KOPIPA Gelar Aksi Damai di Depan Grahadi, Suarakan Sungai Brantas yang Semakin Tercemar
Komunitas Penyayang Ikan Perairan Nusantara (KOPIPA) menggelar aksi damai untuk menuntut pemerintah melakukan perbaikan terhadap kondisi sungai yang ada di Jawa Timur, di depan kantor Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur.
Koordinator aksi Jofan Ahmad mengatakan, aksi tersebut bertujuan untuk mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Timur melakukan restorasi terhadap sungai dan menuntut hadirnya sejumlah regulasi yang berpihak pada perlindungan ekosistem perairan.
“Salah satunya Sungai Brantas, sungai strategis nasional dan terpenting di Jawa Timur yang kini dalam kondisi kritis. Minimnya pengawasan pemerintah terhadap pencemaran akibat limbah Industri, sampah plastik, pemukiman bantaran sungai yang berkontribusi pada perubahan tata guna lahan telah mengancam keberadaan ikan-ikan domestik Sungai Brantas,” ucap Jofan, Senin 10 Februari 2025.
Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024 menyebutkan bahwa 60 persen sungai di Indonesia tercemar berat. Ancaman ini meliputi 54 persen berasal dari limbah industri dan domestik yang dapat meracuni ikan dan ekosistem sungai serta 39 persen pembangunan bendungan sehingga menghambat migrasi ikan dan mengganggu ekosistem di hilir.
Selanjutnya, 37 persen dari perubahan tata guna lahan yang berubah menjadi kawasan industri dan pemukiman, dan 28 persen yang mengancam spesies asli melalui persaingan dan predasi.
“Kami menemukan ketidakseimbangan rasio jenis kelamin ikan di Sungai Brantas, dengan 32 persen jantan dan 68 persen betina. Ketimpangan ini mengindikasikan gangguan hormon yang berpotensi disebabkan oleh paparan limbah industri dan domestik yang mengandung bahan kimia tergolong EDC pemicu intersex pada ikan. Jika terus berlanjut, populasi ikan dapat terganggu dan mengancam ekosistem sungai secara keseluruhan," tuturnya.
Peneliti Ecoton, Kurnia Rahmawati mempertegas, sungai juga mencerminkan identitas ekologi daerah melalui keberagaman ikan lokalnya.
"Seperti Kecamatan Papar di Kabupaten Kediri. Namun, sayangnya saat ini ikan papar atau belida hampir tidak pernah ditemukan kembali di Sungai Brantas. Ini sangat disayangkan karena secara tidak langsung maka daerah juga kehilangan jati diri atau identitas lokalnya," ungkapnya.
Lebih lanjut, Indonesia dikenal sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia, namun mirisnya juga termasuk dalam negara yang mengalami kepunahan ikan air tawar kedua terbesar di dunia. Hal ini tentu akan menjadi ancaman bagi masyrakat karena ikan air tawar, yang juga menjadi sumber protein utama bagi sebagian masyarakat.
Kurnia memaparkan, di Indonesia, tercatat sebanyak 4.782 spesies ikan asli. Dari jumlah tersebut, 1.248 spesies merupakan ikan air tawar, sementara 3.534 spesies hidup di perairan laut.
"Selain itu, terdapat 130 spesies ikan endemik, 120 spesies ikan introduksi, serta 150 spesies yang berstatus terancam punah. Sementara itu, ikan invasif yang berpotensi mengganggu ekosistem perairan tercatat sebanyak 13 spesies," ucap Kurnia.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera ambil tindakan pencemaran yang ada di sungai Brantas, yang tidak hanya berdampak pada ikan, tetapi juga masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sungai ini.
Bahwa tercatat sebanyak 17 juta warga yang bergantung pada Sungai Brantas. Sementara itu, temuan Ecoton di Sungai Brantas bagian hilir, hanya terdapat 7 jenis ikan lokal, yang jika dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya, mengalami penurunan sebanyak 13 jenis ikan lokal.
“Polusi di Sungai Brantas berpengaruh langsung pada ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Jika ini dibiarkan bukan hanya ikan yang punah, tetapi sumber mata pencaharian ribuan nelayan dan petani juga terancam hilang,” pungkasnya.
Advertisement