Konversi Agama, Pengikut Aliran Sesat
Toleransi masih menjadi masalah di negara Pancasila ini. Sayangnya, sikap intoleran justru ditunjukkan secara akrobatik oleh orang-orang yang dikenal pintar dan cakap dalam berceramah.
DR KH As'ad Said Ali menulis tentang soal aktual, terkait konversi agama yang dilakukan sejumlah tokoh. Berikut catatan semula berjudul "Penista Agama, Mantan Pengikut Aliran Sesat?" -- Redaksi:
Saifudin Ibrahim yang kemudian dituduh sebagai penista agama Islam sebelumnya adalah guru di Ponpes Al-Zaitun yang dipimpin Abi Toto (Panji Gumilang) dan sekaligus pemimpin DI/NII KW IX. Setelah mengikuti ajaran Mohammad Isa Bugis, KW IX tidak diakui bagian dari DI/NII. Organisasi terlarang ini secara diam diam mempunyai bank gelap yang dipergunakan sebagai metode pengumpulan dana anggautanya dengan cara memanipulasi ajaran Islam.
Isa Bugis menafsirkan Al-Quran menyimpang dari kaidah baku dalam ilmu Tafsir. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada era Prof Hamka (almarhum) menetapkan ajaran Isa Bugis sebagai aliran sesat. Menyimak tafsir sejumlah ayat yang ditulis oleh Isa Bugis jelas menunjukkan selain tidak mempunyai kemampuan bahasa Arab dan ia juga tidak menguasai Asbabun Nuzul atau konteks turunnya ayat.
Dengan latar belakang seperti itu maka kita bisa menyimpulkan bahwa Saifudin Ibrahim yang kemudian berpindah agama, tidak mempunyai pemahaman Islam yang benar. Kita tidak tahu 300 ayat Al-Quran mana yang ia maksudkan. Sejauh yang saya tangkap, menurut pendapat yang bersangkutan seolah-olah Islam mengajarkan kekerasan untuk memerangi pengikut agama lain. Padahal jelas bahwa perang dalam Islam dalam konteks defensif, bukan ofensif. Selama Rasulullah Shallahu alaihi wasallam (S.a.w.) hidup tidak ada ofensif terhadap umat lain, semua perang yang terjadi bersifat defensif.
Tak Ada Paksaan dalam Beragama
Bahkan didalam Al-Quran jelas tertulis perintah “tidak ada paksaan dalam agama” (la ikraha fiddiin). Ada juga larangan untuk merusak tempat ibadah umat lain. Toleransi atau tasamuh menjadi bagian vital dari ajaran Islam. Perbedaan ajaran antara satu agama dengan agama lain merupakan keniscayaan yang tidak harus dianggap sebagai “permusuhan“ antaragama. Dakwah atau seruan mengikuti ajaran Islam juga harus disampaikan dengan cara-cara yang baik dan bijaksana serta suri tauladan.
Toleransi sesuai ideologi negara Pancasila yang saya pahami adalah saling hormat dan menghargai antara agama dan keyakinan masing masing. Perbedaan ajaran agama dibahas dalam wilayah private (internal agama). Sedangkan hal-hal lain yang sejalan dan menjadi kepentingan bersama sebagai satu bangsa dibahas secara bebas (wilayah publik).
Dalam hal hubungan antarumat beragama, menurut pendapat saya memang memerlukan aturan aturan atau norma. Salah satu contohnya adalah UU no 1 th 1965 (1969) tentang Penistaan Agama. Hal ini berbeda dengan negara-negara yang mengikuti prinsip Sekularisme yang mentolelir penodaan agama. Sedang untuk hal yang terkait dengan kerukunan antarumat beragama idealnya minimal diperlukan “code of conduct” yang disepakati bersama.
DR KH As'ad Said Ali
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2022-2027, Pengamat Sosial-Politik, tinggal di Jakarta.
Advertisement