Kontroversi RUU Penyiaran, Dosen Unmuh Jember: DPR Lebih Sering Bela Kepentingan Penguasa
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jember (Unmuh Jember), Suyono angkat bicara terkait polemik pembahasan RUU Penyiaran. Mantan Ketua PWI Eks Keresidenan Besuki di Jember periode 1999-2001 itu menyinggung peran DPR RI yang cenderung membela kepentingan penguasa.
Menurut Suyono, DPR RI merupakan representasi kedaulatan rakyat, sehingga dalam praktiknya harus menjadi kepanjangan tangan rakyat. Sebagai kepanjangan tangan rakyat, DPR RI semestinya menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Namun, kenyataannya DPR RI sejauh ini banyak berpihak kepada kepentingan pemerintah. DPR RI memiliki kecenderungan melindungi kekuasaan atau keberlangsungan penguasa dan kepentingan kelompok elit lainnya. “Sikap DPR RI yang tidak berpihak kepada rakyat juga tercermin saat menyikapi perkembangan media,” katanya, Rabu, 15 Mei 2024.
Berdasarkan informasi di sejumlah media, dalam perumusan RUU Penyiaran, DPR RI tidak melibatkan pakai media, lembaga media, dan Dewan Pers. Padahal, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020, menyebutkan bahwa penyusunan sebuah regulasi baru harus melibatkan partisipasi publik.
Karena tidak ada partisipasi publik, maka wajar draf revisi RUU Penyiaran yang tengah dibahas Badan Legislatif DPR RI, sempat menimbulkan kontroversi. Ada beberapa pasal yang dinilai kalangan media, berpotensi memberangus Kebebasan Pers, dan tentunya bertentangan dengan semangat yang tercermin dalam UUD 1945.
Bahkan, RUU Penyiaran disinyalir juga tidak merujuk UU No.40/1999 tentang Pers dan juga Kode Etik Wartawan Indonesia, sebagai konsiderans dalam pembahasan RUU Penyiaran tersebut.
Suyono merinci sejumlah pasal yang dianggap krusial, di antaranya Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran yang dianggap bertentangan dengan semangat UU No.40 Tahun 1999, tentang Pers. Karena dalam pasal tersebut berisi larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi. “Pasal ini, tampaknya sebagai reaksi penguasa untuk membatasi aktivitas jurnalisme yang dikembangkan para jurnalis media, melalui siaran podcast dengan memanfaatkan media baru, melalui platform media sosial,” tambahnya.
Padahal sejumlah media di Jakarta dan kota lainnya, telah mengembangkan jurnalisme investigasi sebagai bahan perbincangan dan diskusi publik melalui media sosial. Informasi dan data lengkapnya ditulis dan dipublikasikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik.
Meskipun Suyono mengakui definisi penyiaran masih menjadi perdebatan. Siaran terprogram maupun siaran langsung, yang dipancarkan melalui media sosial, dianggap sebagai produk Webcasting dan bukan produk penyiaran.
Terlepas dari perdebatan itu, jurnalisme investigasi tetap merupakan produk pers, yang harus dijamin kebebasannya. Karena itu, pria yang juga menjadi Praktisi Jurnalistik itu berharap anggota Baleg DPR RI, segera mengundang Dewan Pers, Pakar Jurnalistik/Penyiaran, dan organisasi profesi wartawan, untuk melanjutkan pembahasan draf revisi RUU Penyiaran tersebut.
“Harus ada keterlibatan dari media dan Dewan Pers. Hal itu harus dilakukan untuk meredam gejolak di kalangan awak media, sekaligus mengakhiri polemik terkait kontroversi RUU Penyiaran yang semakin tajam,” pungkasnya.
Advertisement