Konflik Armenia-Azerbaijan Berakar dari Sumber Minyak Bumi
Pengamat Internasional Arya Sandhiyudha, Ph.D mengatakan pertempuran antara Armenia dan Azerbaijan di wilayah Nagorno-Karabakh karena wilayah itu memiliki potensi energi fosil (minyak bumi dan gas alam) yang luar biasa di wilayah tersebut. Sehingga membuat konflik ini turut melibatkan kekuatan besar di kawasan, seperti Rusia, Turki, dan İran.
"Dalam peta hubungan luar negeri, konflik ini telah melibatkan negara-negara besar di kawasan, diantara sebabnya adalah potensi energi fosil yang luar biasa di wilayah tersebut. Ada Rusia, yang cenderung mendukung Armenia. Ada Turki, yang menggalang dukungan solidaritas dengan Azerbaijan," kata Arya, yang Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), dalam keterangan Senin, 4 Oktober 2020.
Selain faktor sejarah, lanjutnya, karena ada pipa BTC Baku-Tblisi-Ceyhan yang melintas via Erzurum, untuk penyaluran energi fosil (minyak dan gas alam) antara laut Kaspia dan Laut Mediteran. Ada Iran, yang secara domestik juga memiliki ketegangan dengan 16 juta imigran asal Azerbaijan di Iran, serta kompetisi energi fosil (minyak dan gas alam) terkait pipa BTP.
Ia menjelaskan wilayah Nagorno-Karabakh ini secara prinsip hukum internasional merupakan bagian dari territorial Azerbaijan, namun secara demografik etnik mayoritasnya adalah Armenia. Sehingga kenapa konflik ini sudah berusia panjang dan rumit karena ada dua penggunaan logika prinsip yang berbeda, asimetrik.
Arya yang merupakan peraih Doktor Hubungan Internasional dari Istanbul University, Turki ini kemudian menyebutkan akar konflik ini. "Akar konflik ini berlanjut karena pasca Sovyet runtuh, wilayah ini menuntut kemerdekaan dengan dukungan militer persenjataannya dari Armenia. Maka terjadilah proxy war antara Armenia dan Azerbaijan yang saling bertetangga secara geografis," terangnya.
Menurut Arya, konflik Nagorno-Karabakh musti segera disudahi karena sudah sangat banyak jatuh korban.
"Konflik ini telah menjadi perang panjang yang menyebabkan 17-25 ribu jiwa terbunuh, 1 juta pengungsi terusir, wilayah Azerbaijan lepas, dan sanksi PBB terhadap Armenia jatuh," harapnya.
Arya juga menyebutkan, status quo Nagorno Karabakh ini membutuhkan mekanisme multilateral seperti OSCE, Organization for Security and Cooperation in Europe, untuk mencapai skenario terbaik selain perang panjang.
Arya optimis, melihat adanya mekanisme multilateral yang masih tersedia saat ini tidak akan ada perang besar antara Armenia dan Azerbaijan.
"Negara-negara besar yang terlibat pasti dapat menemukan titik temu kepentingan mereka. Sehingga skenario paling mungkin perang parsial sejenak lalu kembali pada status quo perundingan. Efektivitas diplomasi soal Nagorno Karabakh ini sangat bergantung pada komunikasi dengan negara-negara sekitar yang punya kepentingan, dengan tetap menjaga eksistensi dan dignity kedua negara (Armenia Azerbaijan) di mata internasional," kata Arya menyudahi.