Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi
oleh: M. Mahfud MD
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
PEMERINTAH akan kembali menggodok Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. Aturan tersebut merupakan panduan penyelesaian pelanggaran HAM melalui jalur non-yudisial.
Penyelesaian non-yudisial tersebut merupakan upaya pemerintah sebelum hukum dipakai. Karena hal itu diperlukan untuk masa-masa yang akan datang, sehingga akan terus diusahakan untuk dibuat.
Pemerintah dan DPR pernah menerbitkan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR. Namun aturan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban.
Penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat menjadi penting karena telah diamanatkan oleh tiga peraturan. Adapun, peraturan yang dimaksud adalah Ketetapan MPR Nomor 17 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Ketiga aturan tersebut menugaskan negara untuk menyelidiki pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah diputuskan oleh Komnas HAM dan diselesaikan. Adapun, penyelesaian kasus tersebut harus ditempuh melalui dua jalur, yakni yudisial dan non-yudisial.
Penyelesaian yudisial memiliki fokus pada pelaku pelanggaran HAM berat dengan menghakiminya di pengadilan. Sementara itu, penyelesaian non-yudisial fokus kepada korban pelanggaran HAM berat dengan pemberian kompensasi dan rehabilitasi.
Penyelesaian non-yudisial yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023. Ia juga menekankan kegiatan tersebut tidak meniadakan keharusan dan upaya penyelesaian yudisial pelanggaran HAM berat.
Langkah tersebut dilakukan lantaran penyelesaian secara yudisial masih memiliki tantangan dan selalu gagal. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mencontohkan empat peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu gagal yang dibuktikan di persidangan dan akhirnya membebaskan 35 tersangka.
Hal tersebut disebabkan oleh sulitnya membuktikan kebenaran pelanggaran HAM berat dengan hukum acara pidana yang berlaku sampai saat ini. Hal ini sama sekali tidak meniadakan keharusan dan upaya penyelesaian yudisial, melainkan semata-mata dimaksud memenuhi hak korban lebih dahulu.
*) Penjelasan Mahfud MD di Pidie, Aceh, Selasa 27 Juni 2023, disiarkan Youtube Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Advertisement