Kolor Gus Dur, Berpolitik Tanpa Beban
Celana kolor Gus Dur kembali viral. Saat banyak orang mengenang detik-detik lengsernya Presiden RI keempat itu dari istana di Bulan Juli, 20 tahun lalu. Setelah dua tahun menjadi orang pertama di negeri ini.
Foto dia yang sedang melambaikan tangan dari emper istana hanya dengan kaos dan katok kolor memenuhi timeline medsos. Foto peristiwa yang tak mungkin terulang.
Foto itu tidak hanya bersejarah. Tapi penuh makna. Menunjukkan kesejatian Gus Dur sekaligus memberi pelajaran terhadap bangsa ini. Bahwa jabatan hanyalah busana.
Juga memberi pelajaran bahwa politik bukan hanya soal legitimasi. Tapi juga soal kerajinan (crafting) mengelola berbagai sumber kekuatan dan berbagai kepentingan.
Dalam hal legitimasi, tidak ada presiden RI yang bisa melampaui cucu pendiri NU KH Hasyim Asy'ari ini. Tiga sumber legitimasi sekaligus melekat dalam dirinya.
Apa itu?
Legitimasi genetik, legitimasi keilmuan, dan legitimasi politik. Ia sudah punya modal bawaan yang sangat cukup untuk memimpin negeri ini. Namun ketiganya ternyata belum cukup bagi Gus Dur.
Modal legitimasi genetik Gus Dur sangat kuat. Ia menjadi keturunan dua orang pahlawan nasional. Kakeknya KH Hasyim Asy'ari dan ayahnya KH Wahid Hasyim. Gus Dur adalah keturunan pejuang yang punya andil besar terhadap kemerdekaan bangsa ini.
Legitimasi keilmuan juga tidak kurang kuat. Ia dikenal sebagai salah satu cendikiawan Muslim yang mewarnai wacana pemikiran di negeri ini. Pemikirannya menembus ke berbagai bidang.
Meski tak punya gelar akademik dan tak pernah meluluskan sekolah formalnya, Gus Dur sangat dihormati di kalangan ilmuwan. Pemikiran-pemikirannya mewarnai wacana keilmuwan di dalam negeri maupun di luar negeri.
Tulisannya merambah berbagai jurnal dan media massa. Mulai dari soal kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sampai dengan sepak bola. Keluasan pengetahuannya tercermin dalam berbagai karya tulisnya.
Legitimasi politiknya diperoleh dari jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU. Meski NU bukan partai politik, namun ia menjadi kumpulan masyarakat politik yang kuat. Apalagi, inilah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia.
Belum lagi ditambah dengan pola hubungan kiai-santri yang sangat kuat di lingkungan NU. Basis kultural dalam tradisi pesantren ini melahirkan legitimasi politik bagi para pemimpin ormas tersebut.
Keterlibatan Gus Dir dalam gerakan civil society selama pemerintahan Orde Baru menjadikan ia juga dihormati kalangan LSM maupun NGO dari dalam dan luar negeri. Apalagi Gus Dur bisa 5 bahasa yang memperlebar luas jaringannya.
Namun, sumber legitimasi yang bertumpuk-tumpuk itu ternyata belum cukup untuk memenangkan pertarungan politik dalam sistem perwakilan. Buktinya ia bisa dilengserkan di tengah jalan oleh kudeta konstitusional.
Rupanya masih diperlukan kemampuan meracik berbagai kepentingan politik di tengah perubahan. Political crafting sebutannya. Kerajinan politik. Ini lebih kepada kemampuan menjadikan berbagai kepentingan yang beragam menjadi satu kekuatan.
Keterbatasan fisik Gus Dur yang tidak bisa melihat pada saat menjabat presiden bisa jadi menjadi salah satu penyebabnya. Dengan keterbatasan itu, ia menjadi kurang lincah dalam meracik berbagai kepentingan menjadi satu kekuatan.
Ini berbeda saat ia masih menjadi pejuang gerakan civil society saat melawan kekuatan Presiden Soeharto. Saat itu, ia masih bisa dengan lincah berselancar dalam berbagai ceruk keterbatasan gerak politiknya.
Kepiawaian dalam meracik agenda politik itu ia buktikan saat Muktamar NU di Situbondo maupun muktamar berikutnya. Gus Dur diakui sebagai peracik lahirnya keputusan NU kembali ke khittah perjuangan dan penerimaan azas tunggal Pancasila.
Politik bukan hanya soal hitung-hitungan matematis. Ia adalah menyangkut perilakau yang setiap detik, setiap menit, dan setiap jam bisa berubah. Menata bangunan politik pada dasarnya pekerjaan yang tak ada habisnya.
Seorang penata harus selalu terjaga setiap saat. Apalagi politik yang menyangkut negara-bangsa. Dengan kekayaan dan asset yang begitu besar. Yang setiap orang dan setiap kelompok mengincarnya. Untuk dirinya maupun untuk kelompoknya.
Untuk itu, seorang pemimpin pemerintahan harus selalu mendapatkan sumber data yang valid. Data tersebut perlu diverifikasi melalui indera kelimanya. Tidak hanya bosa memanfaatkan indera keenam. Ini yang sangat mungkin menjadikan kepiawiannya sebagai pengrajin politik tidak optimal.
Tapi memang Gus Dur dinisbatkan menjadi presiden Indonesia yang singkat. Ia dibutuhkan menjadi pemersatu. Menghindarkan konflik tajam antara kelompok nasionalis dan Islamis yang sempat diakomodasi Presiden Soeharto sebelumnya.
Ia harus rela hanya sebagai pegas pengamanan ketika benturan diperkirakan akan begitu keras. Gus Dur ternyata sangat cocok untuk menjadi pemersatu. Tapi kurang optimal ketika harus menata ulang batu bata yang sempat berserakan.
Untung, Gus Dur yang punya pengikut loyal berani mati jutaan tak melihat kepresidenan sebagai baju yang harus trrus dikenakan. Ketika sudah sesak, baju itu ia tanggalkan. Hanya menyisakan katok kolor yang dikenakan di detik-detik akhir di istana. Tanggalkan jabatan tanpa beban.
Saya pernah meminta katok kolor Gus Dur untuk saya simpan. Diberikan. Hanya saya tidak tahu apakah katok kolor yang diberikan ke saya itu sama dengan yang dikenakannya di detik-detik akhir jelang ia meninggalkan Istana atau bukan.
Meski demikian, yang bikin saya gelo, katok kolor Gus Dur itu ketelingsut saat saya pindahan rumah. Setelah lima tahun gagal membangun karir pengabdian politik di Surabaya. Gelo rasanya.
Kini agak sulit membayangkan tampilnya seorang presiden maupun pejabat politik yang hanya bermodalkan katok kolor. Karena politik sudah menjadi transaksi bernilai triliunan dan miliaran rupiah.