Kopi... Dua ya
Masuk warung, lungguh mak klenek. Lepas topi, turunkan ransel di punggung, lalu betulkan letak kacamata. Menebar pandang sebentar, lalu mata bertubrukan dengan penjaga warung.
Saling umpan senyum, lalu berkatalah saya, "Kopi dua bung..."
Tak ada pertanyaan dari si bung penjaga warung kenapa saya memesan dua. Padahal, saya datang sendirian. Tak ada pengawal, tak ada gandengan. Artinya, saya benar-benar sendirian.
Trengginas, si bung penjaga warung sudah memperdengarkan suara kluthik-kluthik. Suara gelas beradu dengan (mungkin) sendok kecil sebagai wahana pengaduk kopi dan gula dalam gelas.
Trengginas pula, si bung penjaga warung sudah muncul lagi dengan dua gelas kopi. Kemebul uap kopi, meruyak bau aroma kopi yang tak bisa dicuri oleh aroma lain. Aroma suedep itu langsung menyerbu semua area warung yang bisa dijangkaunya.
Mata bertubrukan lagi, senyum tipis terlempar mengikuti gelora energi kopi dalam dua gelas yang berada dalam nampan ditangannya. "Niko kopinya Mas," kata dia sembari menyuguhkan.
"Namaku bukan Niko bung. Kenalkan namaku Kamidi, dari sudut jauh Trenggalek sana.
"Eh iya minta maaf Mas, Niko itu memang bukan sampeyan. Niko itu Bahasa Jawa saja. Harusnya memang aku tadi bilang meniko. Meniko itu Jawa kromo inggil. Saya memang biasa menyingkatnya. Kalau diucap komplit, meniko, ah kepanjangan kan," kata si bung penjaga warung bela diri.
Suasana jadi bersahabat, obrolan pun mulai menghangat. Padahal, sebelumnya, tidak saling mengenal? Keasyikan ini hanya memungkinkan terjadi karena dahsyatnya konektivitas oleh kopi.
"Bung... kenapa tadi tidak tanya kenapa aku minta dibuatkan kopi dua? Padahal sampeyan juga lihat, aku datang dewean," tanyaku.
"Iya yo mas kenapa kok gak takon yo. Pikir saya, sampeyan ini pencinta kopi. Kopi lovers lah begitu kata zaman now. Nekek kopi lah bahasa Jawanya. Jadi ya tak buatkan dua. Lagi pula, buat wong warungan kopi seperti saya ini mas, bikin dua lebih bagus dari bikin satu. Kelihatan juga kalau ngopinya dua itu pasti cinta kopi beneran hehehehehe," celoteh si bung penjaga warung.
"Ehh..."
"Lha iyo to mas... kalau sampeyan minta dibikinkan dua, berarti dagangan cepat bisa kulakan lagi. Artinya, akselerasi warung juga tinggi karena dagangan laku. Kalau dagangan laku pabrik juga jalan. Kalau pabrik jalan buruhnya pasti juga sehat. Kalau pabriknya jalan, kopi-kopi di kebun juga terserap dengan baik. Petani pasti juga sumringah," nyerocos si bung penjaga warung.
"Ehh..."
"Jadi mas, ngopi dua gelas itu tetap berwarna daripada hanya ngopi satu gelas. Kalau ngopi tiga gelas namanya juga kebanyakan. Jadi dua saja cukup. Itu pas namanya. Jadi mas, tetaplah biasakan diri dengan dua gelas itu ya," si bung lalu menghilang membuatkan pesanan pelanggan lain yang baru datang.
"Ehh... Ini keren. Penjaga warung bisa cas cis cus soal akselerasi. Pabrik. Buruh. Serapan kebun kopi. Petani sumringah. Angka dua. Emang ada apa dengan angka dua. Wihhh warung keren tenan ini," kata awake saya.
Tepok jidat, plak! Dua huruf alias 2 di angka. Itu bukan angka sembarangan. Baru ingat, kalau 2 ini lagi berdengung. Juga didengungkan. Dengungnya seperti kawanan tawon yang berangkat bekerja mencari bunga mekar untuk mendapatkan madu.
Ah iya, tepok jidat lagi, plak! Bagaimana bisa bung penjaga warung bisa dengan suantainya bisa menyampaikan angka dua dengan elegan begini. Mengetuk sanubari. Ah... Kopimu seenak jelasmu bung.
"Bungggggg, sudah, aku mau bayar. Berapa nih kopinya," seraya awake saya mengetes.
"Kalau beli dua begini gratis satu ndak bung?"
"Alahhh mas ini hanya warung. Mana kuat aku kasih polesan beli dua gratis satu begitu. To the point saja, bayar tetep dua mas. Toh sampeyan ndak rugi bayar dua. Kalau beli dua gratis bayar siji itu namanya malah ndak mendidik. Dua ya masss, ojo ditawar dan ojo lali," sembari si bung ini mendekat dan berbisik.
"Sik sik bung, duanya begini (angka) 2, atau begini (unjuk jari) II."
"Sak karepmu Mas, sing penting tadi sampeyan ngunjuk kopi: d u a. Dua itu loro. Loro itu (ngene) 2. (*)