Korupsi, Puasa dan Budaya Malu
oleh: As'ad Said Ali
Pemberantasan korupsi telah mulai sejak era Presiden Sukarno dan bahkan sejak era Presiden Megawati, Indonesia memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tetapi nyatanya korupsi tetap menjadi penyakit bengis yang tidak kalah bengisnya dengan Corona. Kerusakannya mencapai ke tahap yang serius.
Dari aspek agama, korupsi terjadi karena hilangnya “budaya malu” dalam diri manusia terhadap lingkungan budaya dan kepada Tuhannya. Al-Quran Surat al-Qomar ayat 52 memperingatkan, “Dan segala yang mereka perbuat tercatat dalam buku catatan”.
Nafsu konsumerisme dalam era globalisasi telah merasuki otak manusia, berlomba hidup mewah menjauhi cara hidup qanaah atau sederhana. Pengaruh materialisme Barat merusak rohani manusia. Ancaman hukuman mati yang diterapkan di sejumlah negara tidak bisa mencegahnya.
Sistem politik negara menjadi salah satu faktor penyebab utama, beaya politik yang mahal. Mungkin kita memerlukan sistem pemungutan suara yang cepat seperti dinegara lain, toh teknologi pendukung tersedia. Perlu penyederhanaan sistem kepartaian, sebab makin banyak pertai sama dengan menjadikan sistem politik yang boros.
KPK tetap menjadi harapan dan ujung tombak pemberantasan korupsi yang tidak pandang bulu. Dan hal itu tidak akan terwujud tanpa adanya komitmen politik yang kuat dari penyelenggara negara dan kesadaran masyarakat khususnya “komitmen terhadap budaya malu”. Puasa menjadi menahan diri dari syahwat untuk melakukan korupsi, berlaku untuk siapa saja, bukan hanya prnyelenggara negara.
Seorang netizen berkomentar:
Nah ! Ya itu, sistim politik Indonesia yang terlalu banyak pemain seperti arena permainan 30-an, menang jadi bandar yang lainnya jadi penombok. Modal harus besar, yang sedikit pasti kesirik kalah total.
Akhirnya mau tidak mau wajib potong kompas mengais rezeki panas lewat corruption dan yang penting kewajiban setornya ya bargaining. Alhasil berutang banyak, pembangunan mangkrak yang imbasnya ke bos besar: rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Bosnya selalu diplokoto sampai klenger.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, tinggal di Jakarta.
Advertisement