Konflik Senjata Israel - Hamas
oleh: As'ad Said Ali
Serangan roket Hamas ke Wilayah Israel diawali oleh kerusuhan di Yerusalam yang memuncak pada malam Lailatul Qadar di sekitar kawasan Masjid Al-Aqsha dalam bentuk aksi kekerasan terhadap protest yang dilakukan oleh warga Palestina.
Konflik dimulai pada peringatan “Hari Yerusalem” sebagai peringatan atas kemenangan Israel dalam perang 1967.
Bersamaan dengan peringatan itu, warga Palestina melakukan protes terhadap upaya pemerintah Israel untuk membangun 500 rumah pemukiman Yahudi di Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur. Perluasan itu ditolak oleh otoritas Palestina dan juga penduduk yang tinggal didaerah itu sejak ratusan tahun.
Pembangunan pemukiman itu sesuai dengan apa yang disebut dengan “Abraham Accord” yang diinisiasi oleh Donald Trump ketika masih berkuasa di AS. Tetapi accord tersebut bertentangan Resolusi Dewan Keamanan PBB No 242 dan 338 yang mengakui hak Palestina atas Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur.
Dalam hal Ini Israel melakukan test case terhadap sikap Presiden AS Joe Biden yang menolak aneksasi Yerusalem Timur. Rakyat Palestina melawan dengan melakukan protes keras sehingga terjadi konflik dengan aparat keamanan Israel dan kaum radikal Yahudi. Perlawanan gigih rakyat Palestina mendapat simpati dari sebagian masyarakat Yahudi berupa unjuk rasa simpati terhadap aksi warga Palestina.
Hamas cq Brigade Al-Qasam melaksanakan serangan roket ke ke wilayah yang dikuasai Israel termasuk wilayah sekitar Dimona (lokasi instalasi nuklir Israel). Serangan Brigade Al-Qasam mengejutkan dengan kemampuan melepas sekitar 1400 roket secara beruntun sehingga sejumlah roket buatan Iran itu mampu menembus radar pertahanan Israel.
Israel membalas dengan melakukan serangan udara dan tank ke Gaza. Brigade Al-Quds (Jihad Islam) juga melibatkan diri melawan Israel.
Berbagai reaksi dari sejumlah negara termasuk Indonesia menyesalkan provokasi Israel. Reaksi keras datang dari Rusia, Turki dan Iran. Presiden AS Joe Biden menyatakan Israel berhak membela diri dari serangan roket Hamas. Pernyataan itu terutama ditujukan terhadap Rusia, Turki dan Iran yang selama ini menjadi pendukung Hamas dengan tujuan agar tidak ikut campur tangan lebih jauh.
Banyak pihak yang berkepentingan terhadap situasi di kawasan tersebut terutama negara-negara yang disebut di atas.
Dilihat dari kepentingan politik, ekonomi dan keamanan, tidak satu pun dari negara negara tersebut menghendaki eskalasi konflik.
Kalau demikian halnya maka munculnya peluang untuk merintis kembali perundingan damai Israel - Palestina yang terhenti sejak 2005 bukan suatu hal yang mustahil.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamt Sosial-Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010 - 2015. Tinggal di Jakarta.
Advertisement