Korupsi Go Cap Tio
Akhirnya ide itu muncul juga. Dari seorang petinggi hukum. Jaksa Agung Republik Indonesia: ST Burhanuddin.
Apa itu? Tentang penanganan kasus korupsi di bawah Rp50 juta. Kata dia, memenjarakan koruptor teri tak sebanding dengan biaya perkara yang dikeluarkan.
Ah...berarti dia tidak pro pemberantasan korupsi? Tidak juga. Saya melihat dia berpikir realistik. Lebih mengedepankan akal sehat.
Substansi pemberantasan korupsi itu penyelamatan uang negara. Agar tidak digarong dan sepenuhnya untuk mensejahterakan rakyat. Kalau uang yang diselamatkan tak sebanding dengan yang dikeluarkan untuk apa?
Toh masih sangat banyak kasus korupsi kelas kakap yang belum tertangani. Atau belum terendus. Aparat penegak hukum bisa fokus ke pelaku ‘’ikan hiu’’ itu. Yang biasanya menggarong uang negara dalam jumlah besar.
Toh sistem penanganan penyelewengan uang negara sudah berlapis-lapis. Melalui pengawasan internal maupun eksternal. Jika ditemukan penyelewengan jumlah kecil, tangani secara administratif. Termasuk mengembalikan dananya.
Saya menjadi teringat kasus yang melibatkan seorang pejabat rendahan di Pemkot Surabaya. Saat saya masih menjadi sesuatu, beberapa tahun lalu. Hanya gara-gara korupsi Rp35 juta, serahun dia meringkuk di penjara.
Itu bukan jumlah yang dikorupsi. Tapi nilai proyek yang kemudian menjadi kasus korupsi. Katakanlah ia mengambil 50 persennya, maka ia hanya mengkorupsi Rp15 juta lebih. Dugaan saya, tidak sebesar itu yang diterima.
Proses penanganannya berbulan-bulan. Ia harus meninggalkan kerja untuk menghadapi kasusnya. Sejumlah pejabat lainnya harus ikut diperiksa sebagai saksi. Mereka juga harus meninggalkan pekerjaannya.
Bayangkan berapa anggaran yang keluar untuk mengurusi kasus itu? Berapa personel yang disediakan kejaksaan untuk penyelidikan sampai dengan penyidikan. Juga saat melakukan penuntutan ke pengadilan.
Saat proses pengadilan, berapa personel untuk persidangan? Paling tidak, ada tiga hakim yang mengadili. Plus panitera. Belum lagi kalau diperlukan pengamanan kepolisian jika kasus itu dinilai membahayakan.
‘’Nggak cucuk,’’ kata orang Surabaya.
Rupanya makin banyak yang mengedepankan akal sehat di kalangan penegak hukum kita. Tak hanya mengedepankan hukum formil. Tapi mulai melihat pertimbangan-pertimbangan materiil. Sehingga tidak semuanya harus dibawa ke pengadilan.
Tidak hanya bersemangat memidanakan orang. Tapi melakukan penegakan berdasarkan prinsip dasar hukum: Menegakkan Keadilan. Tentu keadilan tak sama dengan pemenjaraan. Menyelamatkan kekayaan negara tanpa harus mengobral anggaran negara.
Ini seperti yang yang pernah dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya, Didik Farkhan Alisyahdi. Yang telah berhasil mengembalikan aset Pemkot Surabaya bernilai ratusan miliar rupiah. Tanpa harus memenjarakan pelakunya.
Model ini yang kemudian dipakai Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Mohammad Dhofier. Yang baru saja naik pangkat menjadi pejabat di Kejaksaan Agung. Penegak hukum asal Tulungagung ini juga berhasil mengembalikan aset Pemkot yang diambil pihak swasta ke negara.
Model Didik Farkhan dan Mohammad Dhofier dalam mengembalikan aset negara itu, di Amerika disebut DPA (Deffered Prosecutor Agreement) atau NPA (Non Presecutor Agremen).
Jadi penyelesaian hukum dengan menunda penuntutan dan membatalkan penuntutan. Seseorang tidak dituntut secara pidana sepanjang mengembalikan aset negara yang diperoleh secara melawan hukum.
Spirit Jaksa Agung itu tak hanya akan menyelamatkan aset negara dengan cara pemborosan uang negara. Tapi juga bisa mengurangi overload penjara yang menjadi problem negeri ini sejak lama. Sejak rajin menangani kasus korupsi dan narkoba.
Tapi dalam tataran praktis, tampaknya ide Jaksa agung ini masih harus dijabarkan lebih lanjut. Misalnya terkait dengan ukuran kinerja penegak hukum di bawahnya. Yang itu sangat penting dalam sistem birokrasi kita.
Tentu, kinerja penegak hukum tak lagi seberapa banyak kasus yang ditangani. Bukan lagi berapa target kasus setiap tahun yang harus diselesaikan. Tapi lebih ke indikator yang lebih subtantif.
Misalnya, kinerja mereka diukur dari berapa kekayaan negara yang bisa dikembalikan dan diselamatkan. Bukan jumlah kasusnya. Tapi ke subtansi penyelamatan kekayaan negara.
Kuantifikasi kasus sebagai indikator kinerja penegak hukum akan mendorong mereka menguber jumlah kasus. Bukan nilai kasus dalam rangka pemberantasan korupsi. Ini yang juga sering mendorong penyelewengan adminstrasi bisa berubah menjadi pidana korupsi.
Kerja penegakan hukum memang tidak hanya memerlukan kerja keras dan kerja cerdas. Tapi juga perlu wisdom atau keluasan hati. Melihat hukum sebagai sesuatu yang muli. Untuk membangun masyarakat tertib dan tidak jahat.
Peradilan bukan sekadar rezim administratif untuk menciptakan tatanan yang tertib. Tapi ia hanya salah satu cara membangun peradaban masyarakat yang lebih baik. Disinilah diperlukan berbagai gagasan cerdas seperti di atas.
Apalagi kini mulai diperkenalkan konsep restorative justice dalam sistem hukum kita. Sebuah pendekatan untuk mengurangi kejahatan dengan mempertemukan antara korban dan terdakwa. Pendekatan musyawarah dalam menegakkan hukum.
Melalui konsep ini, kasus tindak pidana tidak perlu berakhir dengan penjara. Sanksi hukum bisa dalam bentuk lain. Yang di luar negeri bisa dalam bentuk kerja sosial, denda, dan semacamnya. Tidak harus meringkuk di penjara.
Ide Jaksa Agung tentang korupsi Go Cap Tio ini bisa menjadi awal reformasi hukum kita. Biar tak lagi menyelamatkan uang negara dengan cara memboroskan uang negara. Bukan hanya di kejaksaan. Tapi juga kepolisian dan lembaga peradilan lainnya.
Spirit Jaksa Agung ini perlu ditumbuhkembangkan. Cuma bukan dengan cara diskon hukuman korupsi karena dianggap telah berbuat baik saat masih menjabat. Ups….(Arif Afandi)