Konflik Armenia-Azerbaijan Jadi Perang Terburuk, Bila ...
Perang di perbatasan Nagorko-Karabakh antara militer Armenia dan Azerbaijan, Minggu 27 September 2020, saat ini belum menunjukkan sinyal untuk adanya de-eskalasi tensi. Dalam ketegangan itu, dilaporkan korban meninggal telah mencapai lebih dari 100 orang.
Tak ada penjelasan pasti, mengapa perang kedua negara itu terjadi pada pekan lalu. Namun, kedua negara saling menuding memulai perang yang memasuki hari keenam itu.
Baik pemerintah Armenia maupun Azerbaijan tampaknya sulit untuk menurunkan ego masing-masing, untuk menghentikan perang dan memulai dialog.
Terkait konflik kedua negara tersebut, tentu saja menjadikan sejumlah negara tetangga bersikap. Kali ini Azerbaijan mendapatkan dukungan penuh dari Turki, yang tidak hanya mengirimkan personel militer tapi juga armada perang.
Turki turut menyertakan sejumlah pesawat jet tempur F-16 Fighting Falcon yang dilengkapi dengan drone pengintai.
Presiden Turki, Reccep Toyyib Erdogan, secara lantang menegaskan negaranya akan melanjutkan dukungan kepada Azerbaijan dengan segala cara, dengan tujuan yang disebutnya untuk mencapai perdamaian di kawasan.
“Ini adalah saatnya untuk menghentikan krisis kawasan yang dimulai dengan pendudukan di Nagorno-Karabakh. Kawasan ini sekali lagi akan mencapai kedamaian dan ketenangan dengan penarikan segera Armenia dari tanah Azerbaijan yang diduduki,” ujar Erdogan.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Gueterres, melalui Juru Bicara, Selasa 29 September 2020, menyatakan mengutuk perang di wilayah Nagorko-Karabakh dan mendorong adanya negosiasi tanpa prasyarat ataupun penundaan.
“Sekjen mengutuk penggunaan kekuatan dan menyayangkan akan adanya korban dari kalangan sipil. Sekjen memanggil secara tegas kedua belah pihak untuk segera menghentikan pertikaian, menurunkan tensi dan beralih pada negosiasi yang berarti tanpa prasyarat ataupun penundaan,” tegas Gueterres melalui Juru Bicara di Markas PBB, New York, Amerika Serikat.
Gueterres juga mengajak adanya keterlibatan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), untuk mendukung dimulainya negosiasi tersebut.
“Sekjen juga menunjuk peran besar dari para anggota OKI untuk bekerja sama dengan mereka untuk dimulainya kembali dialog tanpa prasyarat,” tambahnya.
Sayangnya, kedua negara yang pernah berada di bawah penjajahan Uni Soviet itu, tidak mengindahkan anjuran Sekjen PBB.
Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan, perang adalah pilihan Armenia, yang disebutnya sebagai tanggapan atas kebencian rakyat Azerbaijan terhadap negaranya.
“Rakyat Armenia telah bersiap-siap untuk adanya kemungkinan perang. Sebab, kami menyadari bahwa arminofobia dan kebencian dari para dictator Azerbaijan dan juga rakyatnya sejak beberapa dekade tidak bisa menghasilkan apapun kecuali peperangan. Sangat sulit untuk membicarakan mengenai negosiasi terutama apabila pasukan militer sedang dalam perjalanan,” ungkap Pashinyan dalam sebuah pernyataan publik, Kamis 1 Oktober 2020.
Pashinyan menyatakan, adanya dukungan Turki kepada Azerbaijan, serta pasukan yang dikirim oleh Erdogan itu mulai terlibat dalam pertempuran.
“Berdasarkan informasi yang kami miliki, para instruktur dan pejabat militer tingkat tinggi dari Turki saat ini berada di Azerbaijan sebagai bagian dari perintah penempatan. Pada sejumlah wilayah mereka bahkan melakukan aksi pertempuran langsung,” tuturnya.
Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, menuduh militer Armenia yang telah memulai perang pada pekan lalu, dengan meluncurkan sejumlah ledakan ke wilayah perbatasan Nagorko-Karabakh.
“Bukanlah rahasia lagi bahwa ledakan inisial termasuk ledakan artileri diluncurkan oleh Armenia. Dan yang menjadi korban adalah warga Azerbaijan. Azerbaijan memberikan tanggapan yang layak kepada musuh dan mereka tidak bisa berpindah,” ucap Aliyev.
Azerbaijan mendesak pasukan Armenia untuk meninggalkan wilayah Nagorko-Karabakh, maka perdamaian akan dicapai di wilayah itu.
“Kondisi ini valid dan jika pemerintah Armenia menempati itu, perkelahian dan pertumpahan darah akan berakhir. Serta, perdamaian akan mulai dibangun di kawasan. Kami menginginkan perdamaian dan kami menginginkan adanya solusi dari konflik ini,” ujar Aliyev.
Perang antara Armenia dan Azerbaijan di perbatasan Nagorko-Karabakh kali ini, disebut-sebut sebagai perang terbesar sejak 2006 di era tahun 2000an.
Sikap Prancis
Baru-baru ini Presiden Prancis, Emmanuel Macron, di Brussel, menuduh adanya keterlibatan para pejuang dari kelompok jihad Suriah yang mendukung militer Azerbaijan.
“Kami mendapatkan informasi hari ini adanya indikasi yang pasti bahwa para pejuang dari kelompok jihad Suriah transit melalui Gaziantep (Turki-red), untuk sampai di wilayah operasi di Nagorno-Karabakh,” jelas Macron yang tiba di Brussel untuk menghadiri KTT Para Pemimpin Uni Eropa, Kamis 1 Oktober 2020, dilansir Aljazeera.com.
Nagorno-Karabakh secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan, namun mayoritas penduduknya adalah suku Armenia.
Wilayah itu, menurut BBC, diperebutkan sejak era Uni Soviet, terhitung 1988-1994 dengan diperkirakan sekitar 30.000 menjadi korban meninggal.
Gencatan senjata dilakukan oleh Armenia dan Azerbaijan pada 1994.
Sementara, sejumlah bukti menunjukkan adanya kecenderungan perang kedua negara memperebutkan Nagorko-Karabakh telah direncanakan sebelumnya.
Militer Armenia pada 15 Juli 2020 melaporkan menembak drone pengintai di wilayah perbatasan Nagorko-Barakbakh yang diduga milik Azerbaijan.
Kementerian Pertahanan Armenia menyebut drone menargetkan warga sipil, meski ketika itu tidak ada satupun warga menjadi korban.