Kopi Indonesia (sudah akan) Merdeka
Merdeka. (Sudah agak berkurang energinya. Harap maklum sudah kepanasan seharian kemarin karena upacara bendera. Upacara Pagi dan Parade Senja). Energi berkurang secara fisik memang iya, namun semangat merdeka masih menyala membara, dan selalu demikian adanya.
Di hari peringatan Proklamasi, biasanya muncul puisi dari penyair KH. Mustafa Bisri (Gus Mus) yang begitu memesona. Kritis sekaligus syahdu nasionalis berbalut keindahan rima bahasa yang tiada bertepi.
Saya merindukan puisi itu. Namun sayang, puisi yang seolah selalu bersambung itu tiada lagi. "Rasanya baru kemarin puisi itu dibaca rakyat Indonesia, sekarang HUT Kemerdekaan ke-72 sudah berkumandang lagi. Ya, rasanya baru kemarin..."
Peringatan HUT Kemerdekaan kali ini sungguh berbeda. Berbeda bagi "orang kopi" khususnya. Betapa tidak, Presiden Joko Widodo, di sela persiapan HUT, bersama para Paskibraka dan tetamu undangan dari seantero jagad, begitu membanggakan kopi Indonesia. Kebanggaan itu diselingi aksi nyata dengan nyeruput kopi dan ngopi bareng di Istana Merdeka.
Jangan lupakan kalimat Presiden ini, "Kita jangan lagi hanya bangga bisa ekspor kopi keluar negeri. Jangan pula jual kopi mentah ke luar negeri. Kita harus perbaiki tata niaga kopi, kita perbaiki segera para ahli kopi. Kita punya barista, kita juga harus bisa ekspor barista ke luar negeri."
Ini kalimat yang malati. Malati itu bertuah. Tidak mengindahkan ketuahan kalimat itu berarti akan kuwalat. Bisa jadi seperti jambu mente. Jambu mente itu kepala terbalik di bawah sementara kali di atas.
Hulu dari segala kebikan dan regulasi (baca: Presiden, red) sudah bicara demikian. Maka, di tengah, sambungan di tengah, hingga hilir, harus mengindahkan kalimat ini. Tidak ingin kuwalat bukan?
Stakeholders perkopian Indonesia tidak perlu ragu lagi. Kita anggap pernyataan Presiden ini sebagai "Sabdo Pandito Ratu". Presiden kita ini orang Solo asli. Jadi ketika nyeruput kopi Bali Kintamani terasa begitu nikmat di citarasa lidah, kemudian menyebut semua kopi di Indonesia adalah enak, maka sejatinya dia sedang melakukan Sabdo Pandito Ratu itu. Masyarakat Indonesia harus mengikuti jejaknya agar menyeruput Kopi Indonesia.
"Kopi lokal semuanya enak. Coba kopi Gayo enak, coba kopi Mandailing enak, nyoba kopi Wamena enak, nyoba kopi Jember enak. Kopi Bali enak. Sudah, sekarang tergantung bagaimana memulainya," kata Presiden.
Saya jadi ingat dengan sebuah diskusi di Surabaya yang bertemakan "Kedaulatan Kopi Indonesia". Sepertinya, dhawuh Presiden RI ini bisa menjadi kata kuncinya. Kunci untuk berbuat lebih terkait kopi Indonesia mau diapakan. Jangan lagi jual kopi mentah ke luar negeri bisa jadi bidang garap di depan mata.
Bukan rahasia, Indonesia adalah penghasil kopi dunia dengan peringkat nomor empat. Hanya sak setrip di bawah Vietnam. Ini ironis sebenarnya, di tahun 80-an Vietnam masih meguru di kebun-kebun Kopi Java dan Sumatra, kini dia menjadi raksasa nomor tiga dunia.
Pertanyaannya adalah mampu dan bisakah kopi Indonesia benar-benar berdaulat? Kapan?Jawabnya adalah bisa. Kapannya adalah sekarang!
Senjatanya untuk bilang bisa dan sekarang itu adalah Sabdo Pandito Ratu dari Presiden RI Joko Widodo pada HUT Kemerdekaan itu. Pada saat acara ngopi bareng di Istana Negara itu. Video dan dokumennya yang diunggah bisa dilihat dan ditonton orang sak jagad kerat.
Ini benar-benar harus ada kemauan. Harus ada nasionalis dilarutkan di dalamnya. Sebab faktanya adalah semua kopi bagus larinya keluar Indonesia, dan itu disebut capaian.
Capaian atas nama perdagangan, perindustrian, yang totalitasnya disebut penghasil devisa. Lalu, di Indonesia, di dalam negeri, yang tertinggal adalah kopi kelas tiga hingga kelas enam.
Ini satire yang pahit. Sepahit cita rasa kopi yang disangrai mendekati level karbon. Jadi jangan salah, jika bicara kopi yang berdaulat di tanah air saat ini ya "kopi hitam". Kopi yang identik diolah dengan beragam campuran hingga esens.
Campuran kopi hitam yang sangat populer adalah jagung, beras, karak, kacang hijau, biji salak. Kalau rasa kurang nendang karena jumlah kafein terlarut dalam seduhan kopi hanya sedikit lantaran kebanyakan campuran, maka dikreasilah sangraian kopi dengan campuran beberapa bahan obat seperti; E10, Fatigon, B-Complex, Bodrex, Oskadon.
Kalau sang kreator sudah canggih, campurannya bukan lagi obat-obatan yang mengandung kafein lagi tetapi sudah berupa kafein powder. Produksi lokal ada, produksi impor lebih banyak.
Saat ini, karena pergerakan tren, mulai banyak bermunculan orang, kelompok, komunitas - #pasukanberaningopi di Jawa Timur, misalnya - menyerukan ngopi sehat. Ngopi sehat itu didapat dari biji kopi yang baik yang diseduh saat kopi masih dalam keadaan fresh. Berupa biji sangrai, digiling, lalu diseduh.
Alamak, apa yang terjadi? Yang muncul adalah nyinyir berkepanjangan: wong mau ngopi wae kok ribet. Menyusahkan. Bikin daripada tidak efektif. Nganeh-anehi dan seterusnya.
Andai, mari kita berandai-andai, mumpung boleh bicara pengandaian, andaikan sabdo pandito ratu seorang Jokowi digugu, dibicarakan masif, dijalankan, bicara konsepsi kedaulatan kopi Indonesia akan tidak lagi semacam angin yang sangat ngangeni yaitu (maaf) kentut.
Ada bau yang sungguh bikin benci sekaligus dirindukan. Ada baunya tapi tak jelas arahnya kemana juga siapa yang menghembuskan. widikamidi