Kopi Neko-Neko
Ingat Ian Kasela? Tentu ingat salah satu lagunya yang pernah ngehits. Judulnya "Jujurlah Padaku". Lagunya sederhana, tidak muluk-muluk.
Begitu pun musiknya, sederhana saja. Hanya cukup menghapal tiga kunci, ambil gitar, sudah bisa ngamen keliling kampung dan dapat uang. Sayang, grup musik Radja ini tak lama merajai pasaran.
Sayangnya lagi kita juga sedang tidak bicara musik. Kali ini hanya bicara kopi. K-O-P-I. Meskipun demikian boleh dong nyanthol-nyanthol sedikit dengan judul lagu.
Nah, lagu Jujurlah Padaku ini cukup asyik bersanding dengan kopi. Percaya tidak? Percaya sajalah karena kopi begitu mudah dipercaya kok.
Coba simak foto yang terpampang ini. Apa ada yang lebih jujur dari yang ini? Soal kopi, kukira tidak ada! Tidak ada gambar kopi disana. Gambarnya jreng mencorong langsung performa jagung berikut bonggolnya.
Satu-satunya penanda bahwa dalam kemasan itu bisa diseduh seperti halnya kopi adalah gambar cangkir dengan warna hitam di dalamnya.
Tulisan Kopi Jagung terlihat sangat verbal. Menggiring persepsi yang melihat kemasan bahwa ini adalah benar-benar kopi. Tak masalah meskipun kulit packagingnya bergambar jagung.
UMKM kopi, perajin kopi, penjual kopi, warung kopi, bahkan peminum kopi, sebagian besar tak peduli soal beginian.
Pokoknya beraroma kopi, warnanya hitam seperti biasanya seduhan kopi, diverbalkan dengan tulisan kopi, maka langsung srupat-sruput dengan nikmatnya.
Suegerrrr. Tapi inilah fenomena kopi hitam. Demikian orang menyebutnya di banyak warung, di banyak kedai, di banyak tempat, bahkan di rumah kita sendiri.
Tak ada yang menyoal ketika cetar membahana muncul pesanan kopi hitam 1, kopi hitam pake susu 3, kopi hitam pahit gula sedikit, dan seterusnya. Siapa peduli, siapa mau tahu, yang penting pesanan siap saji, minum, selesai.
Ironi apa sarkasme ya ketika negeri ini menjadi fenomena kopi dunia. Terbesar nomor 4 dunia setelah Vietnam. Penghasil kopi besar, kenapa cara minum kopinya mek mayar begitu rupa.
Mayar itu bahasa Jawa ngoko, artinya sederhana. Malah bisa diartikan lebih dari sederhana, yaitu sangat-sangat sederhana.
Apakah dengan sederhana atau kesederhanaan ini lantas menjadikan minum kopi dari biji kopi murni seakan mewah? Seakan istimewa? Seakan tercerabut dari akar tradisi? Atau lebih karena biji kopi tak mampu terbeli?
Ah... siapa peduli. Kopimu adalah kopimu, kopiku adalah kopiku. Kopiku "agamaku" kopimu "agamamu".
Yah... jujur memang oke, hanya seenggaknya jangan selalu bilang sing penting ngopi. widikamidi