Kopi Itu Hanya Ada Tiga
Kopi itu hanya ada tiga. Tidak seperti balon. Kalau balon, seperti dalam lagu, ada lima. Lalu, rupa-rupa warnanya. Kalau balon ingin dipuja seperti kopi, dia harus menjarum yang dua. Duorrr, meletus dua tinggallah tiga.
Kopi, meski hanya tiga, rupanya hanya satu: hitam. Kecuali, kopi diberi susu, maka warnanya akan berubah coklat tua. Tetapi, kopi diberi susu tetap ranah yang berbeda, itu namanya campur. Bisa juga disebut campuran. Disebut juga dengan agak keren, namanya menjadi blend. Kopi blend susu, nah keren bukan?
Masyarakat kita, masyarakat Indonesia, kalau sudah berhadapan dengan kopi, sukanya yang keren-keren. Apalagi, kalau kantongnya sudah berjubel rupiah, konsumsi kopinya seringkali kelebihan ekspektasi. Kalau sudah begitu, kopi tidak lagi menjadi subyek, melainkan menjadi obyek. Minum kopi seperti orang kehausan. Minum kopi karena ingin mengerek kelas sosialnya.
Kalau kopi menjadi subyek, duhhh kopi itu nikmatnya bukan main. Kita bisa bicara citarasa kopi. Antara lain, kopi tidak sekadar pahit. Kopi tidak sekadar coklat atau hitam karena proses sangrai. Kopi tidak sekadar ditumbuk atau digiling menjadi bubuk. Kopi tidak sekadar dicom dengan air panas lalu disuguhkan, dan seterusnya.
Saat kopi menjadi subyek, kopi bisa bercerita. Bagi orang awam dengan kopi, ceritanya bisa seperti: "Ini Budi. Ini bapak Budi. Ini ibu Budi", dan ini tak masalah. Seperti belajar mengeja kalimat. Ini malah bagus. Sebab seperti belajar perihal kopi dari yang paling basic.
Bagi yang sudah bukan awam tentu akan bicara kopi itu citarasanya bisa bold, sweetness, karamel, watery, jussi, bitter, flowery, fruty, dan seterusnya. Ini belum termasuk bicara teknik seduhnya, obyek seduh, termasuk jenis air apa, merk apa, TDS berapa yang cocok buat menyeduh kopi. Semua menjadi perhitungan.
Nah, idealnya, bagi yang sudah bukan awam, seperti punya "kewajiban" moral untuk membagi ketidakawamannya kepada yang masih awam kopi. Banyak kesempatan dan banyak cara, berikut strategi seperti apa yang diterapkan agar pengetahuan terkait kopi bisa masif berdengung di negeri sangat kaya dengan kopi dan keintiman rasanya yang sudah terakui oleh dunia.
Kopi itu, diotak-atik, bagaimana pun warnanya tetap hanya satu: hitam. Atau, minimal warna dasarnya adalah hitam. Jadi, memang berbeda dengan balon yang bisa rupa-rupa warna sesuai dengan keinginan pabrik dan keinginan pasar. Namun meski kopi hanya satu warna, si penikmat kopi, rasanya kurang elok kalau memesan kopi ke si penjual kopi, tukang seduh kopi, barista kopi, hanya menyebut pesanannya sebagai kopi hitam. Sebab hitam bukan citarasa kopi.
Maka, mumpung zaman now sedang berdengung kencang hingga hari ini, ada baiknya peminum kopi "beringsut" sedikit untuk menjadi penikmat kopi. Jika ini menjadi fenomena yang masif, siapapun yang tidak awam dengan kopi memiliki "tugas" mulia untuk memberikan pencerahan, edukasi, atau apapun namanya agar kopi meski hitam warnanya - sesudah terseduh oleh tangan - namanya tidak lagi sekadar kopi hitam. Melainkan: kopi hitam jenis robusta, kopi hitam jenis arabika, kopi exelsa, kopi liberika, dan seterusnya. Syukur-syukur mampu menyebut daerah asal kopi plus siapa petani yang menanamnya.
Kalau yang basic ini sudah terlampaui, berikut peminum kopi sudah mau beringsut menjadi penikmat kopi, plus mengetahui bagaimana petani kopi sudah berjibaku memroses kopinya sesuai SOP dengan dedikasi tinggi, kopi itu sejatinya hanya ada tiga kok. Pertama enak, kedua huenak, ketiga? Tak lain dan tak bukan adalah kopi ratu.
Haaa? Kopi ratu? Kopi ra tuku? Huihhh, jangan salah brow, kopi jenis ini enak kopinya juga bukan main he he he he. Betapa tidak enak wong selalu dapat traktiran menikmati kopi. Atau, selalu dapat gratisan dari si owner pemilik coffee shop-nya.
Tapi, eittt ada tapinya ya, kopi cap ratu ini meski selalu terasa nikmat jangan dipelihara tinggi-tinggi. Jangan menjadi idaman yang bagaimana. Apalagi selalu mengharapkannya. Jangan sampai muncul ungkapan dalam bahasa Jawa; njagakne endog pitik blorok.
Sebab, kopi cap ratu, memungkinkan positioning-nya berada dalam ranah ngopi sebagai obyek. Ngopi hanya sebatas dinikmati gluk gluk gluk gluk dan selesai. Minumnya cepat, minumnya kilat. Selalu tandas sak ampas-ampasnya. Ya, karena ra tuku. Karena ra mbayar. Karena ra kelangan duit. Malu juga kalau tak dihabiskan. Tapi, belakangnya, jelas minim apresiasi.
Kopi enak itu adalah subyek pasif. Sedangkan kopi huenak tingkatannya adalah di atas itu. Dia mampu menjadi subyek aktif. Tanpa si tukang seduh kopi bercerita, tanpa si barista memandu seperti apa citarasa kopi buatannya, kopi yang tersaji sudah mampu bercerita dengan sendirinya. Walau hanya lewat tampilan dan walau hanya lewat aroma yang semerbak mengurai.
Jadi... salam kopi, dan bukan salam balon yang rupa-rupa warnanya itu, lalu duorrr, lalu hanya memberi efek kejut untuk sesaat.
CATATAN:
1. Kopi hitam, kental dengan persepsi gaya/teknik seduhan kopi tubruk yang sangat membumi di masyarakat tradisional.
2. Kopi hitam, kental juga dengan persepsi wis pokoke kopi. Asal warna hitam, sruput, selesai.
3. Kopi hitam, identik dengan bukan kopi dalam kemasan sachet. Yaitu, kopi tumbuk yang diracik oleh penjual kopi.
Advertisement