Kopi itu Disangrai Atau Digoreng sih?
Kopi hitam. Begitu sederhananya orang menyebut menu kopi setelah duduk mak klenek di warung-warung kopi. (Mak klenek: ungkapan bahasa Jawa. Untuk menggambarkan orang duduk yang sangat nyaman, terbiasa duduk di area itu, atau sangat menikmati keberadaannya di tempat tersebut).
Kopi hitam. Bukankah kopi (semua kopi) kalau sudah diseduh dengan air panas kemudian dituang ke dalam cangkir-cangkir, atau gelas-gelas warnanya selalu hitam? Apakah ada kopi yang warnanya kurang hitam sehingga konsumen kopi yang nyaman berada di warkop-warkop itu begitu memesan menu kopi selalu menyertakan kata hitam di belakangnya?
Kopi hitam, perlukah dipersoalkan? Rasanya tidak. Rasanya hanya perlu sedikit diluruskan pangkal mulanya mengapa orang suka menggunakan istilah ini ketimbang menyebut kopi berikut jenis kopinya andaikan sudah berada di warung kopi.
Pangkal dari membuminya sebutan kopi hitam itu tak lain karena teknik sangrai yang diterapkan atas kopi itu sendiri. Sekian lama, sejak zaman VOC hingga (mungkin) Orde Baru yang telah berlalu, pengetahuan soal sangrai kopi masih begitu rapatnya. Nyaris tak ada informasi yang menyegarkan bisa keluar dari lumbung pengetahuan. Kalau pun ada mampirnya boleh jadi hanya milik orang per orang sehingga masih diangap sebagai rahasia bisnis yang tak boleh sembarangan disebarluaskan.
Tapi orang selalu mencari kopi. Lalu ngopi. Bertumbuh pula warung-warung kopi. Marak juga warung-warung tradisi. Kopi pun begitu masifnya juga menjadi tradisi. Tradisi antarpersonal maupun antarkelompok masyarakat dalam jumlah komunal yang besar. Bahkan sangat besar malah.
"Sudah nggoreng kopi Yu?" tanya Mbah Tumi, embah saya yang jadi mbah Lurah, suatu ketika, kepada koleganya saat menjelang acara tahunan bernama bersih desa atau metri desa.
Koleganya pun menjawab lugas, "Belum mbah Lurah. Besok saja nggoreng kopinya kalau kurang dua atau tiga hari begitu. Biar nanti kopinya masih segar."
Di tempat berbeda, di warung Lik Man, karena kehabisan kopi maka Lik Man menawarkan teh kental panas kepada pelanggannya, "Kopinya habis Mas Bagus, belum sempat nggoreng. Besoklah belanja dan digoreng sekalian. Jadi sekarang teh kental pahit saja ya, mau?"
Di situasi yang personal, sorang teman menyelutuk, "Emm ada bau orang nggoreng kopi, jadi ingat pulang kampung saya."
Itu dia sekelumit nyata betapa minimnya pengetahuan kita soal kopi ketika memasuki tahapan "nggoreng" kopi. Terlihat rancu. Terkesan menyederhanakan. Terlihat dicari gampangnya. Kopi kok digoreng. Apa karena pada proses ini sering melibatkan wajan (meski) dari tembikar sehingga tahapan ini disebutnya digoreng? Dan bukan disangrai?
Jadi, untuk kopi, pemahamannya, kopi itu digoreng atau disangrai sih?
Begini sederhananya: digoreng itu membawa asumsi memakai minyak saat berproses. Sementara, disangrai itu adalah proses membuat matang obyek tanpa menggunakan minyak apapun.
Nah, di belahan dunia manapun, untuk kopi, sudah pasti memprosesnya tanpa melibatkan jenis minyak apapun.
Karena kebiasaan memungkinkan proses kopi menjadi berbeda. Mbah Tumi, koleganya, Lik Man, juga seorang teman tadi, memungkinkan tidak menyadari ini. Bahwa: menggoreng berbeda dengan menyangrai.
Mengolah biji kopi menjadi kopi siap diseduh dipahami harus matang. Karena materialnya kopi maka kalau belum hitam dianggaplah belum matang.
Karena pengetahuan dan peralatan, kopi yang belum hitam acapkali alot ketika dihaluskan. Ini yang membuat gaya sangrai kopi menjadi selalu hitam. Kalau belum hitam, kalau belum mendekati warna hitam arang, kopi dianggap belum matang. Celakanya, hebatnya kopi, meski warnanya hitam gosong baunya tetap bau enak kopi.
Menuju kekinian, kala kopi hits bukan main seperti sekarang, pengetahuan juga sudah lepas kendali, kata goreng kopi sudah banyak ditinggalkan. Sebab pelaku kopi juga sudah berbeda. Dulu Mbah Tumi sekarang milenial. Biasanya Lik Man sekarang barista.
Kata sangrai pada kopi menjadi pemahaman yang sangat umum. Kata yang lebih pas. Kata yang lebih tepat. Atau, kini, karena pilihan kata yang lebih enak didengar, kata Inggris roasting lebih sering terdengar. Lebih banyak digunakan. Dan jauh lebih keren.
Kopi hitam, perlukah dipersoalkan? Rasanya tidak. Rasanya hanya perlu sedikit diluruskan pangkal mulanya mengapa orang suka menggunakan istilah ini ketimbang menyebut kopi berikut jenis kopinya andaikan sudah berada di warung kopi.
Jadi tahapan roasting kopi adalah kuncinya. Kopi menjadi kopi hitam atau tidak, pangkalnya adalah dari sini.
Begini bahasa kerennya kalau dijelaskan: roasting kopi merupakan salah satu tahapan penting untuk mendapatkan aroma yang khas dari biji kopi. Atau setelah proses roasting malah tidak keluar aroma sama sekali.
Seorang ahli kopi dari Jember, Bambang Sriyono, menyebut, proses roasting sesungguhnya tidaklah mudah. Bahkan, mereka yang sudah memahami seluk beluk kopi sekali pun bisa mengalami kegagalan mendapatkan profil yang diinginkan saat meroasting kopi.
Ada beberapa hal umum yang memungkinkan terjadi saat roasting biji kopi dilakukan. Antara lain:
Kopi menjadi sangat ringan. Istilah lainnya adalah very light. Ini terjadi karena suhu saat roasting dilakukan terlalu rendah. Akibatnya warna biji kopi sangat ringan, keras, dan kurang berkembang. Rasa dalam cangkir cenderung menjadi herbal, rasa kayu, aroma tinggi berikut rasa asam. Tetapi rasa itu tidak kompleks.
Kopi terpanggangml. Ada yang menyebut baked coffee. Terjadi karena kopi dipanggang terlalu lama dengan suhu dibawah 175 derajat C tanpa mencapai first crack. Hasilnya adalah kopi yang rasanya sedikit manis dengan keasaman yang rendah.
Menggores. Disebut juga scorching. Sebabnya suhu yang terlalu tinggi sementara kecepatan drum roasting tidak terlalu cepat. Ini mudah dikenali. Karena pemanggangan yang tidak merata. Sebagai akibatnya menimbulkan bintik-bintik gelap dan garis-garis pada kopi. Rasa dalam cangkir akan berasap dan berminyak.
Memberi tip (tipping). Ini mirip dengan hangus. Disebabkan karena suhu terlalu tinggi. Biasanya terjadi selama fase second crack. Biji kopi terlihat seperti miliki bekas terbatas di ujung biji.
Terlalu gelap. Peteng. To dark, ada nb yang menyebut begitu. Penampilan fisik sangat rapuh, warnanya hitam mengkilap, aroma berasap, keasaman rendah dan rasa terbakar alias gosong.
Nah Kopi hitam pasti melewati tahapan ini. Sebab itu ada baiknya menjadi pintar dengan kopi. Tak ada ruginya kok. Ketimbang hanya mengenal satu jenis kopi: Kopi Hitam.
Atau, minimal, mengetahui bahwa ada sebuah proses agak panjang di dalam secangkir kopi sebelum menjadi seduhan nikmat akan membuat kita menjadi makin sehat karena kopi. (widikamidi)
Advertisement