Kontroversi Perairan Pesisir
Oleh: Oki Lukito
Setidaknya ada tiga hal penting yang patut dicermati pasca revisi Peraturan Daerah (Perda) Jawa Timur No 1 tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (RZWP3K) serta disahkannya Undang Undang (UU) Cipta Kerja beserta turunannya, Perpres, Kepres, Permen khususnya di sektor Kelautan dan Perikanan. Keputusan Pemerintah mengenai Tata Ruang Laut yang kemudian melahirkan Materi Teknis Perairan Pesisir (Matek PP) dan akan diintegrasikan dengan Tata Ruang Darat menjadi Perda Tata Ruang Provinsi ditengarai menimbulkan banyak masalah.
Matek PP Jawa Timur yang telah disetujui Menteri Kelautan dan Perikanan (Men KP) tertanggal 31 Oktober 2022 dituangkan dalam surat B.1012/MEN-KP/X/2022 diprediksi berdampak signifikan terhadap kerusakan lingkungan pesisir dan laut. Bukan hanya itu hak hak masyarakat pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan semakin terpuruk kehidupannya. Walaupun sudah ada peraturan perundangan yang menjamin perlindungan dan pemberdayaan nelayan dan petambak garam, nasib nelayan dan warga pesisir diabaikan.
Contoh paling jelas terkait hal itu adalah intervensi pemerintah pusat untuk mendorong investasi di pesisir, laut dan pulau kecil menggunakan dalil Kawasan Strategis Nasional (KSN). Di Jawa Timur tercatat empat proyek KSN yang diusung dokumen Matek PP, Kilang Minyak di Tuban, Pelabuhan Maspion-UEA di Gresik, Pelabuhan Ikan Brondong dan peluasan Bandara International Juanda.
Selain Dalil KSN “senjata” lainnya yang digunakan untuk intervensi yaitu Peraturan Presiden No 66 tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Kawasan Perkotaan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan serta Peraturan Presiden No 43 tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 6 tahun 2021 tentang Tata cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Kehadiran kilang minyak Pertamina kerjasama dengan Rosneft, perusahaan minyak dan gas asal Rusia berada di Kecamatan Jenu, Tuban, dipersoalkan karena akan membatasi ruang gerak nelayan termasuk pula berpotensi mengganggu fishing ground nelayan Tuban. Pertamina-Rosneft akan membangun sejumlah fasilitas di pesisir dan laut, antara lain reklamasi, break water, pembuatan dermaga, pembangunan dua unit penahan lumpur, pemasangan pipa bawah laut yang lokasinya berada di jalur perlintasan 627 unit kapal ikan yang menjadi sarana bagi 5.422 nelayan melaut.
Armada ikan sebanyak itu yang umumnya berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Bulu, Kecamatan Bancar lokasinya tidak terlalu jauh dengan proyek refinery Pertamina-Rosneft. Hal tersebut tidak sesuai dengan semangat Undang Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Proyek KSN lainnya adalah pelabuhan Maspion yang menggandeng Dubai Port World (DPW), salah satu operator pelabuhan global terkemuka yang akan membangun pelabuhan kontainer besar di Gresik. Sebelumnya operator pelabuhan milik Uni Emirat Arab (UEA) ini bekerjasama dengan Pelindo III Surabaya menangani Terminal Peti Kemas Surabaya (TPS) yang berakhir konsensinya bulan April 2019.
Proses izinnya tergolong lancar walaupun yang bersangkutan harus memindahkan pipa bawah laut milik pertamina. Pelabuhan Maspion lama telah memiliki Izin Pemanfaatan Ruang (IPR) sebelum ada izin lokasi dan sebelum adanya Perda 1 tahun 2018. Sedangkan yang diusulkan Maspion melalui Online Singgle Submission (OSS), perizinan berusaha berbasis resiko yaitu rencana pengembangan pelabuhan dan salah satu pertimbangannya Peraturan Presiden No 43 tahun 2021.
Demikian halnya dalam proses perizinan Persetujuan Kesesuian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) sebagai izin prinsip atau izin awal yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk dua proyek KSN lainnya yaitu perluasan Bandara Juanda, Sidoarjo dan Pelabuhan Brondong, Lamongan tergolong lancar. Artinya, keduanya sudah mengantongi izin PKKPRL dalam waktu relatif singkat.
Implementasi dari UU Cipta Kerja diprediksi akan berdampak negatif pula di sektor lingkungan hidup. Daerah Bangkalan, Gresik dan Lamongan yang merupakan bagian dari Gerbang Kertosusilo harus merelakan sebagian besar ruang terbuka hijaunya di pesisir untuk dijadikan kawasan industri. Pemerintah dalam upaya menggencarkan masuknya investasi di kawasan ini menggunakan Perpres No 66 tahun 2022. Sisi Barat Bangkalan misalnya yang semula kawasan konservasi mangrove diubah menjadi kawasan industri maritim. Hal yang sama diadopsi pula di pesisir Gresik dan Lamongan yang diindikasikan akan mengorbankan ribuan hektar hutan mangrove.
Di Selatan Jawa Timur permasalahan yang perlu dicermati adalah dizinkannya penempatan limbah tailing atau limbah tambang di bawah laut, tepatnya di Samudra Hindia, dan akan dijadikan lalu lintas kegiatan pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, pembuangan, dan penimbunan limbah B3 dan Non B3. Lokasi sekitarnya merupakan kawasan pelagis maupun kawasan konservasi maritim. Dalam dokumen Matek PP 2022 disebutkan, kawasan selatan Banyuwangi merupakan alur migrasi ikan pelagis, kawasan konsevasi maritim serta ruaya penyu yang akan bertelur di Taman Nasional Meru Betiri resor Sukamade. Di kawasan tersebut juga bermukim 2.500 nelayan, tepatnya di Dusun Pancer, Desa Sumberagung yang mengais ikan di Samudra Hindia.
Di dalam dokumen Matek PP disebutkan pengusulnya adalah PT. Bumi Sukses Indo (BSI) yang saat ini mengelola tambang emas Tujuh Bukit di Desa Sumberagung, Kecamatan Pasanggaran, Banyuwangi. Anak perusahaan Merdeka Copper Gold tersebut beragumen Deep See Tailing Placement (DSTP) dimungkinkan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang mengatur bahwa kegiatan dumping (pembuangan) limbah ke laut diperbolehkan selama berdasarkan kajian resiko tidak menimbulkan dampak.
Usulan tersebut diizinkan oleh Pemprov Jatim dengan beberapa catatan, salah satu diantaranya DSTP harus berada di atas 12 mil laut. Perlu menjadi catatan, klaim BSI selama ini mengolah tambang emas Tumpang Pitu menerapkan teknologi ramah lingkungan, proses pelarutan biji emas tidak menggunakan merkuri tetapi menggunakan Sianida.
Jika limbah pengolahan tambang emas Tumpang Pitu diklaim ramah lingkungan, sejatinya limbah tidak perlu dibuang ke laut pada kedalaman tertentu. Dikutip dari dokemen Matek PP sebelum mendapat persetujuan Menteri KP, ada dua opsi BSI tentang rencana DSTP yang diusulkan, berlainan kedalaman dan luasan bungker untuk penampung limbah B3 di Samudera Hindia.
* Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan, Anggota Dewan Pakar PWI Jawa Timur.
Advertisement