Kopi dalam Kukusan
Lama selalu punya lawan kata, baru. Ada baru berarti ada yang lama. Ada siang, ada malam. Lelaki perempuan, dan seterusnya. Ada kuno ada kini, ah kalau ini jelas bukan.
Ini, yang begini, di dalam ranah kebahasaan namanya antonim. Bukan pantomim ya, kalau pantomim bergerak, menirukan sebuah gerak. Membuat gerakan. Gerakan kecil diinterpretasikan besar, gerakan besar bisa saja interpretasinya kecil. Intinya adalah bergerak.
Kukusan, what is kukusan? Ini barang lama. Nama sebuah alat bantu untuk memasak. Bagian peralatan memasak cukup kuno, yang dipergunakan simbah-simbah menanak nasi. Juga, merebus sesuatu, mengukus sesuatu.
Seiring penciptaan alat itu, tercipta juga konstruksi berbahasa yang mengacu pada kegunaan si alat. Para nenek moyang menamainya dengan nama sederhana: kukusan.
Kukusan tidak pernah berdiri sendiri, biasanya harus ditopang dengan alat lain menyerupai dandang. Dandang berleher panjang dan terbuat dari tembaga.
Antonim lama dan baru akhirnya berlaku. Kukusan punya tandingan yang lebih sakti madraguna, namanya magicom, magicjar, dll, sesuai merk, sesuai selera. Tinggal pilih, tinggal pakai, harga juga ramah untuk dompet.
Alat baru ini tinggal colok ke listrik, pencet power, tunggu beberapa menit kemudian sudah jadi. Yang beras jadi nasi. Yang perlu dikukus sama, colok, pencet, beberapa menit kemudian jadi benda terkukus.
Mateng. Masak. Enak juga. Nyaris tiada beda. Satu-satunya yang tertinggal hanyalah rasa yang terlibat. Tapi perlukah di zaman instan begini perlu melankolis dengan rasa?
Antonim boleh jadi memang mengincar zaman. Simak saja, kukusan sudah lama tergerus dan kusam. Sebentar lagi hanya tinggal jadi pajangan dengan sedikit catatan bahwa alat ini adalah tradisi nenek moyang yang pernah hits lalu tertelan zaman.
Kopi adalah tradisi lama. Ngopi adalah aktivitas lama yang terus bertumbuh berirama dengan zaman. Kopi tak mengenal catatan bahwa pernah hits. Sebab kopi selalu hits.
Permintaan kopi dunia, baik yang greenbean atau yang sudah roasted selalu meningkat. Jadi, pencatatan hanya baru dilakukan terhadap gaya ngopinya saja. Gaya ngopi inilah yang mengenal antonim, ada pasang ada surut. Ada lama ada baru.
Lama dan baru gaya ngopi inilah yang memungkinkan kukusan bisa menari-menari dalam dimensi pantomim. Bergerak, meniru, dalam ranah diversifikasi. Lama dicitarasakan baru. Baru dicitarasakan kekinian. Kekinian adalah produk zaman yang melahirkan konstruksi berbahasa yang khas. Kekinian adalah hits.
Dulu kukusan identik dengan menanak nasi. Ngaru beras. Ngukus ketela. Ngukus apem. Ngukus uwi. Di ruang lampau, dalam legenda, malah kukusan dicemplungi pari sak uli, lalu jadilah nasi sebakul. Bagaimana bisa? Ya, tanyalah pada Jaka Tarup sebab pari sak uli itu ada dalam legendanya.
Kukusan kekiniannya disandingkan dengan kopi. Apakah boleh? Bisalah! Karena dalam acara ngopi tak pernah ada yang salah.
Kukusan dalam kopi tidak dimaksudkan untuk ngaru kopi. Tidak pula untuk menanak nasi. Kukusan lebih berfungsi untuk menyaring partikel kopi yang sudah dihancurkan.
Apa bisa? Jawabnya bisa! Seperti kalo, alat dari bambu yang bisa berfungsi bagus untuk memerah santan kelapa.
Kukusan bisa didiversifikasi. Dalam sebuah kompetisi menyeduh kopi manual, kukusan dipakai sebagai alat saring (driper) wajib yang memang sengaja dikompetisikan.
Dewan Kesenian Jawa Timur menggelar acara kompetisi itu pada medio Juli 2017 lalu. Peristiwa yang asyik dan menggetarkan. Sebab, belum pernah ada kompetisi seperti itu.
Kukusan sebagai alat saring kopi memang sudah muncul di permukaan. Di Jogkakarta sudah, Bandung juga sudah. Mungkin juga sudah muncul di beberapa kota lain yang juga diserbu fenomena ngopi gaya masyarakat urban. Hanya tidak terdeteksi publikasi dan tak terendus media. Jadi kemunculan fenomena ini masih sebatas seksi di media sosial.
Ini sebuah wacana. Wacana kukusan yang benar-benar out of the boxs. Tidak untuk menanak nasi seperti lazimnya, tapi menjadi bagian untuk menyeduh kopi. Sadar atau tidak ini adalah sesuatu yang baru.
Seperti ini bisa dipahami juga sebagai komodifikasi. Komodifikasi itu sejatinya adalah transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Menjadikan kukusan yang nyaris punah, tak berguna, bergeser ke arah kekuatan/nilai baru yang besar setelah disandingkan dengan kopi. Mengapa tidak? widikamidi, FOTO: dimas butuhkopi, christian nordic coffee