Koruptor Beralih ke Sistem Digital Dalam Melakukan Pencucian Uang
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan penyalahgunaan aset digital sebagai alat pencucian uang. Pencucian uang berbasis digital itu tidak hanya dilakukan dalam kasus tindak pidana narkoba tetapi juga dilakukan oleh koruptor.
“Tren tindak pidana pencucian uang saat ini sudah beralih ke sistem digital, seperti menggunakan Bitcoin, NFT, Atrium, Blockchain dan segala macam itu,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, usai melakukan Nota Kesepahaman (MoU) dengan Universitas Jember di Aula Fakultas Hukum, Sabtu, 22 Januari 2022.
Menurut Ivan berbagai produk yang dijual melalui aset digital rawan disalahgunakan untuk pencucian uang, karena produk yang dijual itu tidak memiliki patokan harga yang jelas.
Sejauh ini, tren pencucian uang menggunakan aset digital masih didominasi kasus korupsi. Namun juga ditemukan adanya transaksi digital terkait penjualan narkoba.
Sementara dilihat dari sisi kompleksitas, tindak pencucian uang melalui sistem digital mengalami peningkatan selama pandemi Covid-19.
“Tren kompleksitas semakin naik terutama di era pandemi Covid-19. Karena selama pandemi masyarakat mulai beralih dari sistem konvensional ke sistem digital,” jelas Ivan.
Selain kompleksitas juga mengalami peningkatan, jumlah laporan tindak pencucian uang berbasis digital juga mengalami peningkatan selama pandemi Covid-19. Termasuk jejaring dari pelaku tindak pidana pencucian uang itu juga semakin meluas dan kompleks.
Ivan mencontohkan tindak pidana pencucian uang dalam kasus transaksi narkoba. PPATK selama ini mengikuti sejumlah transaksi dengan pihak luar negeri. Setelah ditelusuri ternyata transaksi itu terkait penjualan narkotika yang dilakukan bandar.
“Terkait tindak pidana pencucian uang dalam transaksi narkotika, karena mereka menggunakan jasa perbankan untuk mengirimkan uang ke tujuan. Mereka mengelabui perbankan dengan menyodorkan dokumen-dokumen palsu, sehingga seakan-akan transaksi yang dilakukan itu dasarnya adalah perdagangan ekspor impor,” jelas Ivan.
Saat ini PPATK sudah melakukan reformasi sistem dan kelembagaan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. “Oleh karena itu PPATK harus mengikuti perkembangan transaksi yang ada saat ini. Apa lagi di era society 5.0 ini sudah ada penggunaan artificial intelligence dan segala macamnya itu kan semakin meningkat,” pungkas pria alumni Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 90an itu.
Diketahui, bersamaan dengan penandatanganan MoU itu, Fakultas Hukum Universitas Jember meluncurkan 12 buku karya dosen FH Unej. 12 buku itu bervariasi mulai dari bidang hukum pidana, tata negara, hukum lingkungan, hukum kedokteran dan forensik, terorisme, ketenagakerjaan, dan ilmu hukum dasar lainnya.
Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggoro, peluncuran 12 buku karya dosen itu diharapkan tidak hanya menjadi bahan ajar perkulihan secara praktis di FH Unej. Tetapi juga bisa dibaca oleh mitra kerja kampus maupun masyarakat umum.