Komplikasi Dibalik Kunjungan Ketua Partai Komunis Vietnam
MESKI pensiunan, kadang ada saja waktu bersosialisasi dan urusan-urusan tak penting tetapi perlu dilakukan. Ketika muncul wacana di medsos tentang kunjungan Ketua PKV, ada waktu 15 menit dan artikel ini langsung saya tulis dan uploaded.
Demo menentang kunjungan pun sudah mulai kemarin (22/8), awal kegiatan Ketua PKV di Jakarta dalam kunjungan 3-harinya. Pas-lah, berbagai komen yang simpang-siur di medsos meyakinkan saya ada kehausan info di masyarakat. “Harus ada air mineral penyejuk,” seperti harapan saya menulis artikel yang juga dimuat di Ngopibareng.id kemarin.
Dalam sehari artikel itu dibaca di web saya sebanyak hampir 600 kali. Dan, saya banyak menerima komen dan terima kasih atas penjelasan saya yang sumber partikelir ini, termasuk dari teman-teman di Kemlu.
Memang, ketika bahasan menyangkut hubungan diplomatik itu sensitif, karena itu kami diplomat memang dilatih untuk menangani krisis. ‘Krisis’ ini tak perlu terjadi jika kita mampu melihat potret permasalahan secara holistik. Akan terlihat benang merah-nya dan action apa yang akan dilakukan. Semuanya diam-diam alias rahasia, jangan diketahui publik karena akan lebih banyak mudarat-nya. Mohon maaf, dalam urusan hubungan antar-negara taruhannya adalah nama baik (reputation), honor, dignity, kebanggaan yang tidak bisa dipertaruhkan. Tidak boleh diumbar-umbar.
“Yang terbuka sexy, sedangkan yang tertutup vital,” pernah seorang senior mengartikulasikan dengan baik seperti apa diplomasi itu.
Banyak pula komen atas artikel itu yang saya tanggapi. Ada tema, ada ide dan ada perspektif maka jadilah tulisan itu.
“Seorang pecinta ilmu harus jujur, dan ini yang saya lakukan selama ini. Saya berupaya jujur setidaknya pada diri sendiri,” kata saya di suatu ketika.
Beberapa teman memuji, artikel ini cukup ‘balanced’ karena saya mendudukkan diri dalam posisi obyektif saja. Kalau bagus katakan bagus, kalau tidak yang terangkan saja dengan fakta atau rujukan pengalaman. Saya menulis karena hobby.
Hubungan luar negeri itu politis, selebihnya teknis –seperti kerjasama ekonomi, iptek, sosial budaya dsb—karena itu seorang sahabat di FB, Eko Sutjipto, faham dan berkomentar dengan benar bahwa ‘political capacity’ is the main issue, dalam kunjungan ini, setelah membaca artikel saya.
Dalam negosiasi apapun kita selalu ingin berbicara dengan pengambilan keputusan tertinggi. Kalau nego dengan pelayan toko sering membuat kesal dan kita minta dipanggilkan sang boss, agar tidak bertele-tele. Ketua PKV dalam konteks Vietnam adalah sang boss, institusi pengambil keputusan tertinggi di Vietnam, sama seperti Ayatullah di Iran, jelas saya. Karena beliau adalah instansi pembuat kebijakan tertinggi tentu seyogianya kita merasa terhormat. Apapun keputusan yang diambil dalam negosiasi akan dilaksanakan dalam asas ‘good faith’. Negosiasipun seyogianya lancar, apalagi ada chemistry dengan sang interlocuter, Presiden Jokowi.
Ada observasi lain dari teman-teman yang menarik: “Sekarang ini diplomasi ditempatkan di ‘back seat’ tidak dianggap penting seperti pada satu dekade era SBY yang menyenangi diskursus luar negeri dan berpengalaman menjadi diplomat. Karena itu beliau ‘at ease’ ketika berbicara dengan counter-part dari luar negeri. Beliau juga sangat memahami dengan baik isu-isu yang diperbincangkan.”
Saya kurang lebih sependapat. Karena itu, saya katakan kekhawatiran saya bahwa pihak kita selalu sibuk sebagai ‘EO’ alias event-organizer dalam urusan teknis acara dan keprotokolan. Kalau bicara extravaganze dan meriah ketika menjadi tuan-rumah pertemuan internasional kita memang jagonya.
Saya juga berpendapat, meskipun mungkin dianggap sepele, tetapi hal-hal keprotokolan itu penting. Keprotokolan adalah keteraturan agar tidak messy, menempatkan orang dan institusi pada tempat yang mereka deserve, tidak kurang , tidak lebih. Juga harus diingat, keprotokolan dalam konteks kenegaraan ini maha penting karena ini adalah instrument penjaga kehormatan, kebanggaan, harga-diri dan martabat negara. Jadi jangan main-main.
“Mudah-mudahan aspek substantif tidak dilupakan. Kunjungan bilateral seperti ini –apalagi dihadiri pemutus tertinggi Vietnam—harus dimanfaatkan dengan baik untuk capaian penting sesuai dengan kepentingan nasional kita,” kata saya.
“Kemlu harus fokus di tupoksinya –sebagai focal point, pengarah dan pengaman politik dan hubungan luar negeri-- bukan pada hal-hal teknis yang menjadi domain kementerian atau institusi lainnya yang kita koordinir,” kata saya ketika berdiskusi di kantin dengan Pipin, seorang teman Kemlu yang dosen dan suka menulis di Jakarta Post.
“Jangan malah yang pokok tidak kita kerjakan karena keasyikan mengurus hal-hal sexy untuk tampil-tampil di publik namun sejatinya di luar domain kita dan menjadi tupoksi kementerian lain demi untuk publisitas,” saya berpesan pada Rizal, teman lama di Kemlu di siang hari itu.
“Negosiasi dengan pimpinan tertinggi dlm sistem Vietnam ini momen yang langka, jarang terjadi, dan seyogianya dimanfaatkan dengan baik untuk membicarakan isu-isu pokok bagi kepentingan nasional kita.”
Apakah Indonesia mampu mengambil manfaat sebesar-besarnya pastilah teman-teman di Kemlu yang lebih faham. Saya cuma mengingatkan, keprotokolan dan kelancaran acara itu penting, tetapi itu semua harus dilakukan tetapi tetap fokus pada substansi.
Fahmi Rizalov Pohanovski berkomentar, mungkin sikon kunjungan ini kurang pas. Ada soal transparansi di sini, katanya. Mengapa bukan PDIP saja sebagai partai berkuasa yang mengundang, dan semua komplikasi ini sirna, katanya. Saya menjawab, sikon tak masalah. Malah pas banget. Dalam kunjungan ini ada kepentingan bersama yang lebih besar: hubungan ekonomi dan ASEAN. Jangan lupa, hubungan Vietnam – China itu problematik. Vietnam itu tidak disukai China dan mereka pernah berperang di tahun 1970-an. China dengan ‘punitive action’ memukul mundur pasukan Vietnam yang merambah ke Kamboja.
Isu rasial dengan pembakaran pabrik-pabrik bahkan pemukulan terhadap investor China di Vietnam bukan jarang terjadi. Jika ada insiden di Laut China Selatan, maka investor China selalu menjadi sasaran di Vietnam.
Teman di FB, Zuliah Idham, memahami poin-poin saya dengan baik, hanya mengekspresikan kegundahannya karena sebagai anak bangsa merasa kurang difahami pemerintah. Kepercayaan menurun, katanya.
Saya fikir, ini adalah kemampuan mengemas suatu kebijakan dan menyampaikannya ke publik. Semakin ditutupi semakin mencurigakan bagi rakyat. Ada pembelajaran di sini. Jangan anggap enteng public relations apalagi di era euphoria demokrasi dan zaman IT sekarang.
“Mengemas, menjelaskan dengan baik kepada publik adalah separuh sukses,” kata saya pada suatu ceramah.
Aspek substansi kunjungan --secara politis, jangan hanya teknis—harus dijelaskan dengan baik kepada masyarakat bahwa Vietnam --meskipun berbeda ideologis dengan kita-- adalah teman dekat kita di ASEAN. Bobot hubungan luar negeri dalam kaitan kebijakan luar negeri Vietnam cukup tinggi dalam kunjungan ini, meskipun isinya berbobot ekonomi.
Teman saya, Djabir Mawardi, menyambut baik penjelasan saya karena didasarkan oleh pengalaman puluhan tahun menjadi diplomat karir.
Dia menyatakan sangat sependapat bahwa karena Ketua PKV ini tidak menyandang jabatan formal kenegaraan maka seharusnya PDIP yang menjadi Host, tetapi dia memahami isu ini sangat sensitif dalam kaitannya dengan Pilpres 2019. “PDIP malu-malu kucing,” tambahnya.
Pertanyaan sederhana bagi publik di media sosial, mengapa sejak era Soeharto hingga SBY, baru sekarang ada kunjungan resmi petinggi partai komunis negara asing. Sementara hubungan diplomatik Indonesia dan Vietnam sudah sejak lama, tanya dia.
Menurut teman-teman di Kemlu dulu ada pertemuan Presiden SBY dengan Ketua PKV di Hanoi. Ada masalah keprotokolan tetapi secara diam-diam dan rapi diselesaikan sehingga tidak menjadi konsumsi publik.
Diplomasi adalah format dan cara untuk pencapaian tujuan substantif. Karena sensitif harus ditangani secara hati-hati dan benar, sejatinya.
Alkisah, ketika Indonesia merambah menjadi salah satu negara penting di dunia, maka penanganan politik dan hubungan luar negeri yang cermat menjadi keniscayaan. Tidak hanya soal citra, hubungan luar negeri yang dikelola dengan baik, aman, dan efektif akan menambah bobot ekonomi negeri. Dibarengi dengan kekuatan militer yang memadai, maka polugri kita menjadi efektif dan bermartabat.
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.