Kota Probolinggo, Cakupan Imunisasi Difteri Paling Jeblok
Cakupan Outbreak Response Immunization (ORI) Difteri putaran ketiga di Kota Probolinggo tercatat paling rendah di Jawa Timur (Jatim). Cakupan ORI Difteri di Jatim mencapai angka 76,35% sementara di Kota Probolinggo hanya 37,82%.
Mengapa bisa demikian? Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Probolinggo menyatakan, ada tiga faktor mengapa ORI atau upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) suatu penyakit dengan pemberian imunisas difteri itu di Kota Bayuangga menjadi nomor buncit di Jatim.
Melalui pernyataan tertulis yang diterima ngopibareng.id, Sabtu, 08 Desember 2018, Dinkes setempat menyatakan tiga alasan. Pertama, jadwal yang mundur di putaran 3 imunisasi, yang seharusnya berakhir di bulan Desember 2018.
Kedua, masih ada dua Puskesmas yang masih mau melaksanakan ORI Difteri bulan Januari 2019 mendatang. Alasan ketiga, adanya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang mengkhawatirkan petugas.
Karena jarak interval putaran 2 ke putaran 3 yang berdekatan, Dinkes Kota Probolinggo sengaja mengundurkan ORI Difreri putaran ketiga hingga Januari 2019.
“Kami akan usahakan untuk penanggulan capaian itu, semoga Kota Probolinggo bisa mencapainya,” tulis Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kota Probolinggo, Joestiningsih, ketika dihubungi via teleponnya, Sabtu.
Seperti diketahui, hingga 6 Desember 2018 lalu, cakupan imunisasi difteri di seluruh Jawa Timur sudah mencapai 76,35%. Kota Blitar berada diurutan teratas dengan cakupan 82,92%. Diikuti Kota Mojokerto dengan 81,18%. Sementara cakupan imunisasi difteri paling buruk diperoleh Kota Probolinggo yang baru menyentuh angka 37,82%.
Kondisi di Kota Probolinggo, kata Kepala Seksi Pencegahan Pengamatan Penyakit dan Penanggulangan Masalah Kesehatan (P3PMK) Dinas Kesehatan Jatim, Gito Hartono, sangat menghawatirkan. Mengingat Jatim pernah mengalami KLB difteri. Sehingga dibutuhkan kekebalan komunal minimal 95%.
“Pelaksanaan imunisasi difteri masih sampai akhir bulan ini. Dengan sisa waktu yang ada harapannya bisa terus meningkatkan jumlah dan pemerataan cakupan,” ujarnya.
Khusus Kota Probolinggo, Gito menyebut hal itu bisa jadi karena kesalahan strategi. Dimana Dinas Kesehatan setempat tidak memaksimalkan kolaborasi dengan Dinas Pendidikan. Sebab cakupan imunisasi yang menyasar anak berusia 1-19 tahun, sasaran populasinya di sekolah-sekolah.
“Harusnya dilakukan dulu imunisasi di sekokah-sekolah. Tapi ini tampaknya di Posyandu dan Puskesmas dulu. Mungkin nanti di akhir baru akan gencar ke sekolah-sekolah,” kata Gito.
Gito menyebut butuh komitmen pemerintah daerah untuk menyukseskan imunisasi difteri. Agar pencapaiannya bisa sesuai dengan target yang ditetapkan. Salah satu contohnya adalah Kota Blitar, yang pada pelaksanaan imunisasi sebelumnya situasinya mirip dengan Kota Probolinggo. “Satu minggu terakhir, mereka baru menyasar sekolah-sekolah setelah itu angkanya langsung melejit,” jelasnya.
Masih terkait ORI difteri, Kepala Perwakilan United Nations Children’s Fund (Unicef) Pulau Jawa, Arie Rukmantara mengatakan, imunisasi merupakan hak anak agar mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu Dinkes diingatkan agar ORI difreri bisa mencapi target yang sudah ditentukan.
“Pelaksanaan imunisasi difteri tahun ini harus bisa di atas target 95%. Biar ke depan tidak ada lagi KLB difteri di Jatim. Maka setiap anak berhak untuk mendapatkan ini,” ujarnya via telepon.
Sementara itu ORI Difteri putaran ketiga di daerah “tetangga” yakni, Kabupaten Probolinggo relatif tinggi. “Hingga 6 Desember 2018 lalu, pencapaian ORI difteri mencapai 72,36% dari target sasaran 311.792 jiwa,” ujar Kadinkes Kabupaten Probolinggo, dr Shodiq Tjahjono.
Diakui, pada 2017 silam, terjadi 13 kasus difteri di Kabupaten Probolinggo dengan tiga di antaranya meninggal dunia. Agar kasus difteri tidak terulang, Dinkes menggencarkan imunisasi difteri di 24 kecamatan di Kabupaten Probolinggo. (isa)