Koreksi Kebijakan Eksekutif
Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2024-2029 resmi dilantik Selasa 1 Oktober 2024. Pelantikan tersebut dilaksanakan melalui rapat paripurna perdana yang dipimpin oleh ketua sementara DPR RI.
Selain DPR, juga dilantik 152 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk periode 2024-2029.
Pelantikan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan presiden terpilih Prabowo Subianto serta jajaran menteri kabinet. Prabowo dijadwalkan akan dilantik sebagai presiden baru RI pada 20 Oktober 2024.
Menanggapi pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia periode 2024-2029, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:
Yang Tak Ramah HAM
Ketika ratusan anggota DPR dilantik hari ini, pada hari yang sama kita juga mengenang dua tahun Tragedi Kanjuruhan. Tragedi ini menjadi pengingat kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas, yang ironisnya banyak dipicu oleh kebijakan eksekutif.”
Tapi badan legislatif juga bertanggungjawab karena lembek dalam fungsi pengawasan. Brutalitas aparat keamanan, ketiadaan sanksi dan hukuman (impunitas) atas pelanggaran berat HAM masa lalu akibat eksekutif terus menunda penyelesaian, hingga disahkannya kebijakan pembangunan yang tanpa proses konsultasi masyarakat adalah cermin bahwa kemunduran HAM belakangan ini disebabkan pula oleh lemahnya peran kontrol DPR.
Di tengah momen ini, jangan lupa kita masih memiliki produk hukum seperti UU ITE dan KUHP yang isinya mengekang kebebasan berekspresi, walau sudah direvisi. Omnibus Law juga hari ini masih dinilai merugikan hak-hak asasi manusia, antara lain hak buruh atas upah dan kondisi kerja yang layak, hingga hak atas lingkungan hidup yang sehat.
Kita juga ingat, DPR periode lalu meninggalkan PR yang dapat membahayakan HAM, seperti revisi UU Penyiaran, UU TNI, dan UU Polri.
Lalu keputusan MPR – yang mayoritasnya anggota DPR periode lalu – yang mencabut nama Soeharto dari Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang pencegahan KKN dan gagasan memberinya gelar pahlawan nasional sungguh melecehkan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat semasa 32 tahun dia berkuasa.
Apalagi hari ini adalah hari peringatan Gerakan 1 Oktober yang menjadi titik awal pembunuhan massal orang-orang yang dituduh komunis 59 tahun yang lalu.
Sejarah resmi harus jujur dan mengakui kesalahan masa lalunya, dan mengoreksinya agar ke depan tak berulang. Pelantikan DPR baru adalah momen penting untuk menegaskan kembali tanggung jawab wakil rakyat dalam membela hak-hak rakyat, baik itu hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
DPR periode baru wajib ikut menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai amanat Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. DPR harus mendesak Presiden untuk menerbitkan Keputusan Presiden tentang pengadilan ad hoc HAM untuk kasus-kasus seperti Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa aktivis 1997/1998, Tragedi Priok 1984 dan Talangsari 1989, hingga Tragedi 1965-1966, dan lainnya yang terjadi dari Aceh hingga Papua.
Begitu pula kasus pelanggaran HAM terkait proyek strategis nasional yang mengancam masyarakat adat seperti di Rempang, Wadas, dan Mandalika. DPR wajib memastikan ada keadilan untuk korban dan keluarga mereka.
Akuntabilitas dan transparansi dalam setiap proses pengambilan keputusan juga penting. Riset kami terkait pembelian alat sadap oleh Polri dan BSSN yang kurang transparan juga luput dari kontrol DPR. Padahal alat itu bukan hanya bisa digunakan untuk memata-matai aktivis, tapi juga politisi yang kritis pada pemerintah.
Intinya, DPR harus mengawasi kinerja badan keamanan dan mendorong reformasi serius guna memastikan perlindungan hukum yang adil dan tak memihak bagi semua masyarakat.