Kontroversi Wacana Libur Sekolah Selama Ramadan, Ibu-ibu Keberatan
Wacana libur sekolah selama Ramadan yang disampaikan Menteri Agama (Menang) Nasaruddin mendapat tanggapan yang beragam. Asosiasi Kepala Sekolah, Dudung menyebut, ada pihak setuju agar anak didik yang beragama Islam dapat menjalankan ibadah puasa dengan baik, dan tak banyak mengalami gangguan.
Namun demikian, ada pihak yang tidak setuju kalau alasannya supaya anak didik yang sedang berpuasa tidak menghadapi godaan. Justru sejak kecil anak itu diajari menghadapi godaan apalagi berkaitan dengan ibadah.
"Ada yang mengambil jalan tengah, sekolah libur minggu pertama di awal Ramadan. Setelah itu sekolah seperti biasa, hanya jam belajarnya di perpendek," jelas Dudung dalam keterangannya, Jumat 3 Januari 2025.
Dudung menyampaikan telah menerima masukan dari orang tua anak didik. Mereka minta masa liburnya jangan sampai satu bulan. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat pendidikan anak anaknya dan sulit mengawasinya, apalagi orang tua sedang bekerja.
Ingin Tetap Sekolah
Beberapa anak didik di lingkungan pendidikan Islam malah tidak setuju sekolah libur penuh saat puasa. Libur satu minggu di awal puasa sudah cukup. "Puasa sambil sekolah justru tidak terasa lapar, karena tetap bisa ngobrol dan bercanda dengan teman sekolah," ujar seorang siswi SD Islam Al Azhar Jakarta.
Secara terpisah, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memperhatikan wacana Pemerintah meliburkan sekolah selama Ramadan. Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim menyebut, ada lima faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan Pemerintah dalam menetapkan kebijakan ini.
Pertama, prinsip utama layanan pendidikan dan pemenuhan hak anak dalam pendidikan. Prinsipnya layanan belajar berlaku untuk semua siswa. Jika libur ini berlaku secara nasional, maka berdampak juga pada siswa agama non Islam.
“Harus dikaji secara holistik, jika libur ini hanya mengakomodir siswa beragama Islam, bagaimana siswa non muslim? Jika mereka libur, mereka tidak mendapat layanan pembelajaran. Jika mereka tetap sekolah, ini juga mendiskriminasi layanan belajar siswa muslim yang libur,” ucap Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.
Kedua, para guru sekolah/madrasah swasta khawatir gaji mereka akan berkurang signifikan jika siswa libur sebulan penuh. Karena orang tua pun keberatan membayar iuran SPP karena anaknya libur sekolah.
"Guru-guru swasta di daerah khawatir, kalau liburnya full selama puasa, nanti yayasan akan memotong gajinya signifikan. Padahal kebutuhan belanja saat bulan puasa ditambah Idul Fitri keluarga meningkat," lanjutnya.
Data menunjukkan 95 % madrasah berstatus swasta, dan sebagian madrasah swasta itu dikelola dengan SDM dan anggaran minim. Gaji gurunya pun di bawah satu juta perbulan. Pemerintah mesti memikirkan nasib dan kesejahteraan guru swasta kecil, jika sekolah libur sebulan penuh.
Ketiga, menurut Satriwan, setiap Ramadan jam belajar memang berkurang atau mendapatkan penyesuaian. Jadi sebenarnya bisa tetap masuk sekolah, namun jadwal pembelajaran selama Ramadan dimodifikasi, diatur ulang, lalu dikombinasikan dengan kegiatan sekolah bernuasa pendidikan nilai kerohanian.
“Misal saja, dengan mengurangi jam pelajaran di SMA/MA/SMK dari 45 menjadi 30 sampai 35 menit. Kemudian mengubah jam masuk sekolah lebih siang dan lebih cepat pulang. Atau juga belajar aktif hanya dua minggu pada pertengahan Ramadan. Sisanya sekolah mengadakan program Pesantren Ramadan. Jadi opsinya ada banyak," lanjut Satriawan.
Siswa tetap belajar menuntaskan kurikulum, tapi juga tidak meninggalkan aktivitas spiritual Ramadan. Sekolah membuat program pembelajaran khusus Ramadan. Ini menjadi momentum siswa dan guru meningkatkan literasi, baik literasi agama seperti membaca dan mempelajari kitab suci, sejarah Islam, kajian karakter tokoh, atau literasi umum.
Proses pembelajaran intrakurikuler tetap dibutuhkan meskipun bulan Ramadan. Sebab sekolah dan guru sudah merancang perencanaan pembelajaran di awal tahun ajaran baru. "Jika siswa libur selama puasa, akan berdampak negatif terhadap capaian pembelajaran mereka. Kurikulum dan materi pembelajaran akan banyak tertinggal," Satriawan menjelaskan.
Keempat, lemahnya pemantauan dan pengawasan siswa oleh guru dan orang tua jika sekolah diliburkan. Jika siswa dan guru sepenuhnya libur, fungsi pengawasan dan kontrol belajar di rumah sepenuhnya di orang tua.
“Tapi faktanya orang tua yang bekerja atau punya aktivitas lain, tidak dapat mengawasi dan membimbing anak selama libur. Orang tuanya tidak libur, tetap mencari nafkah di luar rumah," lanjutnya.
Kelima, Pemerintah hendaknya mempertimbangkan dampak negatif libur berkepanjangan. Pertama, akan menambah learning loss. Gap terlalu lama tidak belajar di beberapa negara subtropis yang memiliki musim panas, mereka juga meliburkan siswanya. Namun dibarengi dengan kegiatan perkemahan atau kursus intensif di luar sekolah. Harus ada persiapan ketika bulan Ramadan tidak sekolah.
Kedua, waktu libur di rumah akan terporsir untuk screentime. Adiksi remaja pada gawai telah menjadi masalah global sekarang. Alih-alih mengisi Ramadan di rumah, yang terjadi anak asyik bermain media sosial internet seharian penuh.
"Jangan sampai libur selama Ramadan menjadi ajang anak lama-lama berselancar di dunia maya, mengakses konten negatif kekerasan, game online, bahkan pornografi," ucap Satriwan khawatir.
Pemerintah Belum Bahas
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Medikdasmen) Abdul Mu'ti menegaskan sekolah libur selama bulan puasa, baru sebatas wacana. Belum dibahas oleh pemerintah di tingkat menteri.
"Untuk menentukan libur panjang nasional bagi anak didik di bulan puasa Ramadan harus dibahas lebih dulu di tingkat menteri, kemudian baru dibuat dalam keputusan bersama atas persetujuan presiden," ujar Abd Mu'ti saat dikonfirmasi Ngopibareng.id Kamis 2 Januari 2025.
Advertisement