Perang Sampit, Sambas dan Mitos Panglima Burung
Tanda pagar (tagar) Sampit sempat menjadi trending di Twitter sepanjang Sabtu, 25 April 2020. Entah dari mana pemicunya, namun tiba-tiba warganet bersama-sama mengenang Perang Sampit berdarah yang terjadi di Kalimantan Tengah Februari 2001 silam itu.
Lantas, apa sebenarnya yang terjadi pada Kerusuhan Sampit 2001 silam? Sebelumnya di Kalimantan juga terjadi perang antara suku Madura dan Melayu serta Suku Dayak di Sambas pada 1999 yang lantas dikenal sebagai Kerusuhan Sambas. Bagaimana dua kerusuhan ini bisa terjadi?
Perang Sambas
Kerusuhan Sambas bermula pada 17 Januari 1999 pukul 01.30 ketika warga suku Melayu dibantu warga lokal Suku Dayak menangkap pencuri ayam yang kebetulan merupakan warga Suku Madura. Pencuri yang diketahui telah beraksi beberapa kali ini lantas dianiaya oleh warga.
Tak terima temannya dianiaya, dua hari berikutnya yakni 19 Januari 1999, sekitar 200 warga Suku Madura dari suatu desa menyerang warga suku Melayu di desa lainnya.
Buntut penyerangan 200 warga Suku Madura ini, 3 orang Suku Melayu meninggal dan 2 terluka.
Selain kasus ini, juga sempat terjadi perkelahian antara kenek angkot warga Melayu dengan penumpang dari Suku Madura yang tidak mau membayar ongkos.
Sejak saat itu, lantas terjadi aksi balasdendam warga lokal Suku Melayu dan Suku Dayak menghadapi suku pendatang yakni Madura.
Peristiwa inipun cepat berkembang menjadi kerusuhan, pembakaran, pengrusakan, hingga pembunuhan antara warga Suku Melayu dan Suku Dayak melawan Suku Madura yang meluas di sekitar Sambas.
Selain itu, warga Melayu dan Dayak lantas melakukan pengusiran besar-besaran terhadap warga Suku Madura yang telah bermukim di kawasan Sambas. Warga Madura dalam jumlah besar terpaksa terusir menyelamatkan diri menuju Singkawang dan Pontianak.
Banyak pihak yang menyebutkan kerusuhan Sambas sebenarnya imbas dari ketimpangan antara pendatang dan suku asli. Warga Madura yang berbondong-bondang datang ke Sambas membuat perekonomian di Sampas dikuasai Warga Madura.
Ekonomi yang dikuasai warga pendatang berbuntut pada persaingan yang mulai tidak sehat antara warga lokal dan pendatang hingga akhirnya pecahlah Kerusuhan Sambas.
Perang Sampit
Hampir sama dengan kerusuhan Sambas, Perang Sampit juga melibatkan warga lokal yakni Suku Dayak dan Suku Madura. Kerusuhan Sampit juga dipicu persaingan perekonomian antara warga pendatang yakni Suku Madura dan warga lokal yakni Suku Dayak.
Dari catatan yang ada, Suku Madura mulai berdatangan ke Madura sejak program transmigrasi era Belanda tahun 1930 yang lantas dilanjutkan pada era Orde Baru. Hingga tahun 2000 setidaknya 21 persen populasi warga Kalimantan Tengah dikuasi oleh pendatang.
Beberapa sumber menyebutkan Konflik Sampit dipicu empat insiden, yakni pembakaran sebuah rumah Dayak; kemudian adanya penyerangan terhadap Suku Dayak; serta adanya sengketa judi yang berujung perkelahian antara Suku Dayak dan Suku Madura di Desa Kerengpangi, 17 Desember 2000. Selain itu juga ada sumber yang menyebutkan bahwa konflik ini dipicu percekcokan antara murid Suku Dayak dan Madura.
Perang Sampit lantas pencah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang sejumlah warga Suku Dayak. Konflik ini lantas meluas hingga ke hampir seluruh daerah di Kalimantan Tengah. Mayat-mayat ditemukan bergelimpangan di jalanan. Akibat konflik ini, 500 warga tewas dengan 100 di antaranya dipenggal kepalanya dan lebih dari 100.000 rumah Warga Madura dirusak.
Suku Dayak memang memiliki ritual pemburuan kepala (Ngayau) yakni ritual memenggal kepala musuhnya. Namun ritual ini sebenarnya telah ditinggalkan sejak awal abad ke-20.
Panglima Burung
Perang Sampit dan Sambas ini juga menyertakan suku Dayak pedalaman yang konon turun langsung dan dipimpin Panglima Burung atua Pangkalima, sosok Suku Dayak yang konon terkenal sakti mandraguna.
Panglima Burung sebenarnya adalah sosok yang selalu mengalah, cinta damai, suka menolong, pemalu dan sangat sederhana. Namun Panglima Burung akan menjadi sosok yang pemberani dan menakutkan jika Suku Dayak selalu disudutkan dan diancam.
Panglima Burung bisa menciptakan mandau atau golok terbang yang ketika dilemparkan akan mengikuti musuhnya dan menebas kepala musuh dengan sekali tebasan. Panglima Burung dikisahkan akan selalu membantu Suku Dayak untuk menyelesaikan masalah pelik yang dihadapi.
Jika Panglima Burung atau Pnagkalima turun, maka tidak akan ada masalah yang tidak bisa dihadapi bagi Suku Dayak. Panglima Burung sejatinya adalah panglima mitos, namun sangat diyakini keberadannya oleh warga Suku Dayak.
Selama ini, Panglima Burung diyakini tinggal di daerah gaib pedalaman Kalimantan. Panglima Burung bisa dipanggil dengan menggelar tari perang yang dimainkan warga Suku Dayak.
Pernah di tahun 2017, warga Dayak meyakini adanya pernikahan antara Pangling Burung dengan seorang perempuan bernama Sri Baruno Jagat Prameswari yang konon merupakan titisan dari penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul. Meski pernikahan gaib, namun Suku Dayak saat itu sempat menyiapkan pesta pernikahan secara nyata.