Kontribusi Islam untuk Sains pada Kondisi Suram, Ini Faktanya
Islam mundur disebabkan pemikiran Imam Al-Ghazali yang sempat berpolemik seru dengan Ibnu Rusyd. Benarkah demikian?
Di kalangan pesantren di Indonesia, Imam Al Ghazali merupakan tokoh penting dalam bidang tasawuf. Kitab yang menjadi petunjuk capaian intelektual dan pemikiran kegamaannya, termuat dalam Kitab Ihya Ulumuddin.
Kitab yang kerap dikaji Ulil Abshar Abdalla melalu Ngaji Online, sejak sebelum masa pandemi Covid-19, menunjukkan kepiawaian Hujjatul Islam mengatasi masalah-masalah keumatan pada zamannya. Ia tetap aktual hingga kini.
Tokoh Menentukan Jalan Sejarah Islam
Sejarawan Philip K. Hitti menggolongkan Al Ghazali sebagai salah seorang yang paling menentukan jalannya sejarah Islam. Bahkan, dalam bidang pemikiran dan peletakkan dasar ajaran-ajaran Islam, Hujjatul Islam ditempatkan di urutan kedua setelah Rasulullah.
Pengaruhnya yang begitu luas hingga tidak sedikit peneliti yang menilai bahwa runtuhnya tradisi rasional di dunia Islam lantaran kritikan keras Al Ghazali terhadap filsafat.
Kerancuan Para Filosof
Anggapan ini muncul lantaran pria yang lahir di Thus, Khurasan pada tahun 1058 ini menulis kitab polemis dengan judul yang tidak tanggung-tanggung: Tahafut Al-Falasifah atau Kerancuan Para Filsuf. Karya kontroversial ini terdiri dari 20 bab yang isinya mengkritik pemikiran Ibnu Sina dan Al Farabi. Kritikannya terhadap para filsuf ini dinilai sebagai titik awal kemunduran tradisi ilmiah dan pemikiran rasional di dunia Islam. Tidak lama setelah terbitnya buku ini, konon pada waktu itu para ulama kemudian berlomba-lomba mengeluarkan fatwa haram mempelajari filsafat.
Beberapa tahun setelah Al Ghazali wafat, filsuf asal Andalusia Ibnu Rusyd dengan gemas membantah balik kritikan Al Ghazali melalui karyanya yang tidak kalah kontroversial: Tahafut al Tahafut atau Kerancuan atas Kerancuan.
Kitab yang bergaya polemis ini menyerang al-Ghazali dan juga Ibn Sina karena keduanya dinilai telah salah dalam memahami pemikiran Aristoteles. Karenanya bagi orang Eropa, kitab Tahafut al Tahafut ini adalah panduan praktis dalam memahami doktrin Aristoteles, khususnya soal-soal metafisika.
Saat ini, kontribusi dunia Muslim kontemporer untuk sains berada dalam kondisi yang suram. Sebaliknya, orang-orang Barat menjadi mercusuar inovasi dan teknologi. Banyak pihak yang menuding bahwa dunia Islam mundur karena mengikuti pola pikir Al Ghazali, dan dunia Barat maju karena mengikuti pemikiran Ibnu Rusyd. Pertanyaannya, benarkah demikian?
Menurut Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat Muhamad Rofiq Muzakkir, anggapan bahwa Islam mundur karena Al Ghazali dan Barat maju karena Ibnu Rusdy merupakan pernyataan yang bias. Adagium yang simplistis dan terburu-buru tersebut lahir dari orang-orang Barat sebagai basis legitimasi untuk menunjukkan superioritas mereka di hadapan dunia Timur khususnya Islam.
“Kenapa Ibnu Rusyd ditempatkan lebih tinggi dari Al Ghazali karena ada Barat-sentris. Ibnu Rusyd itu tinggal di Barat, mensyarah kitab Aristoteles, mempengaruhi tokoh-tokoh Barat, cara berpikirnya menggunakan filsafat. Sementara lebih banyak pada kalam atau teologi dan tasawuf. Hemat saya ini pernyataan yang terburu-buru,” tegas Rofiq.
Menurut Rofiq, banyak bukti-bukti yang menunjukan bahwa sains dan filsafat tidak mati setelah Al Ghazali wafat, yang ada justru lebih meriah. Buktinya sains dalam Islam, khususnya Astronomi tidak terpengaruh dengan beredarnya kitab Tahafut al Tahafut.
Malah banyak pemikir-pemikir Barat yang terpengaruh oleh Hujjatul Islam seperti Thomas Aquinas, David Hume, dan lain-lain. Bahkan, ujar Rofiq, William Montgomery Watt mengaku jadi lebih religius setelah membaca renungan-renungan filosofis Al Ghazali dalam beberapa kitabnya.
“Jadi pernyataan yang menghubungkan Al Ghazali dan kemunduran sains di dunia Islam itu pernyataan yang bias. Malah Al Ghazali dinilai sangat berpengaruh bagi pemikir Barat yang memiliki latar belakang agama seperti Thomas Aquinas,” ucap alumni Arizona State University ini.