Komnas HAM Ingin Ada Transparansi Pengungkapan Kasus Papua
Komnas HAM RI ingin aparat penegak hukum lakukan transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum persoalan kerusuhan di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya.
Komisioner Komnas HAM RI, Choirul Anam mengatakan, transparansi dan akuntabilitas sangat penting untuk upaya menyelesaikan persoalan aksi rasisme di Asrama Mahasiswa Papua.
"Penegakan hukum ini yang menuntut akuntabilitas dan transparansi dijamin dengan mekanisme yang dipilih," katanya saat ditemui di LBH Surabaya, Senin 26 Agustus 2019, dalam acara konferensi pers kasus asrama mahasiswa Papua.
Menurut Choirul Anam, mekanisme yang memungkinkan dipilih untuk mewujudkan akuntabilitas dan transparansi dalam konteks ini adalah dengan cara peradilan koneksitas.
Artinya, agar peradilan untuk kasus ujaran rasial yang diduga dilakukan oleh oknum militer dan aparat kepolisian juga dapat diketahui dan diakses oleh publik.
"Itu otoritasnya memang di Kejaksaan Agung, jadi Jaksa Agung bikinlah koneksitas, agar masyarakat juga tahu dan bisa akses," katanya.
Choirul Anam berharap, mereka yang terbukti mengeluarkan kata-kata rasialis dapat diberi hukuman yang pantas sesuai aturan yang berlaku di Indonesia.
Choirul juga berharap, hukuman sesuai aturan yang berlaku, dapat diberlakukan kepada semua pihak, baik aparat keamanan maupun masyarakat sipil yang terbukti mengeluarkan kata-kata bernada rasialis, yang melanggar Undang-undang nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
"Jadi, kalau dalam konteks undang-undang 40 tahun 2008, yang disasar oleh undang undang itu masyarakat, aparat polisi, TNI, sama aparat pemerintah. Jadi, semua kena sasar. Tidak ada pembeda, semua bisa kena," katanya.
Choirul menceritakan kasus Genosida Rwanda tahun 1994. Saat itu, aparat keamanan, militer, dan masyarakat sipil juga melakukan ucapan-ucapan bernada rasial ke salah satu pihak. Saat itu, terjadi perang saudara antar suku Hutu dan suku Tutsi.
Kini, mereka yang terbukti bersalah melakukan pelanggaran hukum, telah dihukum sesuai aturan yang berlaku di Rwanda. Bahkan, PBB membentuk pengadilan khusus kasus kejahatan HAM di Rwanda, yakni ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda).
"Kasus Rwanda saja bisa disidangkan, dan pelaku diadili. Di kita juga harus seperti itu untuk menegakan hukum,” katanya.