Kopi Aren di Benteng Kedung Cowek
oleh: Dewi Purboratih
Surabaya, yang pada 31 Mei 2023 lalu merayakan hari jadinya ke-730, adalah kota yang menjadi latar memori dalam relasi sosial para penghuninya. Baik bagi pendatang maupun penduduk asli, Surabaya yang berganti wajah dengan adanya perubahan lansekap pada beberapa periode waktu dan sejarah telah memberikan rupa-rupa pengalaman—entah suka atau duka—akan menjadi kisah yang layak dikenang. Begitu pula bagi 14 penulis yang menuangkan ide-ide kreatifnya berdasarkan ingatan mereka tentang Surabaya pada buku kumpulan cerita pendek: Kopi Aren di Benteng Kedung Cowek.
Bagi Wina Bojonegoro, yang juga pendiri Perlima, Surabaya lekat dengan kata: perjuangan. Ia berpendapat Surabaya dengan segenap persoalannya bagai dua keping mata uang yang memiliki sisi keindahan tentang harapan, sekaligus kegelisahan yang terpendam jauh di lubuk hati para pejuang kehidupan yang sering kali tak (sempat) tersampaikan. Hal tersebut sangat menarik untuk dicatat. Tentu saja, catatan tersebut dikemas dalam bentuk fiksi agar penulis memiliki keleluasaan dalam bercerita.
Sebagai pemilik Padmedia Publisher, Wina yang sejak 1988 telah melahirkan berbagai karya sastra—dan sekaligus adalah penggagas Lomba Cerpen bertema Surabaya dalam Napasku yang menjadi cikal bakal lahirnya buku Kopi Aren di Benteng Kedung Cowek ini—merasa belum pernah menemukan fiksi dengan setting Surabaya kecuali novel karya Lan Fang: Perempuan Kembang Jepun; serta Cerita Kita di Kota Kata sebagai hasil dari Workshop Menulis Cerpen bertajuk “Satus Wong Suroboyo Nulis Cerpen” (2013) bersama Heti Palestina Yunani. Wina menekankan dua hal penting, pertama, ia ingin menjadikan buku ini sebagai kado harlah sekaligus kado peringatan Hari Pahlawan. Kedua, ia juga rindu kembali mencatat sejarah bahwa kota Surabaya sudah diabadikan dalam bentuk sastra.
Sebagai buku yang berisi kisah-kisah arek Suroboyo, Kopi Aren di Benteng Kedung Cowek telah diluncurkan pada Sabtu, 9 Desember 2023 lalu dengan disertai pentas sastra berupa: ludruk, teatrikal cerpen, monolog, dan musikalisasi cerpen. Selain dihadiri oleh para penulis serta para tamu undangan, acara peluncuran buku yang dihelat di Midtown Basuki Rachmad tersebut dimeriahkan oleh Roode Brug Soerabaia, Ludruk Luntas, dan Heru Dharma.
Ada alasan tersendiri tentang mengapa peluncuran buku Wina Bojonegoro sering kali diwarnai oleh pentas sastra. Alasan tersebut kemudian disampaikan oleh Heti Palestina Yunani yang pada perhelatan tersebut didapuk menjadi pemandu acara. “Saya dan Mbak Wina itu penggagas Komunitas Susastra Nusantara (KSN). Buat kami berdua, sastra itu tidak harus dibaca. Dialihwahanakan dari teks ke pertunjukan adalah salah satu cara,” ungkap Heti.
“Sejak dulu kami berdua merancang banyak pertunjukan based on karya sastra menjadi pentas sastra agar tercipta kolaborasi dari musik, teater, tari, seni rupa, dan lainnya. Dengan demikian lebih banyak orang bisa menikmati sastra dan ada lebih banyak lagi susastra yaitu pelaku, pecinta, apresiator sastra. Ekosistem sastra menjadi semakin luas. Kalau cuma disuruh baca-baca tok, ya angel,” imbuhnya.
Apresiasi juga disampaikan oleh penyiar radio senior yang turut menjadi tamu undangan, Iman Dwi Hartanto, “Secara keseluruhan acara peluncuran buku Kopi Aren di Benteng Kedung Cowek merupakan sesuatu pengalaman yang baru buat saya. Ini merupakan sebuah upaya kelompok penulis, terutama Mbak Wina Bojonegoro bersama rekan-rekan penggiat Roode Brug dan juga Ludruk Luntas, untuk memadupadankan warna asli Surabaya dalam sajian yang lengkap khas Suroboyo. Ada ludruknya, ada sejarah pahlawannya.”
“Menurut saya secara pribadi, ini padu padan yang luar biasa dan merupakan pengalaman yang unik karena secara tekstual menyuguhkan kehidupan sisi kelam dan juga sisi keindahan kota Surabaya dengan gedung–gedung pencakar langitnya dan keindahan alamnya. Namun, di sisi lain ada himpitan, jeritan dari warga kampung kumuh yang berhasil dipotret oleh masingm-asing penulis dengan segala macam kisahnya dan juga dengan gayanya masing-masing,” tutur Iman.
Beberapa anggota Perempuan Penulis Padma juga ikut berpartisipasi dalam buku ini. Ada Gania Hariani dengan cerpen pemenang lombanya yang berjudul “Jeratan Mimpi di Tambak Gringsing”, Achakawa dengan cerpennya “Mata Sunyi Benteng Kedung Cowek”, Amara One dengan “Dua Puluh Delapan”, kemudian ada “Jeritan dari Pinggir Kali” karya Rossy Anggraini, dan “Tabebuya” karya Yuliani Kumudaswari. Wina Bojonegoro juga ikut menulis dengan cerpennya yang berjudul “Yang Datang di Ujung Malam”.
Menurut Windy Effendy, yang bertindak sebagai editor dalam buku ini—dan juga adalah anggota Perlima—buku ini memiliki daya tarik tersendiri. Setiap penulis memiliki sudut pandang berbeda-beda, katanya. “Tanpa terduga, mereka bisa mengangkat satu hal yang berlainan, dengan setting yang sama: Surabaya. Itu yang membuat buku ini begitu berwarna. Ada tulisan yang berada di setting Surabaya di masa lalu, ada yang di masa kini. Ini membuat saya belajar banyak tentang Surabaya dari berbagai sudut pandang, tahu lebih banyak tentang Surabaya. Saya ikut berkelana bersama tulisan teman-teman di buku ini,” ungkapnya.
Windy juga mengungkapkan tentang bagian tersulit ketika menjadi editor buku ini. “Kita bicara sejarah, kejadian, situasi, lokasi, yang banyak mewarnai dan menjadi latar cerita di buku ini. Saya harus mengecek satu per satu ketepatan tulisan, waktu, detail, terutama yang berhubungan dengan sejarah. Saya bahkan sampai menghubungi rekan yang bekerja di salah satu dinas Kota Surabaya untuk memastikan beberapa detail.”
“Saya menggali arsip-arsip lama untuk sekadar mengganti nama jalan yang ditulis agar sesuai dengan nama jalan di masa itu. Bahkan memastikan daerah-daerah mana saja yang menjadi tempat pertempuran. Kemudian seperti memastikan situasi daerah di masa kini apakah sudah sesuai dengan yang digambarkan dengan memanfaatkan Google Map. Mau tak mau, proses editing-nya menjadi lebih lama. Saya juga harus meyakinkan penulis bahwa yang saya lakukan itu untuk kebaikan kisahnya,” lanjut Windy.
Selain itu sebagai editor, Windy yang telah mengawal tulisan di banyak buku itu menyampaikan pula bahwa logika yang dimasukkan pada sebuah cerita dalam buku ini harus menjadi sangat benar karena bicara soal fiksi sejarah. “Menentukan lokasi kos-kosan tokoh saja menjadi bahan debat saya dengan Kak Wina Bojonegoro,” katanya sambil tergelak.
Magda Omega, salah satu dari 14 penulis yang lolos kurasi dalam merangkum Surabaya melalui kisah-kisah fiksi yang menarik mengaku masih mengingat betul masa-masa hidupnya di Surabaya walau sekarang sudah tak lagi tinggal di kota yang lain. Ia berkata, “Harapan saya Suroboyo terus berkembang dan maju karena karya-karya penghuninya, tanpa lupa pada sejarah yang sudah membangun fondasi dan dinding-dinding kotanya.” [ed-WE]