Konflik Kerja Keluarga Saat Pandemi, Ini Cara Menghindarinya
Pandemi Covid-19 sejak dua tahun lalu membuat tatanan kehidupan berubah. Salah satu hal yang menonjol adalah bekerja dan sekolah dilakukan secara online dari rumah. Kebiasaan baru ini pun menimbulkan isu baru, yakni bagaimana peran seseorang yang bekerja dan berkeluarga dalam satu rumah.
Isu ini dibahas dalam disertasi Dr. Rusmalia Dewi, S.Psi., M.Si., Psikolog. Disertasi tersebut berjudul "Model Konflik Kerja-Keluarga pada Medical Representative dengan Iklim Kerja-Keluarga, Kebermaknaan Kerja, dan Modal Psikologis sebagai Anteseden”. Rusmalia menjelaskan fenomena konflik kerja keluarga yang hangat di masa pandemi.
“Data pasangan bekerja dari tahun 2010 pasangan yang sama-sama bekerja selain meningkat. Ini penting untuk diamati, terlebih lagi bila satu domain bermasalah maka akan memengaruhi domain lainnya,” terang Rusmalia.
Ia pun mengungkapkan, hal ini penting untuk diamati karena pandemi meleburkan peran kerja dan keluarga, khususnya karena ombak work from home ataupun study from home yang marak diterapkan karena menjadi satu solusi mencegah penyebaran penyakit Covid-19.
“Semakin meningkatnya pasangan bekerja ini semakin meningkat pula kompleksitas baik di pekerjaan ataupun keluarga. Sehingga dapat pula meningkatkan konflik kerja pada mereka. Pasangan bekerja tingkat konflik kerja lebih besar daripada pasangan yang bekerja,” ungkap Rusmalia.
Menurut Rusmalia, penting melakukan pembahasan untuk menambah kesejahteraan keluarga di masa pandemi, khususnya supaya pasangan muda bekerja yang menikah di masa pandemi tidak terancam perceraian karena konflik yang berkepanjangan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konflik pun beragam, mulai dari faktor individu, keluarga, dan pekerja. Dari faktor individu ada status pernikahan, jumlah anak, status pekerjaan, gaji, kepribadian, gender, tingkat pendidikan, modal psikologis. Faktor kerja meliputi karakteristik kerja, stress kerja, program ramah keluarga, sistem kerja dengan komitmen tinggi, iklim kerja, kebermaknaan kerja.
Sementara faktor keluarga meliputi tanggung jawab pengasuhan anak, dukungan sosial keluarga, dan iklim kerja keluarga.
Melalui penelitian ini, Rusmalia pun menemukan bahwa individu yang mampu berbagi kepedulian dengan lingkungan kerja dan keluarganya, memiliki pemaknaan terhadap pekerjaan, dan modal psikologis tinggi dapat menurunkan konflik kerja-keluarga.
“Sehingga perusahaan perlu juga membuat kebijakan atau aturan kerja yang lebih manusiawi untuk mengurangi beban kerja,” terangnya.
Untuk diketahui, disertasi ini mengantarkan Rusmalia menjadi doktor pertama dari Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (FP Ubaya). Ia dikukuhkan sebagai doktor pada Jumat, 21 Januari 2021 lalu.
Advertisement