Komnas Perempuan Minta Media Tak Eksploitasi Korban
Komnas Perempuan menerima pengaduan dari masyarakat tentang maraknya pemberitaan prostitusi online yang terjadi khususnya yang melibatkan artis.
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan protes masyarakat menyatakan pemberitaan sangat sewenang-wenang dan tidak mempertimbangkan pihak perempuan yang terduga sebagai korban beserta keluarganya. Selain nama, wajah juga disebutkan keluarga mereka.
Dalam pernyataan sikap Komnas Perempuan yang diterima ngopibareng.id Rabu 9 Januari 2019, menyebut melakukan sejumlah pemantauan dan pendokumentasian tentang berbagai konteks kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang berhubungan dengan industri prostitusi atau perempuan yang dilacurkan (Pedila).
Mereka adalah perempuan korban perdagangan orang, perempuan dalam kemiskinan, korban eksploitasi orang-orang dekat, serta perempuan dalam jeratan muncikari, bahkan bagian dari gratifikasi seksual. Sekalipun dalam level artis, kerentanan itu kerap terjadi.
"Prostitusi online, kami khawatirkan sebagai bentuk perpindahan dan perluasan lokus dari prostitusi offline. Prostitusi online menyangkut soal cyber crime yang berbasis kekerasan terhadap perempuan, terutama kasus revenge porn (balas dendam bernuansa pornografi) yang dapat berupa distribusi image atau percakapan tanpa seizin yang bersangkutan," katanya.
Ditambahkan Mariana, dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2018 pengaduan langsung menyangkut revenge porn ini semakin kompleks.
Selain itu, perlu ada kajian mendalam karena tidak sedikit yang menjadi korban femicide (dibunuh karena dia perempuan) atau mengalami kematian gradual karena kerusakan alat reproduksi.
"Karenanya Komnas Perempuan berkesimpulan bahwa prostitusi adalah kekerasan terhadap perempuan, namun Komnas Perempuan menentang kriminalisasi yang menyasar pada perempuan yang dilacurkan," katanya.
Senada Mariana, anggota komisioner lain, Budi Wahyuni mengatakan Komnas Perempuan telah melakukan analisa pada sejumlah media yang telah melanggar kode etik jurnalisme, serta pemuatan berita yang sengaja mengeksploitasi seseorang secara seksual, terutama korban.
"Dalam analisa media tersebut, ternyata masih banyak media yang saat memberitakan kasus kekerasan terhadap perempuan, utamanya kasus kekerasan seksual, tidak berpihak pada korban," katanya.
Karena itu, lanjut Budi, Komnas Perempuan menyayangkan ekspos yang berlebihan pada perempuan (korban) prostitusi online, sehingga besarnya pemberitaan melebihi proses pengungkapan kasus yang baru berjalan.
"Pemberitaan seringkali mengeksploitasi korban, membuka akses informasi korban kepada publik, sampai pemilihan judul yang pada akhirnya membuat masyarakat berpikir bahwa korban 'pantas' menjadi korban kekerasan dan pantas untuk dihakimi," katanya.
Ada 5 poin pernyataan sikap yang dikeluarkan Komnas Perempuan, antara lain meminta penegak hukum berhenti mengekspos secara publik penyelidikan prostitusi online, meminta media tidak mengeksploitasi perempuan yang dilacurkan, termasuk dalam hal ini artis yang diduga terlibat dalam prostitusi online, meminta media menghentikan pemberitaan yang bernuansa misoginis dan cenderung menyalahkan perempuan.
Kemudian Komnas Perempuan juga memohon masyarakat tidak menghakimi secara membabi buta kepada perempuan korban ekspoitasi industri hiburan, dan memohon kepada emua pihak untuk kritis dan mencari akar persoalan, bahwa kasus prostitusi online hendaknya dilihat sebagai jeratan kekerasan seksual.
"Kekerasan seksual seperti perempuan ditipu, diperjualbelikan itu tidak sesederhana pandangan masyarakat bahwa prostitusi adalah kehendak bebas perempuan yang menjadi "pekerja seks", sehingga mereka rentan dipidana/ dikriminalisasi," kata Budi. (asm)