Komunitas Sido Resik Gaet Anak Muda Sidoarjo untuk Kelola Sampah
Kemampuan pemerintah untuk mengelola sampah sangatlah terbatas. Oleh karena itu diperlukan partisipasi semua pihak untuk ikut menangani sampah. Salah satu organisasi yang menaruh perhatian soal sampah di Kabupaten Sidoarjo adalah Komunitas Sido Resik. Komunitas Sido Resik mendorong perubahan paradigma pengelolaan sampah sejak dari lingkungan rumah tangga di kabupaten tersebut.
"Sampah adalah persoalan yang membutuhkan perhatian bersama," ujar Direktur Sido Resik, Ahmad Muhdlor Ali usai menjadi narasumber acara "Sosialisasi Pengembangan Bank Sampah dalam Menunjang Ekonomi Masyarakat Menuju Indonesia Bersih Sampah 2025" di Sidoarjo, Kamis 26 September 2019.
Muhdlor mengatakan, saat ini, volume sampah di Sidoarjo diperkirakan 1.800 ton/hari. Tidak semua sampah itu bisa dikelola, mengingat belum optimalnya tempat pengolahan sampah yang ada. Berbagai peningkatan teknologi pada tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah pun tidak akan berarti jika semua elemen tidak terlibat dalam gerakan pengelolaan sampah.
"Maka sebenarnya penting untuk mendirikan bank sampah di 353 desa di Sidoarjo. Karena belum semua desa/kelurahan punya bank sampah. Padahal, selain bermanfaat dari sisi ekologi, pengelolaan sampah juga bermanfaat dari sisi ekonomi. Sudah banyak bukti komunitas dan BUMDes yang berhasil mendapat keuntungan ekonomi dari pengelolaan sampah," ujarnya.
"Bank sampah menjadi inisiatif ekologi-ekonomi yang menyehatkan lingkungan serta menyejahterakan warga. Dari pemilahan hingga daur ulang, ada potensi ekonomi yang bisa digerakkan dari kampung ke kampung," imbuhnya.
Sido Resik membangun model kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) untuk mendorong berbagai pihak peduli terhadap pengelolaan sampah. Sekarang jumlah relawan pengelolaan sampah ini sudah sekitar 1.000 relawan yang tersebar di separuh kecamatan di Sidoarjo.
Menurut Muhdlor, dengan menggaet banyak komunitas, pengelolaan sampah diharapkan bisa menjadi perhatian bersama khususnya oleh generasi muda. Apalagi setiap komunitas peduli lingkungan punya kelebihan masing-masing. Gerakan sosial (social movement) ini diharapkan bisa mengurangi volume sampah hingga 30 persen.
"Kenapa fokus ke anak-anak muda? Karena ini bagian dari perubahan paradigma. Anak-anak muda jadi motor penggerak dari unit terkecil yaitu keluarganya, tetangganya, teman-teman sekolahnya, dan sebagainya, Dimulai dari langkah kecil, seperti memastikan keluarganya tak lagi memakai tas plastik saat berbelanja, membudayakan pakai tumbler, dan sebagainya," papar direktur Ponpes Bumi Sholawat tersebut.
Sementara Kepala Seksi Tempat Pemrosesan Akhir, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Kementerian Lingkungan Hidip (KLHK), Arief Sumargi memaparkan, penanganan sampah tidak hanya membutuhkan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) atau TOA saja, tapi harus mengubah pola pikir masyarakatnya.
"Kalau sejak dari rumah tangga sampah sudah dipilah-pilah, kemudian dikumpulkan di bank sampah, kami yakin makin sampah di selokan, sungai atau bahkan ke laut bisa dikurangi. Bahkan sampah ke TPA hanya sampah yang tidak bisa didaur ulang," ungkapnya.