, ke Belgia hanya lihat patung anak kecil pipis?
Semua itu adalah kekuatan dalam membanyun narasi, menciptakan cerita, dan memunculkan mitos untuk memasarkan kota tua. Merevitalisasi fisik kota tua pasti tidak begitu sulit. Tapi mengisinya dengan cerita, perlu pemikiran kreatif.
Singkatnya, masih ada banyak pekerjaan rumah untuk menghidupkan Kota Tua Surabaya. Bahkan setelah revitalisasi Setengah Kota Tua ini selesai. Kalau sekarang sudah mau diresmikan, rasanya baru bisa disebut Setengah Kota Tua.
Advertisement