Kontroversi Dwi Kewarganegaraan, Inilah Solusinya
ARTIKEL saya berjudul “Menyikapi Wacana Dwi Kewarganegaraan?” mendapat banyak tanggapan. Secara khusus, saya banyak mendapat masukan dan komentar dari kalangan Dubes, melalui group WA khusus kami.
Masukan dan komentar dari para dubes —praktisi yang berada di garis depan diplomasi dan hubungan luar negeri—perlu pula mendapat pertimbangan Pemerintah maupun DPR, dalam menyikap apakah UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan apakah perlu diamandemen atau tidak. Kesimpulan kami: terlalu banyak ranjau-ranjau berbahaya dalam ‘pandora box’ yang jika dibuka akan mengganggu stabilitas dan membahayakan kepentingan Indonesia ke depan apabila amandemen UU tersebut diwujudkan. Mari kita teliti.
Pada dasarnya, saya berkeberatan amandemen UU No. 12/2006 karena UU kita ini tergolong paling progresif di dunia dan telah mengakomodir hak asasi manusia. UU ini masih memadai untuk kepentingan nasional, bahkan 50 tahun ke depan, kata saya dalam artikel lalu.
Inti utama dalam usulan amandemen UU No. 12/2006 ini adalah mengubah asas tunggal kewarganegaraan dari ‘ius sanguinis’ (berdasarkan darah) —untuk mengakomodir asas ‘ius soli’ (berdasarkan tempat kelahiran), seperti tuntutan diaspora Indonesia di Amerika, ke arah pemberlakukan asas ganda kewarganegaraan. Gagasan kewarganegaraan ganda berarti pemberlakuannya untuk negara ‘ius sanguinis’, contohnya RRT maupun negara ‘ius soli’ seperti Amerika.
Tuntutan untuk kewarganegaraan ganda ini mencuat kembali dalam Kongres Global Diaspora di awal Juli 2017 lalu. Kongres yang digagas oleh mantan Wakil Menlu Dr. Dino Patti Djalal ini menjadi ‘high profile’ karena dihadiri oleh mantan presiden Amerika Serikat, Barack Hussein Obama. ‘Si Anak Menteng’ ini mungkin menjadi contoh diaspora —berayah tiri WNI, Soetoro—yang paling sukses dan fenomenal.
Meski di awal, saya melihat sisi positif sekiranya diaspora kita di Amerika diperbolehkan memiliki dwi-kewarganegaraan, maka akan memfasilitasi WNI dalam mengembangkan usaha, pendidikan anak-anak, maupun perjalanan bisnis internasional. Tetapi ternyata masalahnya tidak sesederhana itu. Ini bisa ‘entry point’ untuk membuka ‘Pandora Box’.
Sebenarnya UU No. 12/2006 sudah maju, dengan memberikan toleransi ‘dwi kewarganegaraan’ bagi anak-anak Indonesia yang lahir di negeri ius soli’ sampai batas usia 18 tahun. Dalam keadaan khusus —ketika masih mengikuti pendidikan di luar negeri—toleransi masih diperpanjang sampai 21 tahun.
Masalah pertama adalah ketika anak-anak WNI lahir di negeri asas ‘ius soli’ otomatis diberikan kewarganegaraan, seperti di Amerika. Apabila perubahan disetujui, kita harus mempertimbangkan sekiranya WNI keturunan yang tinggal di Indonesia akan menuntut hak mereka untuk memperoleh kewarganegaraan kedua berdasarkan asas ‘equal treatment’? RRT mengakui kewarganegaraan ganda yang juga menganut asas ‘ius sanguinis’. Indonesia pada dasarnya sejak dulu kala sampai kini menganut asas ‘ius sanguinis’, berdasarkan darah, seperti UU Tiongkok. Bedanya, Tiongkok mengakui kewarganegaraan ganda Indonesia tidak.
Dwi kewarganegaraan pada dasarnya dilarang oleh UU No. 12/2006. Amandemen UU dengan pemberlakuan asas dwi-kewarganegaraan akan memberi hak bagi kawula negeri diaspora WNI di luar negeri untuk memperoleh warganegara kedua di mana anak-anak mereka lahir. Para Dubes khawatir, ada ‘muatan’ dalam usulan ini untuk kepentingan lebih strategis yang menjadi kepentingan negeri luar dalam mengakomodir WNI keturunan yang bermukim di Indonesia.
Di artikel itu saya memang membuka opsi untuk memungkinkan pengakuan asas kewarganegaraan ganda, sekiranya ‘tekanan’ itu begitu dahsyat sehingga menyulitkan pemerintah maupun DPR menghindarinya, walaupun secara teoritis ‘tekanan luar’ tidak diterima karena kita negara berdaulat. “Dalam praktik bisa lain, dan jangan di-entertained,” kata para Dubes.
Di artikel pertama saya mencoba menawarkan alternatif berupa dwi-kewarganegaraan secara selektif, tetapi dengan ketat mempertimbangkan sepenuhnya kepentingan keamanan nasional. Pemberlakuan selektif ini hanya bertujuan memberi manfaat bagi diaspora WNI sendiri, bukan terjebak dalam kepentingan negara lain. Pemikiran ini juga ditolak oleh para Dubes.
Menurut hemat saya, pemberlakukan asas kewarganegaraan secara selektif —tidak berlaku universal—maka kita tak perlu mengamandemen UU No. 12/2006. Caranya adalah melalui pembuatan perjanjian bilateral, misalnya dengan pemerintah Amerika Serikat karena konsentrasi WNI yang besar di sana. Perjanjian bilateral ini akan menjadi dasar hukum penyimpangan dari hukum nasional, atau menjadi lex specialis terhadap UU No. 12/2006. Ini tidak bertentangan dengan hukum ketatanegaraan.
Poin saya di artikel sebelumnya, pengakuan terbatas kewarganegaraan ganda secara selektif, misalnya dengan Amerika Serikat bisa dipertimbangkan karena sama-sama dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta aman secara ideologis, politis, maupun secara ekonomi dan sosial. Berbeda halnya dengan negara-negara yang secara ideologis, politis, dan catatan sejarah yang bermasalah di masa lampau. Ini membahayakan keamanan negara dan perlindungan kepada rakyat. Ke depan, bahaya narkoba, senjata, perdagangan manusia, termasuk terorisme, dan kejahatan ekonomi akan semakin marak. RRT kini menjadi negeri sumber narkoba dan berbagai barang terlarang lainnya. Argumen saya ‘tidak terbang’. Kenapa?
Para Dubes berkeberatan karena pertama, pemberlakuan kewarganegaraan ganda yang universal –alasan selektif ditolak karena ‘diskriminatif—bukanlah persoalan enteng karena memerlukan dukungan SDM dan sistem administrasi negara yang kokoh, tidak tertembus oleh kecurangan maupun ‘abuse of power’ demi beberapa lembar dolar maupun potensi ancaman keamanannya. Dalam kondisi negara yang begitu terkontaminasi dengan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan para dubes tidak yakin terhadap gagasan saya.
Saya menggarisbawahi kini kepentingan keamanan telah menyebabkan kecenderungan dunia mulai bergeser. Belanda dan Prancis yang menganut ius solli kini sedang mempertimbangkan kembali asas ius sanguinis, yaitu kewarganegaraan berdasarkan pertalian darah langsung, salah satu dari ayah atau ibu atau dari keduanya. Ketika tekanan demografis dengan banjirnya imigran Muslim ke Eropa mungkin muncul sikap paranoia bahwa suatu ketika negeri-negeri itu akan memiliki mayoritas penduduk Muslim, baik karena konversi maupun karena emigrasi.
Aspek Politik dan Hubungan Internasional
Ketika menyentuh aspek politik dan hubungan internasional saya dan para Dubes sepakat agar kita berhati-hati. Banyak ‘ranjau’ berbahaya di sini. Ada bahaya yang perlu kita cermati sebelum menyetujui amandemen UU No. 12/2006 untuk pemberlakuan kewarganegaraan ganda.
Pertama, UU kewarganegaraan adalah salah satu hukum yang sangat politis. Negara memilih satu atau kedua asas adalah pilihan politik. Karena itu, dalam menentukan apakah kita akan memberlakukan atau tidak asas dua kewarganegaraan harus melalui pertimbangan sendiri secara holitik yang masak: politis, ideologis, ekonomi, sosial-budaya, dan keamanan negara.
Kedua, kita memiliki pertimbangan berdaulat dan demi kepentingan nasional yang tidak boleh karena didikte pihak asing. Jika akhirnya opsi pemberlakuan selektif diputuskan, kita berdaulat memilih dengan negara mana kita akan tandatangani perjanjian bilateral, yaitu di negara-negara di mana konsentrasi diaspora kita relatif besar namun dengan pengamanan ketat.
Langkah ketiga, kita meneliti semua aspek secara holistik —sebelum secara selektif mengadakan negosiasi bilateral terhadap negara-negara tertentu— yaitu berkaitan dengan potensi ancaman keamanan dan kejahatan internasional.
Tentu saja, negara-negara yang memiliki sistem politik dan ideologi berbeda dengan ideologi Pancasila, atau bertentangan dengan sistem demokrasi dan hak asasi manusia —seperti RRT—tidak masuk dalam kualifikasi ini.
“Kriteria ini juga berlaku bagi negeri-negeri yang berbahaya di bidang kejahatan internasional terorganisir, seperti narkotik atau terorisme atau kegiatan subversive ideologis lainnya,” tegasku di suatu seminar. Belakangan, narkoba yang masuk ke Indonesia terbesar berasal dari RRT.
Reaksi Para Dubes
Beberapa tawaran-ganti kebijakan dari saya ditentang habis-habisan. Ini cuplikan dialog kami.
Pertama, kita tidak mungkin membuat UU yang diskriminatif. Pemberlakuan dengan Amerika akan menjadi dasar untuk pemberlakuan kepada RRT.
Kekhawatiran masyarakat apabila asas dua kewarganegaraan juga diberlakukan untuk keturunan Tionghoa akan menimbulkan loyalitas ganda yang lebih kepada negeri asal mereka. Ini dulu yang menjadi concern Bung Karno. Untuk ‘nation-bulding’ loyalitas penduduk keturunan asing kepada Indonesia merdeka itu mutlak. Karena itu Bung Karno membuat perjanjian dwi-kewarganegaraan dengan RRT tahun 1955 yang justru untuk memaksa warga Tionghoa yang tinggal di Indonesia untuk memilih salah satu kewarganegaraan: Indonesia atau RRT, sebelum memberlakukan UU Kewarganegaraa 62/1958. Yang bingung menjadi stateless, yaitu penduduk Tionghoa yang umumnya pendukung Taiwan.
Alasan kedua, dalam konteks RRT sekarang, WNI sekaligus berkewarganegaraan Tiongkok malah membuka peluang ‘kontrol’ legal dan politis pemerintah RRT kepada WNI keturunan. UUD China menjamin bahwa hak-kewarganegaraan RRT berlaku otomotis kepada siapa saja yang memiliki darah keturunan dengan China. Tidak saja ‘kontrol’, terlebih adalah perlindungan politis bahkan fisik.
“Dengan jutaan kilometer garis pantai, negeri kita sangat rentan dimasuki orang-orang jahat. Ini juga menyangkut fungsi keimigrasian yang berat di tanah air. Dengan kondisi sekarang saja sudah berat penegakan hukum di wilayah kita,” kata seorang Dubes. Negeri ini rawan dengan penyelundupan dan kegiatan trans-organized crimes, dan upaya penegakan hukum belum berhasil.
Saya mengakui, pemberlakuan asas dwi-kewarganegaraan yang universal akan menyulitkan fungsi pengawasan dari penegak hukum: siapa WNI dan siapa pula yang memiliki kewarganegaraan asing. Karena itu, perbaikan administrasi negeri ini mutlak perlu. Tanpa dukungan sistem administrasi yang aman, negara ini akan menuju kehancuran.
Kami memulai diskusi dengan topik: loyalitas kepada NKRI. Dubes August Parengkuan, Pemred Kompas yang juga mantan Dubes untuk Italia, menggarisbawahi pentingnya loyalitas kepada ‘Merah Putih’. “Dwikewarganegaraan artinya dwi-loyalitas kenegaraan. Artinya, loyalitas tidak hanya pada ‘Merah Putih” tetapi juga kepada negara lain. Hal ini akan melukai perasaan the founding fathers. Dubes Parengkuan memilih asas monoliyalitas. Pilih ‘Merah Putih’ atau silahkan pilih negara lain.
Dubes August bercerita kedua puteranya yang tinggal dan bekerja di Amerika tetap merasa bangga menjadi WNI. Mereka merasa tidak perlu mengganti kewarganegaraan menjadi ‘orang Amerika’.
"Buat apa menjadi warga negara AS? Kami sudah punya Green Card alias ‘status permanent resident’, yang memberikan kedudukan sama dengan orang Amerika. Yang membedakan, hanyalah pemegang Green Card tidak boleh memasuki dinas militer, tidak boleh masuk bidang politik untuk dipilih atau memilih. Selain itu semua sama.”
Dubes Anshori Tajuddin yang pernah bertugas di Afghanistan dan beberapa Dubes lainnya mendukung pendapat Dubes August. “Seharusnya jika mengaku sebagai putera Indonesia maka semua warganegara sebagai anak-bangsa harus membela merah putih sampai mati,” tegasnya.
Pendapat ini juga mendapat dukungan dari Dubes RI untuk Italia yang baru saja mulai bertugas, Esti Andayani, menggantikan posisi Dubes August.
Dubes Budiman Bahar yang pernah bertugas di Turki menyatakan banyak cara bagi diaspora kita kalau berniat membantu Indonesia dengan investasi.
“Saya setuju jika pemerintah memberikan kemudahan perijinan, termasuk ijin keimigrasian. Saya tidak setuju dengan kewarganegaraan ganda. Bagaimana mungkin loyal kalau mereka misalnya ikut wajib militer di negara lain, bersumpah membela negara tersebut, bayar pajak di sana dan tentunya tidak mau bayar pajak di sini.”
Menurutnya, itu pilihan hidup dengan segala risikonya. “Kalau mau jadi WNA tentu ada konsekwensinya,” demikian Dubes Budiman Bahar.
Topik diskusi kami menyinggung tentang usulan amandemen UU No. 12/2006. Pemberlakuan asas kewarganegaraan ganda yang selektif di negara-negara tertentu ditolak. Dubes Agus Parengkuan dan Dubes lainnya meragukan kemampuan kita untuk konsisten dengan prinsip ‘selective’. Bahkan, ini akan membuka ‘Pandora Box’ untuk masuknya ‘penumpang gelap’.
Dubes Soemadi DM Brotodiningrat yang pernah menjadi kepala perwakilan R.I. di PTRI Jenewa, KBRI Washington DC dan dan KBRI Tokyo berpendapat: “Apakah mungkin UU Kewarganegaraan diterapkan secara selektif? Kalau ya, kriteria seleksinya bagaimana?”
“Ada perbedaan. Jika Amerika Serikat mengakui dwi-kewarganegaraan, India tidak. Harus diingat, prinsip dasar setiap UU itu non-diskriminatif. Karena prinsip inilah maka prakarsa dwikewarganegaraan secara selektif tidak mungkin dan perlu dikaji ulang sebelum kita melangkah,” kata Dubes senior saya ini.
Dubes August menegaskan UU ini tak perlu diamandemen. Asas monoloyalitas ini sudah final. Ingat lagu ‘Satu Nusa, Satu Bangsa’. Ingat ‘Sumpah Pemuda’: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: INDONESIA!”
Menurutnya, kita hanya akan berkhianat kepada para pejuang kemerdekaan RI yang telah mengorbankan jiwa dan raganya. Mengutip Bung Karno, Dubes August menegaskan "Hanya bangsa yang menghargai jasa- jasa pahlawannya bisa menjadi bangsa yang besar"
Dubes Soemadi setuju dengan semangat Dubes August, seraya menyampaikan observasinya bahwa masalah dwi kewarganegaraan ini kian marak dengan gencarnya pernikahan antar-bangsa oleh WNI. Ada desakan untuk kewarganegaraan ganda, demi memikirkan nasib keturunan perkawinan campuran ini.
Diakui oleh Dubes August, perkawinan campuran merupakan pilihan seorang WNI dengan berbagai konsekuensinya. “Sampai usia 18 tahun, oke lah. Setuju, sesudah itu harus milih . Tetapi tidak untuk dwi-kewarganegaraan”, tegasnya.
Penolakan terhadap amandemen demi mengakomodir tuntutan untuk kewarganegaraan ganda ini didukung oleh Dubes Esti, mantan Dirjen di Kemlu yang baru bertugas di KBRI Roma menggantikan Dubes August. Dubes Esti menegaskan UU sekarang sudah tepat yang mengatur bahwa sampai usia 18 tahun menjadi batas dwi-kewarganegaraan dan setelah itu mereka wajib memilih mau menjadi warganegara mana.
Saya menambahkan bahwa kelonggaran untuk memilih kewarganegaraan itu malah dimungkinkan sampai usia 21 tahun, sesuai UU 12/2006. UU ini memberi kelonggaran itu untuk memfasilitasi anak WNI menyelesaikan kuliah pada tingkat S-1, yakni sampai berusia 21 tahun.
Saya menginformasikan masukan dari kawan-kawan di Amerika yang membaca artikel saya. Diaspora WNI yang sering perjalanan internasional berpendapat dengan memiliki paspor Amerika (dan saat bersamaan juga paspor Indonesia) mereka bebas pergi ke hampir semua negara yang memberikan fasilitas bebas visa bagi pemegang paspor Amerika. Menurut mereka, banyak anak-anak Indonesia di Amerika yang enggan melepas WN Amerika ketika telah mencapai usia 18 tahun.
Diskusi kami bergeser ke arah persepsi publik apakah WNI yang memiliki kewarganegaraan ganda atau malah terpaksa meninggalkan WNI-nya adalah ‘penghianat’ terhadap bangsa dan negara.
“Saya tidak akan menganggap WNI yang pindah kewarganegaraan sebagai penghianat. Sama sekali tidak. Saya sependapat bahwa mereka yg pindah kewarganegaraan tetap bisa bantu, setidak- tidaknya sebagai lobbyist untuk kepentingan RI atau utk kepentingan RI dan negara yg memberi kewarganegaraan kepada mantan WNI.”
Dari topik membicarakan diaspora WNI di luar negeri diskusi menukik ke arah persoalan di dalam negeri. Dubes Soemadi mengajak diskusi bagaimana reaksi kita berkaitan dengan sekiranya WNI keturunan asing di Indonesia memperoleh dwikewarganegaraan dan diizinkan oleh negara leluhurnya.
“Gagasan amandemen UU ini berbahaya. Meskipun kita berpendapat secara ipoleksosbudkam RRT tidak qualified, karena secara ideologi (komunis), sistem politiknya tidak demokratis, dan bahaya secara politis karena RRT akan mengontrol dan memberikan perlindungan politis maupun fisik bagi orang-orang berkewarganegaraan RRT, termasuk di Indonesia. Bahkan, RRT pernah mengancam akan kirim kapal perang jika peristiwa 1998 berulang, untuk melindungi etnis China di Indonesia”, kata saya.
Beberapa dubes menawarkan jalan ke luar dari ‘best pratices’ oleh negara-negara lain. Dikatakan, mungkin kebijakan India cocok bagi Indonesia, seperti usul Dubes Soemadi.
“Di negeri ini pemerintah membebaskan diasporanya untuk memilih kewarganegaraan yang sesuai bagi kepentingan dan kondisi mereka. Pemerintah India tidak mempersepsikan warganegara yang berpindah kewarganegaraan mereka sebagai pengkhianat. Justru pemerintah merangkul para diaspora, dan menjadikan mereka sebagai ‘aset’ termasuk menjadi ‘lobbyist’. Hukum India juga tidak mengenal asas dwi-kewarganegaraan. Karena itu diaspora secara definisi hukum adalah ‘orang asing’. Namun, karena kedudukan mereka sebagai berdarah India, para diaspora yang telah memilih kewarganegaraan asing itu diberikan fasilitas ‘kartu khusus’ , yang membebaskan mereka untuk keluar masuk bahkan tinggal di India. Kepada investor keturunan India ini juga diberikan ‘national treatment’ yang luas, khususnya jika berkaitan dengan memperkuat ‘afinitas budaya’ mereka,” kata Dubes Soemadi.
Untuk kondisi Indonesia, para dubes sepakat untuk mencontoh model India ini dalam konteks bagaimana menyikapi tuntutan para diaspora kita.
Dubes Soedaryomo, mantan Kepala Perwakilan RI di Brazil menyatakan telah menyanpaikan pesan kepada Presiden diaspora Indonesia yg baru, Gerald Eman, yang juga menjadi ketua umum kerukunan masyarakat Indonesia di Myanmar (KIM) agar para diaspora memfokuskandiri pada program-program sosial ekonomi yg nyata.
Dubes Sudaryomo menginfokan bahwa pihaknya kini sedang menyusun buku “Masyarakat” Indonesia di Luar Negeri”, dan kebijakan India ini menjadi salah satu usulan yang layak dipertimbangkan, katanya.
“Mungkin kita perlu mempertimbangkan pembentukan Ministry for Diaspora Affairs di Indonesia”, katanya. Gagasan ini didukung oleh Dubes Budiman Bahar.
“Seperti telah disampaikan oleh Pak Soemadi, pada dasarnya mereka yang sudah memiliki kewarganegaraan lain diberikan kartu Overseas Citizenship of India (OCI). India tidak menganut dwi-kewarganegaran dan mereka tidak bisa dipilih dalam jabatan Konstitusi. Mereka juga tidak bisa memiliki property meskipun bisa mendapat warisan property. Secara khusus, India memiliki pejabat setingkat menteri untuk urusan diaspora,” tegas Dubes Budiman.
Tentu saja, beberapa teman saya di Facebook yang telah membaca artikel di website saya turut memberikan komentar umum. Misalnya, Shohibul Anshor Siregar melihat kecenderungan bahwa dunia telah berubah bahwa rasa kebangsaan menjadi relatif dan menguatnya nilai-nilai universal. Kurang lebih pendapat Syahrun Pohan yang khawatir bahwa dengan mengizinkan dwikewarganegaraan maka negeri ini akan menjadi tempat bagi orang-orang beriktikad buruk untuk ‘mencari harta rompakan’.
Di pihak pengajar, dosen di Padang Mariani Stb. Tanjung berterima kasih atas wacana berkembang yang membantunya dalam menyiapkan bahan kuliah.
Apa kesimpulan diskusi menarik ini?
Pertama, UU No. 12/2006 tidak perlu diubah, in principle, berarti agar RI tetap berpegang pada asas tunggal ‘ius sanguinis’ dan tidak perlu menganut asas ‘kewarganegaran ganda’. UU 12/2006 sudah cukup baik memfasilitasi kewarganegaraan ganda sampai usia 18 tahun atau secara case by case karena studi sampai 21 tahun. Meskipun terpaksa meninggalkan WNI, diaspora Indonesia tetap akan bisa berkontribusi kepada bangsanya.
Kedua, usul untuk pembuatan persetujuan bilateral tentang dwi-kewarganegaraan secara selektif dengan negara-negara yang aman secara ipoleksosbudkam berpotensi masalah, dan akan menimbulkan komplikasi. Sulit untuk menetapkan kualifikasi ‘selektif’ atau tidak dan kebijakan ini berpotensi discriminatory yang akan menyulitkan Indonesia. Di sisi lain, pemberlakuan asas dwi-kewarganegaraan yang ‘universal’ akan menyulitkan fungsi pengawasan dari penegak hukum: siapa WNI dan siapa pula yang memiliki kewarganegaraan asing.
Ketiga, pemberlakuan asas kewarganegaraan ganda menimbulkan masalah ketika WNI keturunan yang berdiam di Indonesia dan diberikan kewarganegaraan dari negeri asal mereka. Dalam konteks WNI keturunan RRC yang menjadi diaspora terbesar di Indonesia dengan jumlah antara 5-7 juta orang akan menyulitkan pemerintah dalam pengawasan kependudukan, di dalam negeri akan berdampak legal, sosial politis. Kepemilikan kewarganegaraan ganda bagi WNI keturunan RRT akan berdampak pada loyalitas ganda di satu pihak dan di pihak lain akan memberikan hak sah bagi negara asal untuk mencampuri kebijakan negara Indonesia.
Keempat, Indonesia bisa mempertimbangkan model kebijakan India tentang diaspora. Indonesia bisa memberikan ‘special treatment’ kepada diaspora mantan WNI untuk keluar masuk Indonesia dan tetap berkontribusi secara positif untuk Indonesia, terutama di bidang ekonomi, sosial budaya, dan peningkatan SDM. Praktik India dalam pemberian kartu ‘Overseas Citizenship of India (OCI)’, dipandang positif. Kepada investor diaspora Indonesia juga dapat diberikan ‘national treatment’ yang luas. Khusus untuk penanganan diaspora, India membentuk ‘Ministry for Diaspora Affairs’, yang mungkin perlu dipertimbangkan Indonesia ke depan.
Semoga bermanfaat.
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.
Advertisement