Konsep Presidium, Wacana Kepemimpinan IKA PMII
Oleh: Yusuf Amrozi *)
Pada Launching Munas VII IKA PMII di Jakarta pada Januari 2025 lalu, salah satu alumni PMII yang saat ini menjadi Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar mengatakan bahwa Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) ke depan diharapkan bisa menjadi super tim. Diingatkannya, selama ini, IKA PMII terlalu fokus pada sosok atau figur yang disebut superman atau superwoman.
Saya kemudian mencoba merefleksikan sejumlah organisasi dalam perjalanannya, untuk melihat apakah organisasi tersebut berjalan berdasar satu sosok atau figur tertentu, ataukah berjalan secara kolektif kolegial yang akhirnya mewujud apa yang disebut oleh Prof. Nasarudin tersebut sebagai tradisi super tim. Karena terbiasa dengan pola pola kepemimpinan yang selama ini ada, maka lambat laun fakta superman atau superwoman tersebut terjadi. Buktinya ada ketua umum yang menjabat berkali kali. Beberapa kali momen pergantian ketua, yang terpilih dia juga. Ndak aka kesempatan person atau kader potensial lain yang menggantikan.
Mewacanakan Model Kepemimpinan Presidium.
Tidak dapat dipungkiri model tradisional selama ini pada organisasi dengan ketua dan wakil ketua atau ketum dan para waketum memang dapat mengokohkan atau menguatkan struktur organisasi, yang dapat memberi direction dari atas ke bawah dengan cukup efektiv. Tetapi hal lain juga berdampak pada dominasi dari sosok atau figur ‘yang paling ketua’ dalam organisasi tersebut. Sementara banyak organisasi, termasuk organisasi alumni memiliki banyak ‘warna’ untuk mengisi organisasi tersebut. Misalnya dalam konteks ini ada wakil dari politisi, pengusaha, agamawan, profesional, dll. Oleh karena itu dapat diwacanakan alternatif lain, misalnya Model Kepemimpinan Presidium.
Model Presidium adalah bentuk kepemimpinan organisasi dimana pimpinan tertinggi terdiri dari beberapa orang yang berkedudukan sama. Dalam Sistem Presidium, tidak ada jabatan seperti ketua, wakil ketua, dan seterusnya. Semua anggota Presidium memiliki hak dan tanggung jawab yang sama secara kolektif. Anggota Presidium biasanya mengemban amanah sebagai koordinator Presidium secara bergantian.
Organisasi Presidium yang menerapkan kepemimpinan kolektif ini akan membangun konsensus untuk mencapai keputusan dan menyelesaikan perbedaan pendapat yang muncul. Oleh karena itu kepemimpinan model Presidium ini disebut menantang gagasan mainstream kepemimpinan tradisional selama ini, dimana seorang individu menjadi sumber kepemimpinan yang dominan.
Model Presidium telah banyak digunakan dalam organisasi profesional yang menekankan kesetaraan dimana kepemimpinan dilakukan secara kolektif berdasarkan kesepakatan antar anggota presidium. Model Presidium bertujuan untuk mencapai konsensus dan membangun kerjasama dalam upaya pengambilan keputusan di organisasi.
Plus-Minus Model Presidium.
Model Presidium memiliki sejumlah keunggulan, misalnya: Pertama: Terciptanya pergeseran dari figuritas ke model sistem. Dengan Model Presidium yang menekankan kesetaraan, maka ada potensi pergeseran dari penokohan seseorang menjadi model sistem. Organisasi ditentukan bukan sekedar arahan dari satu orang ketua umum. Tetapi siapapun ketua atau koordinatornya maka sistem yang menentukan.
Kedua: Keragaman pendapat dan pengalaman. Karena anggota presidium memiliki ‘pangkat yang sama’, maka tidak ada rasa sungkan dan seterusnya untuk mengemukakan pandangan termasuk dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian alternatif pengambilan keputusan dapat lebih beragam untuk memberi alternatif keputusan terbaik, karena dari berbagai pengalaman dan latar informasi anggota Presidium.
Ketiga: Mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang. Dengan model kolektiv kolegial tersebut, maka pengawasan melekat pada anggota presidium menjadi lebih efektiv. Oleh sebab itu akan meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang salah satu pihak pada organisasi tersebut.
Selain kelebihan, tentu juga ada keterbatasan model Presidium yang dapat diungkap, misalnya: Kesulitan dalam pengambilan keputusan, Konflik antar anggota Presidium, serta pembagian peran yang absurd. Dalam hal problem pengambilan keputusan, maka jika ada satu atau dua orang yang tidak setuju dengan pendapat anggota Presidium yang lain, maka akan muncul problem legitimasi dari keputusan yang dihasilkan. Hal lain yang lazim terjadi termasuk pada model Presidium adalah konflik antar anggota Presidium karena memiliki hak dan wewenang yang setara. Selain itu jika tidak ada konsensus yang jelas di aturan main, maka ketidakjelasan tugas dan peran masing-masing Presidium akan berdampak pada kinerja organisasi.
Mengoperasionalkan Model Presidium pada IKA PMII.
Memang belum banyak organisasi alumni menggunakan model Presidium. Tetapi sebenarnya terbuka kemungkinan, mengingat organisasi alumni termasuk IKA PMII merupakan organisasi paguyuban yang menekankan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Oleh sebab itu model Presidium boleh dibilang bisa sebagai wacana alternatif. Pertanyaannya adalah bagaimana ‘membumikan’ model Presidium pada struktur organisasi IKA PMII?
Konsep Presidium pada prakteknya seperti sosok satu ketua umum menjadi beberapa orang dewan Presidium, yang memiliki kewenangan setara. Sementara untuk pengurus pendukung pada sekretariatan (kesekjenan atau jajaran bendahara) dapat saja memakai model organisasi pada umumnya. Termasuk kelengkapan departemen-departemen dapat dibentuk sebagaimana lazimnya.
Wal akhir sebagai sebuah gagasan, sah sah saja isu ini dimunculkan. Toh keputusan ada pada peserta Munas VII IKA PMII yang dihelat akhir pekan ini di Jakarta, sebagai pemegang mandat organisasi IKA PMII. Tentu ada tahapan yang harus dilalui, misalnya melakukan perubahan fundamental di AD/ART atau peraturan organisasi IKA PMII. Tetapi dengan wacana alternatif seperti model Presidium ini saya kira kita bisa menoleh terhadap dinamika luar yang telah berubah. Wallahu A’lam Bishowaf.
Dr. Yusuf Amrozi, M.MT, Wakil Ketua IKA PMII Jatim. Tulisan ini sepenuhnya opini pribadi penulis.
Advertisement