Kopi itu...
Secangkir kopi yang tersuguh di atas meja, dimana pun, selalu menggoda. Dimana pun juga, secangkir kopi, bila sudah disuguhkan tak ada yang menolak. Pasti di-iya-kan, dinikmati, dan jarang disisihkan.
Ditengah gempita kopi, tak banyak yang peduli kopi sebenarnya. Koyok-koyoke saja kopi itu berada di setiap sudut-sudut jalan. Dimeriahkan dengan segala fasilitas koneksi wi-fi, atau segala macam interior dahsyat yang membuat lapar imajinasi, dibarengi dengan peralatan pembuat kopi nan mahal nan canggih, dan seterusnya.
(Koyok-koyoke itu sebuah istilah dalam bahasa Jawa. Maknanya dalam, sebab beberapa dimensi arti turut larut di dalamnya. Bahasa Indonesia dari istilah Jawa ini ada, yaitu; seolah-olah. Namun kata seolah-olah tidak memiliki kedalaman rasa seperti halnya koyok-koyoke.)
Apa bukti dari ditengah gempita kopi sebenarnya tak banyak orang yang peduli kopi? Jawabnya singkat saja, sederhana, dan populer. Kopi Indonesia lebih banyak lari ke luar negeri ketimbang berada di dalam negeri!
Ha? Lho bukankah permintaan itu pernintaan dagang? Namanya permintaan harus didahulukan ketimbang kepentingan sendiri? Pembeli adalah raja?'Bukankan ekspor lebih menguntungkan ketimbang dikonsumsi sendiri? Bukankan itu devisa negara? Bukankah itu sebuah capaian produktivitas nan penting agar petani kopi bisa menikmati kemakmuran?
Jelas banyak pertanyaan menyerbu seperti di atas, dan bila dijawab jawabannya bisa panjang. Sepanjang rel kereta api di Pulau Jawa. Jawaban yang panjang juga memungkinkan akan jadi sebuah karya disertasi seorang promovendus yang oke. Ayolah... tak perlu jawaban panjang dari serbuan pertanyaan-pertanyaan itu.
Bailah, jawabannya sak dumil saja kalau begitu. Sak dumil itu sak ithik. Sak ithik itu sak cuil. Sak cuil itu Sak imit. Sak imit itu suedikit. Suedikit itu; dalam Bahasa Indonesia adalah sedikit. (Misal, sepotong biskuit/roti berbentuk persegi panjang, dipangkas ujungnya 1/2 hingga 1cm; itu namanya sak dumil).
Apa jawaban sak dumilnya? Meninggikan kuota orang ngopi di Indonesia!
Lalu? Lha ya itu jawaban sak dumilnya. Kalau jawaban ditambahi maka jadinya ndak sak dumil dong. Namanya jadi rong kecap. Rong kecap itu istilah wong Blitar kidul kali untuk menyebut kata lebih dari dua kalimat.
Oke deh, begini logikanya: Kalau orang Indonesia peduli dengan kopi Indonesia maka kepedulian itu diwujudkan dengan meninggikan kuota minum kopi orang Indonesia. Selama orang Indonesia kuota minum kopinya begini-begini saja maka kopi berkualitas milik Indonesia tidak pernah bisa bercokol di atas kaki sendiri.
Kuota minum kopi orang Indonesia sejatinya menjadi tanggung jawab bersama. Menjadi kepedulian bersama. Panen kopi yang melimpah akan selalu lari ke luar karena memang pasarnya ada. Pasar membutuhkan. Selebihnya adalah logika dagang. Logika dagang adalah mencari untung, dan bukan mengejar buntung.
Kopi lari keluar sejatinya tak ada masalah. Namun lari keluar itu harusnya dibarengi dengan hal-hal yang strategis. Apa itu? Harga! Salah satunya adalah harga. Kalau salah lainnya pasti banyak. Sebanyak limpahan panen kopi itu sendiri.
Andaikan pasar dalam negeri, pasar kita sendiri, mampu membuat serapan panen yang bagus maka kopi akan enggan lari ke luar. Kalau pun bisa lari keluar orang Indonesia bisa rembugan yang bagus soal harga dengan para eksportir. Harga yang bagus tentu membuat para petani kopi akan sumringah wajahnya. Secerah matahari yang hendak terbit di ufuk. Tanpa mendung tanpa halangan awan.
Memang tidak mudah. Apalagi membalik telapak tangan. Karena Indonesia tidak memiliki tradisi yang bagaimana terkait kopi. Kalau punya kopi eman. Eman dengan nikmatnya. Maka dicarilah pahitnya. Pahit itu berasal dari campuran. Ada jagung, ada beras, ada kedelai, ada kacang hijau, dan seterusnya.
Ada juga logika terbalik. Kopi murni bikin sakit perut. Bikin orang tidak bisa tidur. Bikin mata mblereng. Mblereng itu lagi-lagi Bahasa Jawa, identik dengan rabun dalam bahasa Indonesia.
Di pedalaman Jawa Timur bagian Selatan istilah mblereng ini begitu turun-temurun. Hasilnya, ya itu tadi, kopi dibikin atau digoreng sangan dengan aneka campuran. Biar enteng, biar hemat. Padahal kopi campuran model begini yang acap kali membuat sakit perut.
Di tataran Pemerintahan berdengung kampanye "Ayo Makan Ikan". Kalau kopi adalah komoditas ekspor nan penting dan mampu menangguk devisa negara dalam jumlah besar, kenapa tidak pernah ada kampanye serupa "Ayo Minum Kopi Indonesia/Nusantara". Padahal instansi terkait mampu dan bisa melakukan itu.
Kopi itu... ngeri-ngeri sedap lho. Ngeri karena isu dagang yang mengangkanginya, dan sedap karena citarasanya mampu membangitkan dan menggerakkan apa saja di sekitarnya.
Ayolah minum kopi. Catatan: minum kopinya yang sehat ya. Tidak asal hitam, tidak asal pahit, dan tidak asal bisa bikin betah melek. Minum kopi yang asal akan rawan berdampak sakit. Sakit karena asal minum kopi membuat membuat para dokter gampang menyimpulkan: jangan minum kopi! Tidak boleh minum! Sebab, tidak pernah ada dokter bertanya, kopi apa yang diminum tadi? Atau dimana minum kopinya tadi?
Kuota minum kopi orang Indonesia itu penting untuk dikatrol. Harus segera dan harus masif dilakukan. Ini zaman now, kalau tidak, esok tidak bakal ada kopi di meja suguhan kita. (*)