Konspirasi Dua Lelaki
Oleh Wina Bojonegoro
Dor!
Sebuah peluru melesat mengenai kepalaku. Telak. Aku terkapar di atas hamparan pasir. Telungkup. Bulir-bulir pasir memasuki mulutku. Sakit. Namun aku belum mati.
Dalam gerakan lambat , aku mencoba merangkak seraya mengibaskan pasir-pasir putih yang menempel di sekujur lengan dan kaki. Laki-laki itu masih di situ. Duduk dengan posisi siaga di atas hamparan pasir. Aku ingin menantangnya. Sekali ini saja, mumpung aku belum mati. Tetapi aku terkulai. Masih terkena efek tembakan yang baru saja mengenai kepalaku.
“Sorry!” ia menggumam. Aku mencoba tertawa, tetapi malah terasa seringai.
“Mendekatlah, mari kita bicarakan dengan kepala dewasa.”
Apakah aku kurang dewasa untuk seorang perempuan usia 33 tahun yang sudah lulus S2 dan telah mengajar lebih dari 7000 jam? Lelaki itu, yang telah menembakku dengan kata-kata paling kejam di dunia, mengulurkan tangan dengan pandangan penuh permintaan maaf.
“Jadi, ini liburan umpan atau semacam parsel lebaran atau apa?” tanyaku sarkas. Ia memindai seluruh wajahku dengan saksama. Aku membalas tatapannya dengan putus asa. Skenarionya tidak begini. Rencana semula adalah menikmati matahari tergelincir di genangan laut antara Senggigi-Gili Trawangan. Dihiasi layar perahu tradisional para pencari ikan, serta kepak burung camar yang pulang menuju sarang di rerimbun pohon ketapang. Tapi, baru hari pertama dari tiga rencana, senjata itu meletus. Aku terkapar.
Selarik cahaya berbaris mengintip dari daun-daun nyiur, menimpa wajah lelakiku. Aku menyisir sepasang mata miliknya, mencari noktah yang berbau licik atau semacamnya.
Nihil!
Seluruhnya adalah kejujuran. Bahkan semalam lagi, ketika kami masih saja setia pada rencana untuk menikmati Gili Trawangan, otakku masih berhamburan di udara. Musik disco itu, layar lebar dengan gambar tarian nyaris telanjang, aroma alkohol di tiap keping udara, semuanya makin membulatkan fakta bahwa memang aku masih terkapar, meski tubuhku berpindah-pindah seolah utuh.
Gili Trawangan berubah menjadi siang lagi. Diawali sunrise yang mengambang tipis di sisi bukit Senggigi. Lelakiku ada di samping, dekat, terasa mengintimidasi.
“Pikirkanlah tentang ibumu, jangan kita. Ia akan menanggung seluruh operasi jantungnya.” Terdengar semacam transaki perdagangan perempuan.
“Don punya semua. Pekerjaan. Penampilan. Uang. Status sosial.”
Klise!!
“Dia sahabatku. Dialah orang yang kuceritakan sebagai dewa penolong ketika aku kena PHK. Dia yang membangkitkan semangat hidupku, hingga mampu berdiri sendiri seperti sekarang. Jadi, anggap saja ini balas jasa.”
Dan, aku sebagai tumbal? Pertanyaanku hanya satu, “Apakah tidak ada sama sekali hal-hal yang membuat kita merasa pantas menolak ini?”
Dia bungkam.
“Aku mencintaimu, apakah ini meragukan?”
Dia tetap bungkam.
“Don memang sahabatmu, tetapi bukan siapa-siapa bagiku. Aku tak terlibat apapun, hutang piutang, balas jasa, atau perjanjian apapun.”
Bibirnya bergerak ritmis, kecil-kecil. Sesuatu tengah berlangsung. Aku menunggunya.
“Dia ingin menjadi pria pada umumnya: menikah, punya anak, sebuah tujuan mulia. Setuju?”
Lagi-lagi, kenapa aku yang dikorbankan?
“Kamu boleh memilih. Meskipun aku memohon, kamu bisa menolak. Keputusan sepenuhnya ada padamu.”
***
Nama : Don XXXXX (Demi nama baik, maka biarlah tanpa nama keluarga).
Usia : sepantaran dengan Leo.
Pekerjaan : Sederet PT, sekitar 12 nama, semuanya bayar pajak
Alamat : Tidak tentu. Kadang Citraland, Taman Dayu, Kadang Pecatu, Bali, kadang Singapura dan kadang di Dubai.
Bentuk tubuh : Tinggi 176 cm, berat 75, rambut lurus cepak, mata membulat, alis tebal hidung biasa saja, bibir penuh. Tapi komposisi seluruhnya layak mendapat angka 8.
Tanda khusus : Selalu harum, rajin fitnes, berenang di halaman belakang rumahnya dua hari sekali, vegetarian.
***
Sore terakhir di Gili Trawangan.
Lelakiku menggamit lengan kananku. Kami berjalan beriringan dalam diam.
Pasir putih menjelma keemasan tertimpa cahaya senja. Pasangan-pasangan muda bertebaran di atas pasir tanpa alas, dengan buku dan krim pelindung matahari di samping mereka. Kami melintasinya sambil bertukar sapa, ‘’Hello,’’ dan sebatang senyum.
“Maafkan aku, pikirkan manfaatnya buatmu, selain, ini adalah bentuk balas budiku padanya.”
Menggelikan, sekaligus mengherankan. Kita mengira memahami perasaan pasangan kita. Bahkan setelah berpacaran selama dua tahun, pertemuan 3 kali seminggu. Nyatanya aku tak tahu siapa dia, agenda di kepalanya, jalan pikirannya. Aku berhadapan dengan alien yang baru menetas dari induk semangnya.
“Menikahlah dengan Don,” katanya amat lembut, kemarin senja itu.
“Apa???”
“Selamatkan dia.”
“Menikah dengan lelaki gay?”
“Dia butuh perempuan kuat sepertimu.”
“Kau menjualku?”
“Dia yang memilihmu.”
“Kamu mengizinkan?”
“Demi banyak hal....”
“Jadi selama ini kita ini apa?”
“Kita sepasang kekasih yang bahagia”
“Lalu?”
“Tapi kita tak mungkin bertahan”
“Karena?”
“Aku ... sama dengan dia!”
Dor!! Dor!! Dorrr!!!
Otakku berhamburan di udara.
***
Pasangan-pasangan beda jenis kelamin bertaburan menunggu surga datang, matahari yang mulai kehilangan keperkasaan. Nyiur yang menari dan camar yang berbahagia. Beberapa pemancing masih setia di atas permukaan laut, beberapa pasangan baru pulang dari snorkeling dan beberapa pulang dari diving menenteng tabung oksigen dari Gili Meno atau Gili Air. Leo memelukku erat, laksana sepasang kekasih sebenarnya. Tiba-tiba ia menarikku menghadapnya.
“Dia ada disini.”
“Siapa?”
“Don.”
Hatiku retak jadi delapan, diisolasi dan dipaksa bekerja. Di bawah shower air tawar, aku sudah mulai mereka jawaban. Tapi ternyata air mataku lebih mendominasi di antara leleran air shower. Asin, agak menderas. Namun begitu, kepalaku telah dipenuhi skenario-skenario yang bakal kumainkan, serta rencana inti dan rencana cadangan. Air segar hangat membuatku dapat berpikir jernih. Mungkin sudah saatnya kita tidak memiliki hati, jika otak lebih baik untuk diandalkan. Dalam balutan handuk tebal berwarna putih, tak sabar aku menelepon ibu.
“Rosa, kau di mana? Ibu tidak bisa menghubungimu dua hari ini…” suara ibu terdengar semakin lemah. “Menurutku, kita tidak usah memaksa, ibu tahu biayanya mahal.”
“Semuanya sudah siap. Ibu tunggu beberapa hari lagi, aku pulang.”
“Rosa....”
Sebelum suara isak seperti biasanya, aku bergegas menutup telepon. Bersamaan suara ketukan pada pintu kamar, pertanda mereka sudah di sini.
***
Deru ombak Gili Trawangan dan cahaya kemilau dari berbagai lampu disko pada kafe-kafe terbuka di sepanjang area pusat keramaian. Mereka menamainya Central. Kami bertiga duduk berhadapan dalam bentuk segi tiga pada sebuah meja menjauh dari jalan. Terhindar dari keramaian, tepat di bawah pohon waru yang sedang panen bunga warna kuning. Cahaya lilin menari-nari di antara mata kami beradu. Berpindah dari sepasang pada sepasang lainnya. Sudah 10 menit dari waktu minuman-minuman hadir di meja.
“Aku ke toilet, ” kata Leo gelisah. Don hanya memindahkan ekor mata.
“Semoga kamu sudah mengerti.” Suara Don berat dan hati-hati.
“Sudah,” kataku tanpa nada. “Kami setuju.”
“Bagus.” Ia berdehem, meneguk pina colada sedikit. “Selain soal ibumu, kau bisa melajutnya S3 tanpa perlu beasiswa.” Suaranya meyakinkan. Buatku itu gula-gula.
“Benarkah kamu ingin mengubah jalan hidup dengan menjadi laki-laki hetero?” tanyaku polos, tanpa pertimbangan. Ia tersenyum tipis. Amat tipis, hingga wajahnya terlihat begitu memesona.
“Kalimat tepatnya mungkin begini. Aku hidup di tengah orang-orang yang ingin melihatku sempurna. Masyarakat kita tidak mengizinkan orang seperti aku hidup sebagaimana adanya kami. Nah, jika aku menikah, apalagi punya anak, maka mungkin saja aku bakal memenangkan pilkada periode akan datang.”
Kami bertatapan. Tanpa senyum.
“Kamu pasti bertanya, mengapa kamu yang aku pilih?” aku diam. “Kamu memiliki asal usul yang jelas, track record, dan sederet alasan lain.”
“Bagaimana dengan dia?”
“Leo, maksudmu?”
Aku mengangguk lemah.
“Jangan mengkhawatirkan dia.” Satu teguk lagi pina colada. “Justru dengan pernikahan kita, dia aman, bebas. Dia bisa kapanpun menemui aku, meskipun tak ada kamu.” Kepalaku kusut, dipenuhi jaring laba-laba, pekat. Namun mencoba tetap tegak dan jernih.
“Kalian berpasangan?”
“Apa dia tak bilang?”
Aku tak berani menggeleng. Tak ingin terlihat bodoh. Jika mungkin, aku ingin menembaknya, tepat di kepala, dengan peluru perak. (Surabaya, 1 Juli 2012 )